Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2018

Efek Jokowi

Edan-edanan? Barangkali saja, saat-saat seperti sekarang ini kondisinya sudah bisa disebut demikian. Bayangkan saja. Seorang pemimpin, presiden yang terpilih secara konstitusional dihina, diejek, bisa sedemikian rupa tidak dihargainya oleh orang-orang yang semestinya bisa, sangat bisa bahkan, untuk meski sedikit memberikan rasa hormat padanya. Memang tidak semua rakyat berbuat demikian, tetapi menjadi ganjil juga karena pada saat yang sama memuja-puja mantan calon pemimpin atau malahan pemimpin dari negara lain dengan sedemikian rupa, padahal kalau saja mau mencermati dan lebih open minded banyak hal miring yang telah dilakukan oleh sang pujaan. "Apa itu?" "Aah jangan pura-pura ngga tahu gitu lah". Dan keparahannya itu semakin menjadi, lebih ketara lagi ketika asumsi-asumsi, khayalan, halusinasi ikut andil pula dalam hal puja-puja itu. "Andai saja yang terpilih bukan si pe-meubel ini...tentu tidak akan seperti saat ini keadaannya. Korupsi, penegakan h

Kami Ummat Terbaik!

Meski aku tahu dengan kepastian yang tak tersangkalkanpun, kata-kata nyaringku barangkali hanya akan terkurung oleh tembok-tembok tegap kokoh nan tebal. Tembok keangkuhan milik orang-orang yang telah mengira dirinya sebagai "pemutus perkara". Tembok jumawa para pelahap ratus, atau mungkin ribu buku dan kitab. Atau jikapun tidak, teriakan kerasku itu barangkali hanya akan terhisap  pusaran angin yang lalu meniupkannya, dan hilang entah ke ujung yang mana. Atau suara yang aku kira nyaring itu hanyalah berupa bisikan sunyi di riuh-rendah dan hiruk-pikuknya semesta yang menolak dan menyangkalinya?! Namun suara-suara itu, bagaimanapun wujudnya nanti, tak peduli keras ataupun lemah, harus tetap diteriakkan sekuat-kuatnya. Semampu kerja kombinasi paru-paru dan otot perut yang bahu-membahu menyemburkan udara dan menggesek pita suara itu. Karena dengan suara nyaring itu kebenaran dan keadilan akan terus terperjuangkan. Hingga tak perlu lagi menghitung waktu, dan berpikir kapan

Si Duo dahsyat!

Ini bukan tentang dua sosok fenomenal di parlemen itu lho! Tapi tentang dua jempol setia yang kita punya. Jika sebelum-sebelumnya kita kasih jempol bahkan Two thumbs up sekaligus sebagai ungkapan pujian untuk 'hal-hal yang bagus', atau sebaliknya, two thumbs down untuk 'hal-hal buruk'. Tapi perkembangan jaman telah menambahkan fungsinya menjadi lebih dahsyat. "Dahsyat?...Ah lebay nih!" Jempol-jempol kita itu ternyata bisa sangat merusak. Ketika godaan tuts-tuts virtual dari smartphone itu menyeret keduanya untuk menulis hal-hal buruk caci-maki, sumpah-serapah, hoax, fitnah yang lalu diikuti si jempol kanan beraksi di tombol share. Semuanya sudah terlepas dari kendali kita. Kita tidak pernah akan tahu kemana saja hal buruk itu akan menjelajah dan seberapa besar dampaknya. Bisa merusak diri sendiri karena bisa berurusan dengan hukum, sebagai bentuk pelanggaran undang-undang yang berlaku. Atau lebih parah menjadi rangkaian penyebab konflik horizontal yan

"Rakyat Sudah Cerdas!!!"

Klaim seperti subyek di atas itu seringkali diper-tonton-dengar-kan melalui tayangan televisi oleh para nara sumber ketika diundang pada acara Talk Show. Sering ditulis orang pada media online, sering pula bertebaran di media sosial baik dalam status atau komen dari status. Pertanyaannya: "Apakah benar kita ini sudah sedemikian cerdas dalam memahami situasi yang telah dan tengah terjadi ini?".  "Apakah benar dan yakin pula bahwa kita sudah memperoleh informasi faktual, informasi yang bener-bener sesuai dengan fakta yang terjadi sesungguhnya?" Pertanyaan demikian itu atau pertanyaan lain yang bersifat kontemplatif yang lebih dulu melongok pada diri sendiri adalah hal penting yang harus dilakukan, karena dengan demikian kita sudah berhati-hati dalam mengambil sikap dan tindakan lanjutannya terkait dengan setiap informasi. Pertanyaan-pertanyaan itu akan memaksa kita untuk mencari informasi pembanding, cover both sides, bahkan jika memungkinkan mengkonfirmasiny