Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2017

Menangis, Sebuah Katarsis

Banyak cara yang dilakukan orang untuk melepas beban yang ditanggungnya, himpitan permasalahan hidup baik yang bersifat material maupun psikologis. Dengan cara yang bersifat positif hingga yang negatif, dari cara rumit hingga yang terbilang simpel saja, misal curhat pada seorang sahabat yang dipercaya atau bahkan cukup dengan menangis saja. Menangis? Apa itu ndak cengeng? Tidak! Bukanlah suatu hal yang cengeng jika kita memerlukan diri untuk melakukannya, karena ianya bisa menjadi suatu cara untuk keluar, suatu cara untuk pelepasan beban dan ketegangan. Sebagai sebuah  katarsis  kita untuk menjadi lebih baik, menjadi lebih kuat untuk terus berhadapan dengan segala permasalahan. Menangis di malam-malam sunyi ketika bersendirian, merajuk, bermanja, berkeluh kesah kepada Sang Maha Pengasih, senyatanya memberikan kekuatan laksana amunisi yang kian bertambah banyak sebagai persiapan perang dalam mengarungi hidup. Karena kita telah mengadu kepada Sang Pemberi Solusi yang paling

JASMERAH!!!

"Anda ini terlalu lama tertidur bung! Negeri kita tercinta ini sudah berkali-kali diuji oleh oknum-oknum yang ingin mencabik-cabiknya. Anda mesti ingat itu! Bukan saja ekstrimis kiri, bahkan yang berada di kanan pun tidak kalah bernafsunya dari ekstrimis kiri itu. Kalaulah Anda tidak tidur atau tertidur selama ini, janganlah anda mendadak menjadi buta seperti ini" Ungkapan kesal semacam itu atau bahkan yang lebih keras dan kasar lagi sangat bisa dimaklumi. Kegeraman yang membuat pepat dada itu harus tersalurkan. Itu sudah semacam katarsis tersendiri meski belum cukup. Kepepatan oleh karena ulah orang yang seolah lupa pada luka sejarah yang menganga, yang meninggalkan bekas hingga sekarang ini. Masalah yang belum juga tuntas terselesaikan hingga hari inipun sudah hendak diulanginya lagi?. Jasmerah!. Jangan sekali-kali melupakan sejarah!. Ini yang harus terus diteriakkan dibarengi dengan penyadaran akan kebangsaan kita, hingga kuping-kuping itu mendengar lalu mener

BUKU, Pengetahuan dan Represi

Kalau mendengar orang berbicara tentang buku pasti tergambar di benak tentang kegiatan membaca dan menulis. Bentuk kegiatan aktif menyerap dan menuang ide-ide dalam ranah ilmu pengetahuan dan karya cipta. Membaca itu identik dengan pengetahuan. Dengan membaca, banyak informasi yang bisa kita serap, apapun jenis informasinya itu. Tentang baik-buruk dan kemanfaatanya kembali kepada kita sebagai subjek. Tugas untuk cermat dalam memilah, memilih dan menyaring mutlak berada di tangan kita sebagai pembacanya. Menulis itu identik dengan mem-visualkan dan menuang ide ide, gagasan, olah pikir yang ada di kepala. Mewujud berupa karya cipta dalam berbagai bentuk sesuai bidang keahliannya. Sastra dan seni, sain, filsafat, agama dan lain sebagainya yang takkan cukup ruang ini untuk menampung semuanya. Kelewat banyak. Kata orang bijak tulisan itu abadi. Mengutip kata kata dari Pram...iya si Pramoedya Ananta Toer ituh...orang kiri ya dia? Ah apa pedulinya?!. Bukankah pikiran-pikiran cem

BANARAN PONOROGO BERDUKA

Gambar
Yang aku kenal yang namanya Banaran itu area perkebunan di bilangan Bawen, sebelum pintu Tol ke arah Semarang kalau dari arah selatan. Aku mengenal Banaran yang ini lantaran suka lewat sana dan seduhan kopi dari Kampoeng Kopi Banaran yang nikmat dan ngangeni. Kopi yang dipetik dari perkebunan PTPN IX itu, yang juga sebuah kawasan Agro Wisata. Dan...kini aku baru tahu kalau kota asalku juga mempunyai daerah bernama Banaran. Sungguh wawasan ke-ponorogo-an yang kelewat rendah. Bahkan tahunya pun tersebab bencana alam. Banaran yang berada di wilayah kecamatan Pulung di tlatah Ponorogo timur yang berbukit itu kini sedang berduka. Bencana alam berupa tanah longsor telah melanda, menimbun rumah dan penghuninya. Puluhan orang sedang dicari keberadaannya. Digali dari longsoran tanah dan puing rumah. Semoga ketabahan, kesabaran, keikhlasan senantiasa tercurahkan dari Yang Maha Rahman dan Rahim. Teriring doa buat saudara-saudara di sana. Terimakasih buat rekan di WA group ya

Ahad dan "Padi" Ceria

"Siapa mula-mula yang menggeser ini, kekuatan apa yang hendak menjauhkan ummat dari agama, dari yang bersifat religius Islam menjadi non Islam?." Begitu kira-kira luapan kesalnya yang kemudian menyerukan untuk membiasakan menggunakan nama Ahad untuk menggantikan Minggu, yang lebih bernuansa kristiani itu. Tentu saja sepakat, karena Ahad yang berarti satu atau hari kesatu dalam konteks hitungan hari, akan sesuai dengan nama hari berikutnya yang Senin. Bukankah Senin itu transliterasi Isnain dari bahasa aslinya?. Juga Selasa yang dari Tsalaasa, Rabu dari Arba'a?. Dan seterusnya, kecuali Jumat sebagai hari yang spesial. Karena, Ahad juga mengingatkan tentang ke-Esaan Tuhan Allah SWT, yang disebut juga dalam Pancasila sila pertama. Karena, Ahad pun mengingatkan kisah hebat sahabat Bilal bin Rabah yang tetap menyuarakan  "Ahad..Ahad..Ahad"  meski sedang dilanda siksaan yang pedih, ditindih batu di teriknya gurun pasir kala itu. Hal yang lain, untuk ik