Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2017

Sejarah (Masih) Milik Para Pemenangnya

Pernah dalam sebuah obrolan dengan beberapa kawan perihal teori itu, salah seorang dari mereka mengatakan: "Itu dulu, kalau sekarang lebih sulit melakukan pengaturan sejarah karena kemajuan teknologi informasi yang sudah sedemikian pesat. Akan cepat terbongkar" Tidak terlalu salah memang pendapat seperti itu, karena cepat atau lambat kebohongan sejarah yang dipaksakan pada akhirnya akan terkuak juga. Tetapi siapakah yang bisa memperkirakan dampak serta akibat yang ditimbulkan dari ter-distorsinya sejarah atau peristiwa itu, selama menunggu segala bentuk kebohongannya terbongkar? Mari tengok kisah Suriah.  Bagaimana konflik yang sejak 2011 berkecamuk disana hingga sekarang belum bisa diselesaikan dengan baik. Bagaimana pula mula dari konflik itu terjadi. Peran media yang punya dana finansial yang sangat besar dan berbagai pihak di belakangnya yang berkepentingan di percaturan geopolitik timur tengah telah membentuk opini yang berpengaruh luas terhadap tafsir tentan

"Presidential Treshold" Ditiadakan?

Yang juga tengah digarap oleh lembaga legislatif kita saat ini tentang revisi undang-undang pemilu, pileg dan pilpres yang rencananya akan dilangsungkan serentak pada tahun 2019 mendatang. Dari lima agenda itu, wacana perubahan yang sedang menjadi perdebatan cukup sengit adalah tentang peniadaan  Presidential Treshold  alias ambang batas untuk pengajuan calon presiden diusulkan menjadi 0% dari yang sebelumnya berkisar antara angka 20-25%.  Peniadaan minimal persentasi perolehan kursi legislatif atau perolehan suara sah nasional dimaksudkan oleh para politisi dari partai pengusungnya itu adalah untuk memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi putera-puteri terbaik negeri ini untuk memimpin Indonesia. Idenya sangat mulia, karena dengan batasan yang cukup tinggi seperti yang ada saat ini akan membatasi pula kandidat-kandidat cemerlang untuk bisa tampil di gelanggang pertarungan pilpres. Namun pertanyaannya: Apakah usulan itu tidak ada kepentingan yang tersembunyi disebalik

Rekonsiliasi Atau Revolusi!

Seruannya hanya itu! Apa? Pilihannya hanya dua itu? Harus pilih salah satu lagi! " Ah kok aya-aya wae...jangan sing mboten-mboten toh". Tapi ya kalau saya harus katakan sih pilihan yang disodorkannya itu sama baiknya dan oleh karenanya saya akan pilih dua-duanya.  Untuk kepentingan pengembangan diri, kata teman yang  motivator  itu  self development , untuk menuju pada kondisi yang lebih baik, sebagaimana yang juga dianjurkan para bijak dan agamawan... hari ini harus lebih baik dari hari kemarin ...maka Revolusi dan Rekonsiliasi itu memang harus dilakukan segera dan dengan sepenuh hati, terhadap diri sendiri.  Revolusi , sebagaimana yang umum ketahui adalah suatu perubahan yang cepat. Dan kita memang sangat perlu untuk melakukan perubahan cepat terhadap diri sendiri. Perubahan cepat atas sikap mental kita dari mental terjajah menjadi mental merdeka, mental pecundang menjadi mental pemenang, merasa diri inferior menjadi lebih percaya diri. Dari sikap yang malas m

Anggaran Pansus Rp. 3,1 Miliar (For Nothing)?

Kaget juga membacanya. Ternyata bukan angka yang sedikit anggaran yang diperlukan untuk sebuah hak angket DPR sekaitan dengan KPK ini.  Berita yang dilansir oleh  kompas ini  menyebutkan angka 3.1 M, yang akan digunakan untuk keperluan pansus seperti rapat-rapat pansus (yang dianggarkan mencapai angka Rp. 582,5 juta yang bagian terbesarnya untuk konsumsi rapat, sebagaimana tutur Agun Gunandjar Sudarsa selaku ketua pansus) dan kegiatan berupa  konsinyering   untuk kunjungan ke luar kota serta mengundang pakar dan ahli terkait.  Biaya yang besar ini jelas menyisakan pertanyaan dikarenakan keabsahan dan legalitas dari pansus yang dibentuk ini masih dipertanyakan oleh para pakar hukum tata negara. Bahkan hasil kajian yang dilakukan oleh Pak Machfud MD dan tim yang tergabung dalam APHTN-HAN (Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara)  menyatakan cacat hukum.  Hak Angket KPK ini cacat hukum baik dari subyek dan obyek.  Prof. Refly Harun yang tergabung juga di d

Stop (Teriak) Kriminalisasi!

