Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2017

Mencari Pemimpin Muslim, Sebuah Catatan Buruh Migrant

Benarkah kita ini sedang bersungguh-sungguh hendak mencari pemimpin muslim yang tangguh, pilih tanding dan mumpuni, yang memenuhi kriteria? Meski tidak semua kriteria itu tentu saja bisa terpenuhi sih. Maaf kata, kesannya menjadi seperti tidak serius, manakala penentuan siapa yang dimajukan dalam  pil-pil   itu kita pasrahkan sepenuhnya pada partai politik. Lalu kita hanya bisa menunggu dan bersetuju saja dengan segala pilihannya.  (Kita dalam konteks ini, terlebih adalah para penggede ormas atau orang yang punya massa, yang suaranya banyak didengar orang) Kegetolan  yang telah diperlihatkan sejauh ini dengan meneriakkan kata-kata agung dan himbauan tegas karena berlandaskan kitab suci  "Pilihlah hanya calon pemimpin yang muslim" , menjadi sumir, menjadi abu-abu. Tidak jelas. Sudah menjadi pengetahuan umum jika berurusan dengan partai politik maka mau tidak mau akan ada kontrak politik, ada transaksi, ada kesepakatan yang mesti dibuat, ada kompromi-kompromi yang

SAMPAH

Mendengarnya saja seringkali kita sudah merasa tidak nyaman. Kebayang tumpukan tak beraturan, onggokan berbau tak sedap menyengat dan sekitarannya yang jorok serta gambaran-gambaran buruk lainnya. Sampah juga seringkali membawa pikiran langsung terhubung dengan aliran air di sungai yang terhambat. Tumpukan dengan jumlah yang sulit dipercaya, yang sering terlihat terjebak di pengatur debit air sungai atau di pintu-pintu air tidak saja sebagai sebab tidak lancarnya aliran air. Tetapi juga bukti perilaku buruk pemukim kota atau wilayah yang membuang sampah-sampahnya secara sembarangan. Sikap ngasal dan tak mau repot nyari tempat sampah adalah contoh umum yang sangat mudah ditemui. Kesadaran menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan itu nyatanya belum tumbuh di masyarakat kita yang padahal, secara keseharian sebenarnya sudah melek informasi. Ironi? Tetapi tentang sampah ini, ada yang lebih ironi lagi. Yaitu ketika "sampah" itu ternyata ikut dalam aliran informasi

Freeport vs Pemerintah RI

Fokus kudu digeser... Freeport dalam 120 hari dihitung mulai tanggal 18 Feb 2017 akan membawa kasusnya ke Arbitrase Internasional, Pemerintah Indonesia berhadapan dengan Freeport Mc Moran. Pemerintah RI menyodorkan IUPK Ijin Usaha Pertambangan Khusus pengganti KK yang sudah lama ada itu, yang akan menjadikan kendali negara lebih besar terhadap kekayaan alamnya. Serta mengarah nantinya kepada kepemilikan saham pemerintah hingga 51%. Freeport menolak, tentu saja, karena kendali akan beralih. 120 hari sebelum membawa ke Arbitrase Internasional Freeport mengajak Pemerintah mengupayakan win-win solution entah apa itu bentuknya. Langkah berani pemerintah ini (Pak Presiden dalam hal ini) jelas perlu dukungan masyarakat luas sebagaimana dulu dengan keras meminta pemerintah mengambil alih. Tantangan Pemerintah (terutama lagi-lagi, Pak Presiden) begitu besar karena melawan konsorsium raksasa yang di-backup Setan Besar. Yang kita masih juga ingat "perseteruan" yang sudah

Ada Kecurangan!

