TABU

Pemahaman orang bahwa tabu adalah sesuatu yang tidak boleh atau tidak/kurang pantas untuk; disentuh, dilakukan, dibicarakan, dibahas -baik itu secara terbuka di depan publik maupun tidak- oleh karena suatu alasan tertentu saya kira tidak berubah dari waktu ke waktu. Hanya saja barangkali, subjek atau objek-nya yang terus berubah seiring dengan perubahan dan perkembangan jaman, yang peliputannya (bisa) hampir di semua bidang bahkan hingga pada ranah yang disakralkan sekalipun, yaitu agama.
Alasan tertentu yang disebut diatas itu bisa berupa berangkat dari larangan, norma kepantasan, perasaan (segan, malu, takut karena ancaman kekuasaan dan (mungkin) agama atau yang lainnya yang bersifat magis misalnya).

Masih teringat ketika masa kanak-kanak dulu ada semacam larangan/anjuran yang tidak jelas dari mana asal-muasalnya, bahwa kalau kita ke laut (khususnya) pantai selatan jangan mengenakan pakaian warna hijau karena bisa mendatangkan celaka. Jika mandi di pantainya itu bisa keseret ombak, konon katanya. Meski tidak tahu persis kebenarannya tetapi kita tetap mematuhinya karena ada rasa kawatir, jangan-jangan bener. Saat sekarang barangkali anjuran demikian sudah luntur atau sudah tidak ada.

Yang lain, tentang sexualitas misalnya. Betapa topik bahasan ini begitu sulit dan segannya baik antara orang tua dan anak ketika mereka hendak membicarakannya. Anak mau bertanya atau orang tua mau menjelaskan, semacam ada hambatan yang begitu sulit. Kagok barangkali ketika akan memulai bahasannya. Lalu yang terjadi anak-anak mendapatkan pengetahuannya lewat sesama teman atau dari bahan bacaan, sementara orang tua hanya bisa membiarkan hal itu mengalir secara 'alamiah' "ah mengko rak weruh-weruh dhewe". Namun hari-hari belakangan topik ini sudah lebih terbuka bisa diperbincangkan di dalam keluarga. Meski tidak atau belum semua keluarga juga sih.

Dalam konteks politik, bagaimana pada masa kekuasaan orde baru begitu tabu dan ngerinya ketika orang ingin membicarakan (kekuasaan) pak Harto. Misalnya dalam kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran HAM berat yang terjadi, kasus akan nasib buruk yang terus membayangi hidup anak-anak yang orang tuanya terkena OT, kasus banyaknya korban Tanjung Priok dan lain sebagainya.

Sempat sangat populer beredar guyonan di tengah rasa takut itu bahwa kita mesti hati-hati dalam berbicara karena tembok rumah kita pun boleh jadi memiliki kuping yang akan mendengar dan merekam semua pembicaraan kita. Apalagi jika berbicara tentang suatu yang paling ditabukan di negeri ini yaitu gerakan 30 September/PKI kecuali tentu saja yang sesuai dengan narasi sang kuasa.
Orang begitu takutnya bahkan ketika hanya ingin membaca karya sastra dari seorang Pramoedya Ananta Toer atau Tan Malaka atau tokoh kiri lainnya misalnya.

Tapi sebentar, apakah memang topik tentang tragedi lantaran ideologi ini sudah bisa bebas dibicarakan di negeri kita ini? Agaknya masih jauh dan butuh waktu yang panjang lagi untuk bisa menghapus ketabuan itu. Rasa khawatir dan ngeri akan kebangkitan kembali paham ini masih sangat kuat, meskipun banyak yang menyatakan bahwa sebagai ideologi paham komunisme sudah tidak laku lagi di alam yang sudah sedemikian bebas dan semakin kapitalis ini. Bagaimana tidak, setiap tahun ketika bulan sembilan itu menjelang, hampir semua orang sibuk membicarakan 'hantu' ini untuk berbagai kepentingan terutama politik.