Sekarang tendensinya semakin banyak orang yang gemar menyebut kata kriminalisasi, ketika ada penceramah misalnya ditangkap aparat karena isi ceramahnya atau tersebab sepak terjangnya selama ini. Atau juga ketika ada tokoh masyarakat yang tiba-tiba terlilit dalam kasus.  Tuduhan terhadap aparat penegak hukum (baca:pemerintah) sedang mengkriminalkan mereka segera saja ramai diperbincangkan. Terlebih jika kasus-kasus itu menyambangi orang-orang yang sepemahaman atau berasal dari kubu yang sama. Atau paling tidak jika orang-orang itu adalah orang yang ditokohkannya. Terkadang terlihat seperti hendak menafikan esensi dari kasusnya itu sendiri. Sikap pembelaan yang berlebuhan bisa berujung pada ketidak fair-an. Pak Todung Mulya Lubis, seorang pakar hukum yang disegani banyak kalangan, di akun twitter-nya mecuitkan tentang kriminalisasi ini. Katanya: "Kriminalisasi adalah terminologi untuk pemaksaan proses pidana terhadap seseorang yang tak ada indikasi tindak pidana".

Benarkah Pak Amien (Masih) Sekokoh dan Setegar Karang?

Ketokohan beliau ini, Pak Amien Rais, pada masa-masa akhir pemerintahan orde baru sangat fenomenal. Beliau adalah penggerak utama dan garda terdepan dari gerbong reformasi yang tengah digulirkan. Bersama tokoh-tokoh nasional lainnya dengan dukungan penuh dari mahasiswa, beliau terus bergerak hingga pada jatuhnya kekuasaan yang begitu lama memegang kendali negara. Siapa yang bisa menyangkalnya? Jika bukan karena sesuatu hal, yang ditesiskan oleh beberapa tokoh, maka beliau sangat potensial bisa menjadi presiden berikutnya. Tetapi sayang hal itu tidak terjadi karena beliau memilih jalur konstitusional yang lalu teknokrat yang terkenal juga dengan sebutan Mr. Crack lah yang akhirnya meneruskan pemerintahan yang disebut sebagai pemerintahan transisi untuk segera menyiapkan pemilu yang jurdil.  Tentang pemilu dan "produk" yang dihasilkannya kiranya juga tidak bisa lepas dari upaya yang dilakukan pak AR. Masih jelas diingatan dimana PDIP selaku pemenang pemilu saat itu tida

Ini Tentang Kepastian!

Kafilah itu terus berjalan Meniti jengkal demi jengkal medan juangnya Di dalam kesunyiannya mereka terus berjuang Menyongsong dan meraih harapan nan agung Langkah-langkanya begitu tegap penuh keyakinan Tak ada ragu sedikitpun bahwa kepastian janji itu akan datang "Kita tak sedang berhitung tentang angka-angka Atau tentang bilangan Hanya berharap akan karunia berkah dan ridhloNya"

Akal dan Pikiran Yang Terkorupsi?

Acapkali aku kehilangan kosa kata Kumpulan yang mungkin saja telah berjuta jumlahnya itu menjadi begitu langka untuk ditemukan   Rasanya sudah hampir tak bersisa lagi Lalu bagaimana aku harus berkata-kata...  Bagaimana pula aku harus menuliskannya... Apalah arti kata-kata dan tulisan-tulisan itu jika kehilangan pesan? Lantaran ke-tak utuhan bangunannya? Hari-hari ini betapa sulitnya menyusun kata membentuk kalimat Tersebab yang tersisa di kepala hanyalah Dikriminalisasi Dipolitisasi Dizolimi Dibidik Diincar Dan segelintiran kata-kata pasif lainnya Apakah mungkin korupsi telah pula merambah ke akal pikiran?

Mempertentangkan Dua Wajah?

