Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2018

Petuah 'Pojokan'

Gambar
Satu seruputan kopi hitam seduhan a-la Americano yang belakangan lebih aku gemari, membawa alam hayalku masuk ke suasana imajiner sebuah pengajian yang imajiner pula... Seorang ustadz dengan kopiah putih tipis model bulat berlilitkan sorban yang juga putih bersih nan rapi, tengah duduk dengan anggunnya di hadapan puluhan jamaah yang dengan takzim dan khusyuk mendengar setiap kata dan kalimatnya. Petuah-petuah yang mengalun dari sepasang bibir ustadz ini acapkali membuat kepala-kepala yang ada di depannya terangguk-angguk membenarkan. Namun tak jarang pula membuat kepala-kepala itu juga menggeleng pelan lalu tunduk tepekur. Menggelengnya bukanlah bantahan melainkan sebuah bentuk keheranan atas sikap dan perilaku diri sendiri, menunduk tepekur sebagai wujud penyesalan atas hal-hal negative yang telah diperbuat. Memang terkadang sang ustadz dalam ceramahnya menyisipkan pula berbagai pertanyaan retoris, ungkapan-ungkapan keprihatinan atas fenomena yang tengah tetjadi di masyarakat,

Me-Revisi Doa Pilihan Politik

Ajang pemilihan presiden yang digelar lima tahunan sekali ini rasanya telah benar-benar menyihir (atau malahan sudah meracuni?) kita semua. Hampir semua kalangan terlibat dalam pembicaraan kontestasi ini, lengkap dengan segala narasinya baik itu berupa narasi positive maupun negative. Memang sih, kita bisa belajar tentang banyak hal dari narasi-narasi itu, hanya saja perseteruan yang terbentuk itu sudah bikin neg, atau malahan sudah pada level yang mengkhawatirkan. Seperti permusuhan yang menjauhkan persahabatan bahkan persaudaraan. Yang disebut terakhir ini sebenarnya tidak perlu terjadi jika kita bisa lebih menahan diri dan menaruh rasa hormat pada orang lain atas perbedaan pilihan politiknya. Menahan diri dari mengeluarkan pernyataan yang bisa melukai perasaan orang lain, misal dengan menyebut goblok, dungu, tidak menggunakan akal sehat dan ujaran buruk lainnya pada kelompok yang tidak sejalan dengan pikiran dan pilihan kita. Karena adalah hal yang sangat naif dan berlebihan jika

Suara Berharap 'Suara'

Bertingkahnya suara-suara itu begitu memekakkan telinga hingga si gendang bergetar menjerit kewalahan, sakit! Atmosfer telah menjadi pengap oleh bau-bau mulut yang menggeser komposisi udara hingga paru-paru terasa sesak oleh defisitnya oksigen. Layar-layar gadget dan lembar-lembar cetak bak terpenuhi huruf-huruf miskin manfaat dan makna hingga membikin mata nanar, dahi berkerenyit. Suara orang-orang berharap 'Suara' itu telah banyak mengganggu kawan! Bising dan gaduhnya yang melebihi ambang malahan mengoyak kerukunan, membelah anak bangsa. Racauan mereka kadang bak candu memabukkan sekaligus menyihir orang banyak ikutan pula gaduh melipat gandakan aroma 'naga'nya tak lagi ambil pusing dengan konten racunnya. Mereka hanya butuh 'Suara' kita! Jargon melangit, pelambungan harapan, boleh jadi hanya akan menetap di awang-awang. Lalu dapat apa kita? Bangga? Menang? Puas? Berasa melakukan penyelamatan? Atau, setelah segala hinaan, cacian, makian, su

TABU

Pemahaman orang bahwa tabu adalah sesuatu yang tidak boleh atau tidak/kurang pantas untuk; disentuh, dilakukan, dibicarakan, dibahas -baik itu secara terbuka di depan publik maupun tidak- oleh karena suatu alasan tertentu saya kira tidak berubah dari waktu ke waktu. Hanya saja barangkali, subjek atau objek-nya yang terus berubah seiring dengan perubahan dan perkembangan jaman, yang peliputannya (bisa) hampir di semua bidang bahkan hingga pada ranah yang disakralkan sekalipun, yaitu agama. Alasan tertentu yang disebut diatas itu bisa berupa berangkat dari larangan, norma kepantasan, perasaan (segan, malu, takut karena ancaman kekuasaan dan (mungkin) agama atau yang lainnya yang bersifat magis misalnya). Masih teringat ketika masa kanak-kanak dulu ada semacam larangan/anjuran yang tidak jelas dari mana asal-muasalnya, bahwa kalau kita ke laut (khususnya) pantai selatan jangan mengenakan pakaian warna hijau karena bisa mendatangkan celaka. Jika mandi di pantainya itu bisa keseret omba

Paceklik Nasional

Ini bukan tentang langkanya pangan yang dialami negara dan bangsa kita. Tapi tentang sesuatu yang lebih serius dari sekedar kelaparan yang melilit perut. Ketika politisi kelas satu negeri ini dan orang-orang yang dikenal sebagai pesohor nan cerdas tinggi berakal di tanah air begitu gampang terhasut oleh isu atau kabar yang belum jelas benar duduk perkaranya. Jika rivalitas dalam berpolitik mereka lebih mendominasi dari obyektifitas dalam menarik kesimpulan, apa yang bisa dikatakan lagi selain bahwa kita ini sedang mengalami masa paceklik nasional dalam hal kewarasan dan akal sehat? Sifat dan sikap kurang cermat hingga mudah terhasut -apapun alasan penyebabnya- tentu bukan perkara sepele bagi siapapun, apalagi bagi para aktivis, para calon pemimpin nasional dan calon-calon petinggi pemerintahan yang akan membuat dan menjalankan kebijakan negara. Apa kira-kira yang bisa diharapkan dari mereka jika kelak benar-benar memegang kendali negara dan pemerintahan? Akan berbahaya buat kita s