Postingan

Menampilkan postingan dari 2018

Ruhamaau Baynahum Yang Kian Jauh

Saya mengira, dengan memperhatikan fenomena yang berkembang di masyarakat khususnya internal muslimin sendiri, bahwa sebuah relasi harmonis penuh kasih sayang antar sesama muslimin yang ada disebut dalam sebuah ayat Al-qur'an, "ruhamaau baynahum", rasanya masih agak jauh untuk bisa dirasakan dan dinikmati. Tidak terlalu berlebihan jika kita terpaksa harus berkesimpulan demikian mengingat apa yang belakangan terjadi, bagaimana diantara orang-orang yang memeluk agama yang sama masih terus-terusan sibuk memperuncing perbedaan yang ada. Lantas melupakan dan mengabaikan banyak hal tentang kesamaannya. Kasih sayang dan cinta yang terkandung dalam ajaran agama itu telah lepas dari 'pengamatan' akibat tertabiri oleh egoisme yang berlebihan, merasa diri dan kelompoknya saja yang paling benar. Seolah tidak ada kebenaran barang secuilpun dari kelompok di luar mereka. Sehingga ketika muncul berbagai persoalan dan perselisihan atas sesuatu, yang menonjol dari padanya lebih

Petuah 'Pojokan'

Gambar
Satu seruputan kopi hitam seduhan a-la Americano yang belakangan lebih aku gemari, membawa alam hayalku masuk ke suasana imajiner sebuah pengajian yang imajiner pula... Seorang ustadz dengan kopiah putih tipis model bulat berlilitkan sorban yang juga putih bersih nan rapi, tengah duduk dengan anggunnya di hadapan puluhan jamaah yang dengan takzim dan khusyuk mendengar setiap kata dan kalimatnya. Petuah-petuah yang mengalun dari sepasang bibir ustadz ini acapkali membuat kepala-kepala yang ada di depannya terangguk-angguk membenarkan. Namun tak jarang pula membuat kepala-kepala itu juga menggeleng pelan lalu tunduk tepekur. Menggelengnya bukanlah bantahan melainkan sebuah bentuk keheranan atas sikap dan perilaku diri sendiri, menunduk tepekur sebagai wujud penyesalan atas hal-hal negative yang telah diperbuat. Memang terkadang sang ustadz dalam ceramahnya menyisipkan pula berbagai pertanyaan retoris, ungkapan-ungkapan keprihatinan atas fenomena yang tengah tetjadi di masyarakat,

Me-Revisi Doa Pilihan Politik

Ajang pemilihan presiden yang digelar lima tahunan sekali ini rasanya telah benar-benar menyihir (atau malahan sudah meracuni?) kita semua. Hampir semua kalangan terlibat dalam pembicaraan kontestasi ini, lengkap dengan segala narasinya baik itu berupa narasi positive maupun negative. Memang sih, kita bisa belajar tentang banyak hal dari narasi-narasi itu, hanya saja perseteruan yang terbentuk itu sudah bikin neg, atau malahan sudah pada level yang mengkhawatirkan. Seperti permusuhan yang menjauhkan persahabatan bahkan persaudaraan. Yang disebut terakhir ini sebenarnya tidak perlu terjadi jika kita bisa lebih menahan diri dan menaruh rasa hormat pada orang lain atas perbedaan pilihan politiknya. Menahan diri dari mengeluarkan pernyataan yang bisa melukai perasaan orang lain, misal dengan menyebut goblok, dungu, tidak menggunakan akal sehat dan ujaran buruk lainnya pada kelompok yang tidak sejalan dengan pikiran dan pilihan kita. Karena adalah hal yang sangat naif dan berlebihan jika

Suara Berharap 'Suara'

Bertingkahnya suara-suara itu begitu memekakkan telinga hingga si gendang bergetar menjerit kewalahan, sakit! Atmosfer telah menjadi pengap oleh bau-bau mulut yang menggeser komposisi udara hingga paru-paru terasa sesak oleh defisitnya oksigen. Layar-layar gadget dan lembar-lembar cetak bak terpenuhi huruf-huruf miskin manfaat dan makna hingga membikin mata nanar, dahi berkerenyit. Suara orang-orang berharap 'Suara' itu telah banyak mengganggu kawan! Bising dan gaduhnya yang melebihi ambang malahan mengoyak kerukunan, membelah anak bangsa. Racauan mereka kadang bak candu memabukkan sekaligus menyihir orang banyak ikutan pula gaduh melipat gandakan aroma 'naga'nya tak lagi ambil pusing dengan konten racunnya. Mereka hanya butuh 'Suara' kita! Jargon melangit, pelambungan harapan, boleh jadi hanya akan menetap di awang-awang. Lalu dapat apa kita? Bangga? Menang? Puas? Berasa melakukan penyelamatan? Atau, setelah segala hinaan, cacian, makian, su

