BUKU, Pengetahuan dan Represi

Kalau mendengar orang berbicara tentang buku pasti tergambar di benak tentang kegiatan membaca dan menulis. Bentuk kegiatan aktif menyerap dan menuang ide-ide dalam ranah ilmu pengetahuan dan karya cipta.

Membaca itu identik dengan pengetahuan. Dengan membaca, banyak informasi yang bisa kita serap, apapun jenis informasinya itu. Tentang baik-buruk dan kemanfaatanya kembali kepada kita sebagai subjek. Tugas untuk cermat dalam memilah, memilih dan menyaring mutlak berada di tangan kita sebagai pembacanya.

Menulis itu identik dengan mem-visualkan dan menuang ide ide, gagasan, olah pikir yang ada di kepala. Mewujud berupa karya cipta dalam berbagai bentuk sesuai bidang keahliannya. Sastra dan seni, sain, filsafat, agama dan lain sebagainya yang takkan cukup ruang ini untuk menampung semuanya. Kelewat banyak.

Kata orang bijak tulisan itu abadi. Mengutip kata kata dari Pram...iya si Pramoedya Ananta Toer ituh...orang kiri ya dia? Ah apa pedulinya?!. Bukankah pikiran-pikiran cemerlang itu bisa datang dari siapa saja, sepanjang tidak bertentangan dengan Tauhid, keyakinan ber-Tuhan yang benar...so what gitu loh. Kata dia dalam sebuah novelnya:
“Kau, Nak, paling sedikit kau harus bisa berteriak. Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis, suaramu tak akan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari. Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.”

Pram benar, meski jejak karya cipta itu bisa juga kita dapati dari hasil nyata tangan-tangan yang bekerja, berupa perubahan tatanan kehidupan dalam masyarakat, berupa budaya. Walisongo bisa diambil contoh dalam konteks ini, walau sebagian orang atau kelompok yang mendaku diri kaum puritan itu hendak menyangkal keberadaannya hanya tersebab beliau-beliau tidak meninggalkan jejak berupa tulisan atau buku.

Kembali kepada topik, paduan antara membaca dan menulis dari sebuah buku jelas mempunyai kontribusi yang sangat besar pada peradaban manusia, yang bisa dirasakan manfaatnya hingga kini. Siapa yang bisa menyangkalnya? Andai saja tradisi menulis itu tidak pernah ada, akankah kondisi kita bisa sampai seperti saat ini? Nonsense.

Lalu...jika pada hari ini ada tindakan pelarangan, pembredelan atau represi secara gegabah semena-mena terhadap buku (atau situs-situs internet dalam konteks kekinian, pada era digital yang sudah sedemikian pesat seperti sekarang ini, yang mana buku telah bertransformasi tidak lagi harus berbentuk fisik yang konvensional, melainkan telah menjadi tulisan-tulisan yang tersebar luas dan mudah diakses oleh siapapun yang suka berselancar di jagad maya, yang sebelumnya terkendala biayapun telah terminimalisir dengan sendirinya) apakah tindakan semacam itu bisa dimengerti?

Rasanya menjadi sulit jika cara yang ditempuh tidak elegan, tidak dilakukan secara profesional dan cermat. Karena model-model represi itu tidak akademis. Malah seperti ungkapan rasa putus asa tersebab laiknya tidak ada kemampuan membuat tandingan ide dan pemikiran.

Ketakutan terhadap generasi muda yang menjadi salah orientasi itu seperti kita tidak siap menyadari kalau para muda itu mulai tumbuh dewasa. Kita masih melihatnya sebagai kanak yang terus menerus harus disuapi dengan menu-menu yang kita inginkan, lalu melupakan bahwa mereka juga punya selera terhadap apa yang dikunyahnya.

Tapi memang kisah-kisah represi terhadap pustaka dalam sejarahnya juga pernah dialami kota Baghdad yang masyhur kala itu, ketika serbuan Mongol menginvasi kekhalifahan Dinasti Abbasiyah terakhir di bawah khalifah Al Mutashim yang meluluh lantakkan karya tulis ilmuwan pada masa itu. Yang konon air sungai Eufrat berubah warna menjadi warna tinta dari buku buku yang dihanyutkan itu.

Lebih kesana lagi...kisah penghancuran dan pembakaran terhadap naskah penting yaitu hadits Nabi oleh para penerus Nabi sendiri, pernah terjadi pada sejarah Islam pasca kesyahidan Sang Pembawa Risalah Baginda Nabi SAW. Semua media yang ditulisi dengan sumber rujukan kedua itu dimusnahkan dengan sebuah alasan "logis", kawatir tercampur dengan ayat suci Alquran.

Ah....jadinya sedih kalau mengingat model model represi begitu.
Maka saat ini agar kekelaman masa lalu tidak berulang, sangat diperlukan penangan yang benar melalui penataan yang lebih bagus dan cermat ketimbang cara-cara yang kontra produktif yang dipilihnya. Lalu bagi para pelahap sajiannya tidak bisa hanya asal santap tanpa membuat perbandingan atau observasi lebih jauh.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!