Titik Temu

Dengan berembug, musyawarah atau diskusi banyak hal yang bisa diselesaikan. Banyak hal yang bisa disepakati karena dicapai suatu titik temu.
Diskusi yang sehat harus berangkat dari niat mencari kesesuaian bukan untuk mendapatkan pengakuan akan kebenaran pendapatnya. Setajam apapun perbedaan selalu ada titik temunya.

Bahkan ketika dalam beragama yang merupakan ranah paling sensitif, yang perbedaan pemahamannya bisa berujung pada pertumpahan darah tetap bisa direm. Nasehat dan peringatan dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib r.a. bisa dijadikan contoh

"Mereka yang bukan saudaramu dalam agama adalah saudaramu dalam kemanusiaan".

Nasihat ini saya kira sebuah rem pakem ketika kita menyadari keberadaan kita sebagai manusia. Ketika kita sadar sebagai saudara akal sehat pasti menolak untuk saling menyakiti apalagi menumpahkan darah. Kalaulah tetap terjadi hal yang demikian kemungkinan saat itu akal tidak sedang dalam keadaan sehat.

Dalam ranah keislaman orang yang berbahaya itu jika munafik, karena bisa membahayakan. Sebut saja dalam sebuah perang misalnya, ketika para munafikin itu lari terbirit meninggalkan medan perang demi keselamatan diri sendiri pada saat yang sama sedang mencelakakan dan menghancurkan kawan-kawannya. Mereka mempereteli kekuatan pasukannya sendiri, bagaikan musuh dalam selimut. Tetapi apa yang dilakukan Nabi terhadap mereka? Menghukum dengan keras? Tak pernah ada darah tertumpah. Mereka tetap dimaafkan.

Di Nusantara, konon, bangsanya sejak dahulu kala sudah memiliki budaya yang adiluhung serta tingkat spiritualitas yang ga baen-baen, ahli kebathinan, tingkat spiritualitas yang tinggi. Yang dalam urusan tirakat, meper hawa napsu, pengendalian hawa nafsu sudah bukan perkara baru. Ibaratnya sudah makanan sehari-hari.

Riyadoh dalam melatih diri itu sudah seperti budaya. Banyak tokoh-tokohnya sangat mumpuni. Masyarakat yang sudah demikian itu tidak akan bisa jika diskusinya hanya pada tataran kulit luarnya, syariat saja. Tentang hukum boleh tidaknya. Tentang harus ini dan itunya. Tetapi yang dibutuhkan adalah diskusi pada tataran yang lebih dalam, diskusi yang menyentuh kedalaman. Dan itu hanya akan bisa ditemui pada diri para sufi.

Beruntunglah yang awal-awal datang itu para wali yang kedalaman ilmu agamanya luar biasa, yang spiritualitasnya mumpuni serta makrifahnya pilih tanding. Diskusi yang gayeng sesama pelaku spiritualitas tak menyebabkan adanya konflik.

Dakwah melalui budaya yang apik berakibat pada proses asimilasi yang berlangsung alamiah dan tanpa paksaan. Titik temu itu ada pada spiritualitas. Klop. Eh tapi ada yang sangsi akan keberadaan wali songo di tanah nusantara ya? Saya kira anggapan itu ga ngaruh.

Sulit dibayangkan jika yang datang itu orang-orangnya dengan pemahaman agama seperti saat ini, pemahaman yang mengharamkan laku sufisme, yang menuduh para penempuh bathiniah sebagai para pelaku klenik, sinkretis dan TBC. Apa jadinya ya? Tindak kekerasan kah? Gelap.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!