Dua pengalaman -paling tidaknya- yang telah terjadi pada kurun tiga tahun belakangan ini tidak berharap terulang.  Head to head  dalam pilkada dan pilpres yang lalu benar-benar menyebabkan terbentuknya dua kubu yang masih saja terus bertentangan.  Pingin rasanya pada setiap helatan pemilu, kontestannya lebih dari dua pasang calon dan bisa selesai dalam satu putaran saja. Karena jika masih berlanjut ke putaran berikutnya maka cerita  dua wajah yang saling bertentangan  yang berbuntut pada perseteruan hampir bisa dipastikan akan terulang. Perseteruan yang susul menyusul dan membuang banyak energi positif serta kontra produktif dari segala topik yang bisa dimunculkan, berlangsung terus hingga datang waktu pemilihan berikutnya. "Apakah mungkin?"  Ya sulit memang!.  Namun ada hal yang bisa diupayakan oleh seluruh anak bangsa baik sang kontestan maupun para pendukungnya demi tetap menjaga keutuhan bangsa dan negaranya adalah, begitu selesai seluruh rangkaian pemilu seles

"Gebug dan Gerudug"

Dua kata kerja itu,  Gebug  dan  Gerudug  masih akan terus populer dan "menggema" entah sampai kapan ujungnya. Gebug! Otoritas negara telah menetapkan langkah tegas untuk menggebug siapa saja atau ormas apa saja yang mempunyai kecenderungan atau berpotensi menyebabkan perpecahan, terlebih bagi yang coba-coba hendak mengganti dasar negara.  Tentu langkah gebug yang diambil otoritas negara ini harus dipahami sebagai langkah pengamanan nasional, bukan malahan menuduh sebagai bentuk pengamanan kekuasaan. Instruksi sudah dikeluarkan. Tanggapan baik dari yang pro maupun yang kontra sudah pula menjejali linimassa. Sudah barang tentu pihak otoritas sudah melakukan kalkulasi politik untuk wacana ini dengan matang. Tinggal kita menanti realisasinya akan seperti apa lalu respon yang akan terjadi seperti apa pula. Berharap tidak timbul kegaduhan baru yang berimbas pada keadaan yang tidak diinginkan.  Patut untuk juga dipertimbangkan adalah pemberangusan terhadap kelompok

Pluralisme si AFI, Apa Yang Salah?

Saya kira riuh rendahnya orang berbalas tanggapan, komentar, penilaian bahkan penghakiman dengan pemberian label-label yang ngeri-ngeri sedap terhadap AFI Nihaya Faradisa dan "kasus"nya itu cepat berakhir. Ternyata saya keliru. Sepertinya ini masih akan panjang, terlebih ada pihak yang berpikiran dan menghubungkan isu ini dengan "kepentingan" yang lain.  "AFI hanyalah sosok remaja yang telah dengan tega "dikorbankan" oleh "tangan-tangan" besar nan jahat".  Apakah statement ini benar saya tidak tahu, dan mungkin menunggu saja sang waktu yang akan membuktikan benar-tidaknya. Dalam sebuah tulisan yang dimuat pada sebuah portal, penulisnya mengatakan tentang bahayanya pemikiran si Afi dan orang-orang sejenisnya. Salah satu dari beberapa hal yang dikhawatirkan itu adalah tentang pemikiran atau sikap  pluralis- nya. Apa sih pluralisme itu?  Mari kita lihat di kamus... Pluralisme  menurut KBBI    pluralisme /plu·ra·lis·me/   n

Puasa dan Wudhlu, Sebuah Ikhtiyat Pribadi

Sempat terjadi  udur  alias debat kecil dengan seorang kawan tentang wudhlu ketika sedang berpuasa. Beliau tetap melakukan wudhlu secara "normal" atau kalau meminjam istilah yang lagi nge- trend  dan populer saat ini, WTP alias wajar tanpa pengecualian. Bukan Wasuki Tjahaja Purnama lho. Maksud dari normal disini adalah berwudhlu lengkap berikut sunah-sunahnya, tidak hanya rukunnya saja. Dari semua sunah wudhlu ada satu hal yang paling kritikal ketika kita sedang berpuasa. Kumur-kumur.  Kenapa kumur-kumur kritikal? Karena air yang sudah berada di dalam mulut tentu telah bersinggungan dengan semua isi yang ada di dalamnya. Gigi, gusi, lidah, langit-langit bahkan komponen-komponen penghasil ludah. Yang sangat mustahil air tersebut bisa dikeluarkan secara sempurna hanya dengan diludahkan, jumlah air yang dimasukkan ke dalam mulut bisa sama dengan jumlah air yang dikeluarkan dari mulut. Contoh kecil saja ketika membasuh tangan misalnya, air yang kita coba usap dengan tanga