Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2018

Pak Gatot Dan Selera "Monokromnya"

Siapa orangnya sih yang rela citra baiknya tercoreng apalagi luntur? Saya kira tak satupun orang yang mau, karena itu adalah personal capital alias kapital pribadi yang mahal, apalagi jika kapital itu hendak didaya-gunakan sebagai bekal pertarungan di kancah politik. Dan tokoh kita kali ini, Pak Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo, juga berusaha menjaga citra positifnya itu meski -menurut saya- sempat terpeleset sedikit namun cukup fatal saat tampil di acara Rosi, sebuah acara Talk Show-nya Kompas TV pada Kamis malam kemarin tanggal 27 September 2018. Apa yang beliau lakukan di akun twitter-nya itu, dengan hanya memajang potongan videonya yang sangat heroik, adalah sesuatu yang bisa ditafsirkan demikian. Tidak memajang video secara lengkap rangkaian acara talk show adalah penting mengingat ada segmen dimana beliau melontarkan pernyataan yang kurang (untuk tidak mengatakan sebagai tidak) argumentatif. Mengapa layak disebut demikian, karena pernyataan beliau sangat spekulatif namun sang

Ibu Nan Cantik Di Kerumunan Anak-anak Durhaka

Pesona Ibu muda itu sungguh teramat menarik. Sudahlah Elok parasnya, teramat berharta pula. Bisa dipastikan tak bakal ada satupun lelaki yang tidak tertarik kepadanya. Karena, jangankan lelaki, para wanitanya pun sedemikian mengagumi dan menyenanginya. Apa saja yang ada padanya selalu mengundang decak kagum siapapun yang melihatnya hingga tak satupun kecacatan yang bisa ditemukan daripadanya. Banyak para lelaki hidung belang dari yang perlente hingga yang nyaris bangkrut atau mungkin sudah menjelang kere itu berebut memperoleh perhatiannya. Mereka berebut ingin mendapatkan kesempatan menyunting Ibu muda itu dengan segala resikonya. Adu jotos bahkan hingga bertaruh nyawa sekalipun (yang penting bukan nyawanya sendiri) akan mereka lakukan. Dan paduan antara kecantikan-kekayaan yang demikian luar biasa itu, pada satu sisi adalah anugerah dan karunia besar dari Tuhan Yang Maha Memberi, namun pada sisi yang lain menjadi musibah pula baginya. Amat disayangkan memang, 'takdir'

Protagonisme Antagonisme...Setali Tiga Uang!!!

Seruan pemilu damai dari para tokoh yang terlibat kontestasi politik dengan anjurannya agar semua pihak bisa menggelar kampanye sehat, santun dan bermartabat, kadang terdengarnya mirip lagu yang ber-syar indah namun sumbang dan sember terlantunkannya. Bagaimana akan bisa terdengar merdu jika untuk meraup suara dan dukungan, mereka-mereka tak ada lagi sungkan-segannya sama sekali ketika memberikan cap negatif ke pesaingnya. Bahwa penyebutan -baik langsung maupun tidak- pada lawan politiknya sebagai pihak pemeran antagonis dan menganggap diri dan kubunya sebagai protagonis sempurna adalah sikap dan tindakan yang tidak elok sama sekali. Dalam situasi dan keperluan tertentu itulah, sikap antagonisme bagi lawan dan sikap protagonisme untuk diri sendiri, itu setali tiga uang, sama-sama jahat dan buruknya. Saya masih ingat betul pernyataan politisi yang sangat senior yang bergelar profesor itu terjebak dalam pemikiran yang tidak sehat ini sampai berulang kali. Bahkan, beliau sanggup me