Pilpres tahun 2014 yang lalu rasanya masih belum terlupa bagaimana isu PKI dikapitalisasi menjadi senjata untuk membunuh karakter lawan politiknya. Meski tidak berhasil membuatnya tenggelam dan 'mati', menjelang tahun kelima pasca pilpres itupun kini masih saja isu itu dipakai oleh beberapa kalangan elit politik dan agamawan negeri ini. Bahkan dalam level dan kasus tertentu beberapa kalangan itu tidak sungkan-sungkan lagi menunjuk suatu arah dimana dan dari mananya si 'hantu' itu berasal dan berada meskipun tidak bisa memberikan bukti data yang kongkrit.

Mungkin, mempertimbangkan yang demikian itu, agaknya keinginan untuk rekonsiliasi antara pemerintah selaku pengelola negara dengan keluarga korban kekerasan yang paling kelam mencekam masa silam itu masih berhenti dalam sebuah wacana. Waktu yang sudah berjalan hingga dua puluhan tahun dari titik awal reformasi itu belumlah cukup. Ketabuan itu nyatanya masih sangat kental, masih perlu beribu-ribu liter lagi 'zat pelarut' dan waktu panjang untuk mengaduknya hingga bisa membuatnya lebih cair.

Ketabuan yang lain yang agaknya juga butuh waktu panjang untuk bisa mengikisnya yaitu dalam konteks berkeyakinan. Meski kita tengah berada di alam demokrasi yang sudah maju, di alam kebebasan berekspresi yang sedemikian dihargai serta bahan bacaan yang melimpah ruah dan mudah didapat di era digital ini, senyatanya masih banyak hal yang -atas pertimbangan tertentu- membuat kita men-tabukannya yang dalam puncaknya bolehlah jika disebut membelenggu dan mengungkung.
Kita tidak (belum) sepenuhnya bisa berekspresi sesuai dengan apa yang kita yakini benar yang berdasarkan pertimbangan akal dan pikiran serta pencarian dan penelusuran kita.

Perbedaan dalam memahami agama masih belum bisa sepenuhnya diterima meski oleh kalangan yang dikenal berpengetahuan cukup, apalagi masyarakat awam. Fakta lapangan sangat jelas kentara bahwa ada kelompok-kelompok yang ingin menihilkan bahkan memadamkan adanya perbedaan yang sebuah keniscayaan itu, lalu hendak memaksakannya pada sebuah keseragaman.
Sikap intoleran akibat belenggu fanatisme buta dan sempitnya wawasan yang berkembang pada hari-hari ini saya kira sebuah paradoks dari kondisi yang demokratis dan bejibun serta melimpahnya informasi yang bisa diakses dengan mudah kapan saja di era kita ini.

Ada sebuah contoh yang sangat simpel yang menjelaskan belum cukup dewasanya orang-orang di sekitar kita dalam memahami dan lalu menerima perbedaan yang ada itu.

Pernah suatu hari kami kedatangan tamu jauh yang kawan sekampung dan pernah sama-sama ikut dalam sebuah kelompok jamaah dakwah, namun kini telah mukim di sebuah kota di pulau seberang.
Ketika berada dalam rumah yang di beberapa dindingnya terpasang lukisan tokoh dan semacam kaligrafi rajah, kawan ini mengamati sepintasan. Saat itu saya tidak pernah mengira kalau kawan ini telah berkesimpulan tentang sesuatu, karena tidak pernah bertanya dan berkomentar apapun. Saya hanya mengetahuinya ketika saya mudik dan ditegor orang tua bahwa saya sudah berlaku syirik. Usut punya usut, kawan saya itulah yang bercerita banyak dengan kesimpulan sepihaknya tentang apa yang dilihatnya di rumah tempo hari. Dan mudik kali itu menjadi lebih seru dan kesempatan yang baik untuk menjelaskan ke orang tua bagaimana sikap saya dalam memahami praktik dalam berkeyakinan.

Mempertimbangkan hal-hal yang demikian, karena akan sangat merepotkan dan suatu yang tidak mungkin jika harus memberikan penjelasan ke semua orang sama seperti yang saya lakukan ke orang tua, maka gambar-gambar itu saya relakan untuk tidak menghias dinding rumah lagi. Saya menabukannya hingga waktu yang tidak diketahui lantaran kejumudan orang itu tidak pernah diketahui juga kapan berakhirnya. (.)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!