Klasik. Pekik tentang kecurangan di setiap perhelatan coblos mencoblos pemilu itu selalu ada. Ya begitu adatnya, dari pengalaman, berpuluh kali dihelat berpuluh kali pula terjadi. Malah menjadi ganjil barangkali kalau ngga ada sama sekali yang teriak tentang kisah klasik ini. Yang terpenting itu jangan lantas mendakwa dengan penuh kepastian bahwa datangnya kecurangan itu dari tim paslon tertentu yang tak sejalan, tim paslon lawan. Pun juga memastikan panitia di tps yang tidak adil itu berpihak ke paslon "musuh". Ya bakalan kisruh, saling tuding, dan ngga kelar-kelar. Temuan-temuan di lapangan tentang pemilih yang ngga bisa memberikan hak suaranya, yang dibagikan di medsos rame-rame itu senyatanya tidak selalu dari kubu yang didukungnya khan? Ada juga berasal dari kubu lain. Mempercayakan ke pak/ibu seluruh perangkat yang dipunyai KPU bahwa kasus akan ditindak lanjuti lalu meninggalkan hujat menghujat dan ribut terus rasanya lebih elegan dan adem. Moga ke dep

Hak Angkut Angkot dan Angket DPR

Teringat dulu ketika seorang kawan baru membeli angkutan kota alias angkot yang STNK dan perijinan trayeknya sedang dalam pengurusan. Karena masa tunggunya yang cukup lama, si kawan tidak sabar lebih lama lagi untuk segera narik. Lalu malam itu dia paksakan untuk keluar  ngider nyari  penumpang setelah pulang gawe. Maklum si kawan ini termasuk tipe orang yang ngga bisa diem. Dengan plat nopol bikinan, yang dipesen di tukang bikin plat itu, acara narik dimulai bahkan sejak keluar dari komplek perumahan. Wah jelas ini pelanggaran. Satu, pelanggaran penggunaan kendaraan tanpa surat. Kedua, pelanggaran terhadap ijin trayek. Ketiga, pelanggaran wilayah operasional. Nekat. Sampai di pusat kota kita masih aman-aman saja, dan beberapa penumpang berhasil kita antar sampai ke tujuan. Kebetulan mereka hanya sampai pusat kota saja perginya. Masalah baru muncul ketika melewati sebuah pos polisi, yang tak dinyana salah seorang polisi itu begitu awas dan sangat teliti. Kita menduga

"Banjiirrr...."

Teriakan cemas bersahutan Orang tua dan para dewasa pada risau Ini dan itu.. Ini dan itu.. Ini dan itu.. Semua-mua disiap diurusnya Anak anak malah tertawa senang "Kita bisa  koceh  seharian nih ga perlu ke kali lagi" Dan benarlah si kanak kanak saat itu Sang banjir yang ramah saja yang datang Yang hanya membuat gembira hati para bocah desa Bebersih lumpur setelahnya pun bukanlah sebuah beban Kegembiraan sajalah yang ada Ah...sebuah masa yang begitu indah Berita kemarin hari baru saja ada banjir Di sebuah kota... Iyaa...sebuah kota yang penuh hiruk pikuk dalam segala urusan Sebuah kota yang menyita semua perhatian, mungkin saja se nusantara Yang teriak "cemas" nya hingga kemana mana Konon... Banjirnya kali ini membawa "korban" Korban yang terbawa arus...entah sampai kemana nantinya Meski tinggalnya berbilang jarak dari sentrumnya Namun arus derasnya yang ikut melanda kampung twitternya itu tetap saja me

Mas Muhamad dan Jama'ah Tabligh (Keping Puzzle dan Labyrinth~4)