TABU

Pemahaman orang bahwa tabu adalah sesuatu yang tidak boleh atau tidak/kurang pantas untuk; disentuh, dilakukan, dibicarakan, dibahas -baik itu secara terbuka di depan publik maupun tidak- oleh karena suatu alasan tertentu saya kira tidak berubah dari waktu ke waktu. Hanya saja barangkali, subjek atau objek-nya yang terus berubah seiring dengan perubahan dan perkembangan jaman, yang peliputannya (bisa) hampir di semua bidang bahkan hingga pada ranah yang disakralkan sekalipun, yaitu agama. Alasan tertentu yang disebut diatas itu bisa berupa berangkat dari larangan, norma kepantasan, perasaan (segan, malu, takut karena ancaman kekuasaan dan (mungkin) agama atau yang lainnya yang bersifat magis misalnya). Masih teringat ketika masa kanak-kanak dulu ada semacam larangan/anjuran yang tidak jelas dari mana asal-muasalnya, bahwa kalau kita ke laut (khususnya) pantai selatan jangan mengenakan pakaian warna hijau karena bisa mendatangkan celaka. Jika mandi di pantainya itu bisa keseret omba

Paceklik Nasional

Ini bukan tentang langkanya pangan yang dialami negara dan bangsa kita. Tapi tentang sesuatu yang lebih serius dari sekedar kelaparan yang melilit perut. Ketika politisi kelas satu negeri ini dan orang-orang yang dikenal sebagai pesohor nan cerdas tinggi berakal di tanah air begitu gampang terhasut oleh isu atau kabar yang belum jelas benar duduk perkaranya. Jika rivalitas dalam berpolitik mereka lebih mendominasi dari obyektifitas dalam menarik kesimpulan, apa yang bisa dikatakan lagi selain bahwa kita ini sedang mengalami masa paceklik nasional dalam hal kewarasan dan akal sehat? Sifat dan sikap kurang cermat hingga mudah terhasut -apapun alasan penyebabnya- tentu bukan perkara sepele bagi siapapun, apalagi bagi para aktivis, para calon pemimpin nasional dan calon-calon petinggi pemerintahan yang akan membuat dan menjalankan kebijakan negara. Apa kira-kira yang bisa diharapkan dari mereka jika kelak benar-benar memegang kendali negara dan pemerintahan? Akan berbahaya buat kita s

Pak Gatot Dan Selera "Monokromnya"

Siapa orangnya sih yang rela citra baiknya tercoreng apalagi luntur? Saya kira tak satupun orang yang mau, karena itu adalah personal capital alias kapital pribadi yang mahal, apalagi jika kapital itu hendak didaya-gunakan sebagai bekal pertarungan di kancah politik. Dan tokoh kita kali ini, Pak Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo, juga berusaha menjaga citra positifnya itu meski -menurut saya- sempat terpeleset sedikit namun cukup fatal saat tampil di acara Rosi, sebuah acara Talk Show-nya Kompas TV pada Kamis malam kemarin tanggal 27 September 2018. Apa yang beliau lakukan di akun twitter-nya itu, dengan hanya memajang potongan videonya yang sangat heroik, adalah sesuatu yang bisa ditafsirkan demikian. Tidak memajang video secara lengkap rangkaian acara talk show adalah penting mengingat ada segmen dimana beliau melontarkan pernyataan yang kurang (untuk tidak mengatakan sebagai tidak) argumentatif. Mengapa layak disebut demikian, karena pernyataan beliau sangat spekulatif namun sang

Ibu Nan Cantik Di Kerumunan Anak-anak Durhaka

Pesona Ibu muda itu sungguh teramat menarik. Sudahlah Elok parasnya, teramat berharta pula. Bisa dipastikan tak bakal ada satupun lelaki yang tidak tertarik kepadanya. Karena, jangankan lelaki, para wanitanya pun sedemikian mengagumi dan menyenanginya. Apa saja yang ada padanya selalu mengundang decak kagum siapapun yang melihatnya hingga tak satupun kecacatan yang bisa ditemukan daripadanya. Banyak para lelaki hidung belang dari yang perlente hingga yang nyaris bangkrut atau mungkin sudah menjelang kere itu berebut memperoleh perhatiannya. Mereka berebut ingin mendapatkan kesempatan menyunting Ibu muda itu dengan segala resikonya. Adu jotos bahkan hingga bertaruh nyawa sekalipun (yang penting bukan nyawanya sendiri) akan mereka lakukan. Dan paduan antara kecantikan-kekayaan yang demikian luar biasa itu, pada satu sisi adalah anugerah dan karunia besar dari Tuhan Yang Maha Memberi, namun pada sisi yang lain menjadi musibah pula baginya. Amat disayangkan memang, 'takdir'

Protagonisme Antagonisme...Setali Tiga Uang!!!

