Rekonsiliasi Atau Revolusi!

Seruannya hanya itu!

Apa? Pilihannya hanya dua itu? Harus pilih salah satu lagi! "Ah kok aya-aya wae...jangan sing mboten-mboten toh".

Tapi ya kalau saya harus katakan sih pilihan yang disodorkannya itu sama baiknya dan oleh karenanya saya akan pilih dua-duanya. 

Untuk kepentingan pengembangan diri, kata teman yang motivator itu self development, untuk menuju pada kondisi yang lebih baik, sebagaimana yang juga dianjurkan para bijak dan agamawan...hari ini harus lebih baik dari hari kemarin...maka Revolusi dan Rekonsiliasi itu memang harus dilakukan segera dan dengan sepenuh hati, terhadap diri sendiri. 

Revolusi, sebagaimana yang umum ketahui adalah suatu perubahan yang cepat. Dan kita memang sangat perlu untuk melakukan perubahan cepat terhadap diri sendiri. Perubahan cepat atas sikap mental kita dari mental terjajah menjadi mental merdeka, mental pecundang menjadi mental pemenang, merasa diri inferior menjadi lebih percaya diri. Dari sikap yang malas menjadi pribadi yang rajin. Dari yang ngasal, contoh kecilnya buang sampah sembarangan, menjadi pribadi yang disiplin. 

Revolusi bisa bermula dari hal-hal kecil, yang enteng-enteng saja lalu berangsur ke sesuatu yang lebih luhur nilainya.
Berawal dari tiap individu lalu meluas dan melembaga hingga menyentuh semua lapisan, tak terkecuali para penyelenggara negara dan pemerintahan. Dari yang sebelumnya sebagai birokrat bermental juragan menjadi birokrat yang melayani (eh tapi tentang pelayan ini ada yang bilang lho..."masa bangga jadi pelayan"..tapi siapa ya..lupa!)

Nah apa yang dimaksud oleh para ulama ketika menyerukan revolusi itu, saya berkeyakinan bahwa revolusi yang diserukan itu pasti berkaitan dengan sikap mental ini. Bukan yang lain!. Dan secara lugas barangkali saja ingin dikatakan dengan Revolusi Mental tetapi karena revolusi jenis ini sudah menjadi jargon dan trademark dari kubu sebelah (kalau masih ada kubu-kubuan sih) jadi ya cukup berhenti di pilihan kata itu saja.

Rekonsiliasi, sebuah kata serapan dari bahasa asing ini bermakna berdamai. Dan saya merasa bahwa seruan berdamai yang telah disampaikan itu sesungguhnya seruan untuk setiap individu agar mampu berdamai dengan dirinya sendiri. Karena, rasanya akan sulit bisa berdamai dengan orang lain tanpa terlebih dulu bisa berdamai dengan dirinya sendiri. 

Bisa berdamai dengan diri sendiri sungguh sesuatu yang indah dan menyenangkan bahkan bisa menjadi titik tolak untuk kebaikan kita.   Berdamai dengan segala keinginan dan hasrat menggebu tentang sesuatu apalagi jika itu diluar batas kemampuan yang kita miliki. Sanggup menerima dan bersyukur atas apa yang telah dianugerahkan Allah kepada kita, yang dalam bahasa agama dikenal sebagai Qana'ah, sehingga tidak terseret berlarut-larut dalam angan-angan panjang yang merugikan. 
Berdamai dengan ego dan selanjutnya mampu mengendalikannya, yang sering orang bilang "sudah selesai dengan dirinya sendiri" hingga seterusnya mudah menerima dan memberi maaf kepada orang lain jika ada kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya. 

Rekonsiliasi dan revolusi inilah yang mesti kita lakukan bareng-bareng dalam rangka perbaikan seluruh elemen dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara untuk mewujudkan negara yang baldatun thoyyibatun warabbun ghafur.

Dan ulama, saya kira telah menyerukan hal yang benar!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!