Empat tahun mukim di Kota Buaya itu telah memberi warna tersendiri. Memang sih dimana-pun kita tinggal tentu ada warna-warna yang bisa mempercantik mozaik hidup kita. Atau mungkin juga sebaliknya, malah menguranginya, yang itu tergantung saat kita memilihnya lalu memadukannya dengan apa yang sudah kita punya. Ketepatan memilih menjadi hal yang penting untuk memperbaiki atau mempertahankan harmoninya warna paduan itu. Dan Surabaya ternyata, telah menjadi bagian yang penting dalam usaha menyusun puzzle dan memperbaiki mozaiknya. Meski bukan pilihan pertama, karena dulu Kota Malang lah yang menjadi kota favorit untuk melanjutkan studi. Namun interaksi yang terjadi di sana sungguh sangat patut disyukuri sepenuh-penuhnya. Pertemuan dengan seorang pria teladan yang mempunyai akhlak yang luar biasa itu sebuah berkah. Berkah yang datangnya tak pernah tersangkakan kapan dan dimananya, waktu dan tempatnya. Dan kost-an di bilangan Peneleh yang berada di sebelah utara salah satu

AHY, Jangan Cintai Aku Apa Adanya

Tulus, mempunyai sebuah lagu yang menarik tentang cinta mencinta. Permintaan cintanya non mainstream saya kira, karena biasanya, seseorang minta dicintai oleh kekasihnya itu apa adanya. Berharap sang kekasih mengerti keadaannya. Apapun dia, seperti apapun dia, sang kekasih diharap menerima.  Kalau dicermati memang ungkapan yang sudah jamak itu seperti ada nada pesimis, atau seperti semacam disclaimer yang sekiranya nanti tidak sesuai harapan ya supaya mengertilah, khan sudah dibilang cintai aku apa adanya! Nah, mas Tulus memberontaknya dengan ungkapan Jangan cintai aku apa adanya . Meminta pada kekasihnya untuk menuntut lebih, yang dengannya bisa membawa kemajuan. Tidak pasrah pada keadaan saat sekarang. Ini mengesankan ada rasa percaya diri dan optimisme yang tinggi. Tuntutan yang diminta itu akan dijadikan sebagai pemicu semangat dan tantangan, biar tidak omes . Pada dies natalis Partai Biru di Jakarta tempo hari, AHY menyempatkan diri memberi sambutan pada akhir-akhir acara.

BAPER

Jadi inget masa kecil dulu ketika ayah atau ibu memarahi, seringan mencoba melawan dengan argumen. Menangkis tuduhan atau kalimat menyalahkan dari beliau berdua. Ketika aku merasa tidak melakukan kesalahan apapun tentu ga terima dong kalau disalah-salahin. Yang karenanya maka baperlah jadinya. Mewek sembari melontarkan kalimat-kalimat memelas sudah menjadi senjata.. "Paak, buuk...salah aku tuh apa siiih...kok aku dimarahin dan disalah-salahin begini? Bener mbok sumpah toh aku ngga melakukaaaannn." Karena mungkin merasa iba denger rengekan memelas itu, biasanya beliau mengendorkan urat syaraf marahnya lalu mendekat dan sambil me- pukpuk pundak beliau bilang... "Daah meweknya dihentiin, ntar ngga usah curhat kemana-mana, apalagi ngetwit. Ayah percaya sama kamu dan juga maafin kalo marahnya ayah ternyata salah alamat. Ayah hanya ngga mau kalau kamu nanti terpuruk" Praktek ini juga pernah aku tiru ketika anakku mewek-mewek baperan. "Sini-sini naak....ab

Fenomena Gunung Es

Iceberg phenomenon atau fenomena gunung es ini sering digunakan orang untuk menggambarkan bahwa apa yang terlihat di permukaan itu tidak selalu menggambarkan yang sebenarnya, bahkan bisa menipu pandangan. Pucuk gunung es yang mencuat ke permukaan air laut terlihat hanyalah sebuah bongkah runcing dari es saja padahal yang tertutupi air bisa sangat besar dan melebar bahkan sudah sedemikian dekat jaraknya dengan tempat dimana kita melihat pucuknya itu. Karena hal itulah para pelaut selalu sangat berhati-hati dengan fenomena ini. Di dunia orang pabrikan (buruh pabrik mode on) fenomena gunung es atau piramida es sangat populer dipakai ketika menjelaskan tentang safety. Sebuah kecelakaan kerja yang terjadi itu tidak serta merta saja kejadiannya, ianya tentu didahului oleh banyak faktor pendukung yang tak terlihat atau tak disadari atau bahkan diabaikan. Substandar kondisi dan substandar aksi menjadi bagian yang penting itu. Tidak menjadikan hal yang penting adanya beberapa faktor subs

Belenggu Frasa

Belasan tahun sudah, bahkan lebih, aku merasakan seperti terbelenggu, kesrimpung  oleh frasa yang kuat. Frasa yang membatasi setiap gerak, mengurung keberanian untuk menalar dan mengkritisi dengan akal dan pikiran yang telah dikaruniakan. ("Eh sebentar, apa tuh kesrimpung?" Kesrimpung itu keiket kakinya, seperti ayam keiket  atau diikat biar ga kemana-mana. Terlalu udik dan primitif istilahnya ya? Ah biarin aja). Belenggu yang kukuh itu berselubungkan peringatan dan ancaman, yang ujung dari semua itu sangsinya bisa begitu keras dan berat.." tapir ente..!"  Bisa   di-stigma-kan kafir. Sebuah ujung yang sangat mengerikan bukan?. Lalu diam menjadi sebuah pilihan "logis" meski segumpal rasa tak puas itu tetap menempati sebagian rongga dada. Belenggu frasa itu tentang ketinggian maqam serta "keagungan" yang disematkan kepada ulama, secara keseluruhannya. Meski banyak juga yang berpendapat bahkan termasuk dari pihak ulamanya sendiri yang meng

Entar Repotnya Sendiri lho?!

Lini massa menjelang pil-pil an seperti sekarang ini ramenya bukan alang kepalang. Penuh dengan saling hujat antar pendukung bahkan fitnah dan hal-hal negatif lainnya. Terutama pil yang di Ibukota, seluruh anak negeri ikut terlibat. Memang luar biasa gemanya, seantero negeri. Kegaduhan itu memunculkan tokoh-tokohnya, yang mempunyai pengikut sedemikian besar, bejibun, dengan variasi latar belakang sosial ekonominya yang juga ngejomplang. Dari ekonomi kuat dan biasa-biasa (masa ekonomi lemah mainan medsos, mending untuk beli beras toh?), dari yang sekolahnya biasa-biasa juga sampe yang S-nya ngga tahu tuh ada berapa. Tokoh atau yang ditokohkan itu juga seperti keracunan atau mabuk ya tepatnya, semakin status yang dibuatnya di-like n share yang catatan statistiknya mencengangkan, bahkan mungkin bagi yang bikin status itu sendiri, semakin merangsang untuk membuat lebih seru lagi dan lagi. Bentuk sanjungan berupa like n share sudah menjadi semacam candu atau zat addiktif jenis baru?

Lengser Keprabon Madeg Pandhita

Ungkapan yang pernah disampaikan Pak The Smiling General menjelang peletakan jabatannya tempo hari saat reformasi bergulir itu mestinya bisa dicontohi oleh para penerusnya. Menjadi "bapak" bangsa panutan yang berkontribusi pada negeri dari balik layar saja tentu lebih afdhol dari pada masih cawe-cawe ikut meramekan perpolitikan tanah air. Presiden itu posisi eksekutif tertinggi di sistim demokrasi kita toh? Jadi kalau masih cawe-cawe lalu mau  ngejar apalagi? Lebih baik fokus pada kesalehan individu dan keluarga, istirahat dari hiruk pikuk dan "kotor"nya politik lalu menikmati pensiun dan hari tua. Kontribusi memberi nasehat tanpa keminter dan percaya pada orang lain, bahwa banyak orang yang juga mempunyai keahlian dan kemampuan. Kehebatan itu niscaya bukanlah monopoli sebuah, dua buah, tiga buah atau segelintiran keluarga khan?!. Ehem. Jadi mbok ya sudah serahin aja sama yang muda-muda. Kalau menghitungi dana yang sudah di-"investasikan" lalu berha