Seruan pemilu damai dari para tokoh yang terlibat kontestasi politik dengan anjurannya agar semua pihak bisa menggelar kampanye sehat, santun dan bermartabat, kadang terdengarnya mirip lagu yang ber-syar indah namun sumbang dan sember terlantunkannya. Bagaimana akan bisa terdengar merdu jika untuk meraup suara dan dukungan, mereka-mereka tak ada lagi sungkan-segannya sama sekali ketika memberikan cap negatif ke pesaingnya. Bahwa penyebutan -baik langsung maupun tidak- pada lawan politiknya sebagai pihak pemeran antagonis dan menganggap diri dan kubunya sebagai protagonis sempurna adalah sikap dan tindakan yang tidak elok sama sekali. Dalam situasi dan keperluan tertentu itulah, sikap antagonisme bagi lawan dan sikap protagonisme untuk diri sendiri, itu setali tiga uang, sama-sama jahat dan buruknya. Saya masih ingat betul pernyataan politisi yang sangat senior yang bergelar profesor itu terjebak dalam pemikiran yang tidak sehat ini sampai berulang kali. Bahkan, beliau sanggup me

Biarkan Sang Waktu 'Bekerja' Time Is Making Solution.

Gambar
Biarkan waktu yang membuktikan! Mungkin ini yang paling tepat untuk dikatakan sehubungan dengan maraknya gegontokan, serang menyerang, saling hina dan hujat terkait dengan kontestasi politik di tanah air. Biarkan sang waktu juga menjawab atas semua persepsi kita, semua yang kita yakini saat ini pihak mana yang kelak bekerja dengan sepenuh hati untuk kemajuan dan kebaikan kita semua, negara dan bangsa Indonesia. Pilihan yang ada sudah jelas, koalisi pendukung berikut dengan semua personilnya sudah ada dan nampak jelas yang bisa kita telusuri latar belakang dan sepak terjangnya selama ini. Jadi sebenarnya dengan semua yang sudah tersajikan itu kita sudah mulai bisa mempertimbangkan akan kemana pilihan kita. Dan kalau kita bermaksud ingin mempengaruhi orang yang sudah kekeuh  dengan keyakinannya untuk mengajak sependapat dengan pilihan kita, tentu hal yang sangat sulit -untuk tidak dikatakan mustahil- oleh karena setiap kita punya preferensi sendiri-sendiri tentang pilihan kita it

Polarisasi Itu Tanggung Jawab Politisi!

Gambar
Ketua pusat kajian anti korupsi UGM, Zainal Arifin Mochtar di ILC 7 Agustus yang lalu mengatakan: "Tanggung jawab para politisi inilah yang kemudian harus mereduksi kembali tensi yang terlalu itu. Jangan kemudian dipaksa ke publik. Para politisi inilah yang harus bicara santun. Para politisi inilah yang harus mengatakan bahwa kepemimpinan itu untuk maslahah, kepemimpinan itu untuk melakukan sesuatu yang lebih baik untuk publik. Para politisi inilah yang harus menjaminkan." "Tapi kalau politisinya menggunakan jargon, politisinya menggunakan hal-hal yang tidak pas yang kemudian membuat publik berhadap-hadapan, di saat itulah sebenarnya mereka sedang mengingkari hal yang paling penting untuk republik ini." Pesan beliau ini penting sekali karena para politisi memang berkewajiban untuk memberikan pendidikan dan pembelajaran politik yang benar pada masyarakat bukan malah sebaliknya demi kepentingan politik pribadi dan kelompoknya. Sinyalemen dari sang pakar itu ba

Berkah "Kardus"?

Gambar
Ketika pak SBY memutuskan tetap akan memberikan dukungannya pada paslon PAS (PS-SSU) meski sebelumnya ada keributan antara mereka hingga buka-bukaan ada dana besar yang belakangan diklarifikasi oleh SSU sebagai dana kampanye, memunculkan keheranan dan tanda tanya besar. Kok beliau masih mendukungnya ya meskipun ada semacam perasaan tidak puas dengan keputusan pak PS?. Tetapi ketika mengingat bahwa pak SBY itu ahlinya strategi dan dikenal punya hitungan yang matang, maka keheranan saya sebelumnya itu menjadi tidak beralasan lagi. Boleh jadi harapan itu terkuak kembali, dan peluang baliho besar-besar yang tersebar di puluhan titik yang ditaksir bernilai 'wah' itu bukan hal yang sia-sia lagi. Yang perlu digaris-bawahi, uang yang muncul atau kedapatan pada seluruh proses pemilu ada aturan main dan sanksi jika ada pelanggaran didalamnya. Aturan itu tertuang dalam undang-undang pemilu dan lembaga yang mempunyai kewenangan terhadap kasus terkait adalah Bawaslu dan KPU. Bahkan d

Prabowo Itu Hebat!

Teka-teki itu akhirnya terjawab sudah. Dua pasang capres/wapres masing-masing sudah mendeklarasikan dirinya. Agaknya peluang munculnya poros ketiga menjadi tipis harapan. Dari kubu petahana, keputusan atas dipilihnya Kiyai Ma'ruf Amin (KMA) sebagai cawapresnya pak Jkw tidak pernah saya prediksi sebelumnya mengingat nama beliau ini tidak sementereng nama-nama lain semisal pak Mahfud MD. Pun juga beliau, KMA dulu bisa dibilang berseberangan posisi yang cukup tajam dengan salah satu komponen pendukung Jkw yang cukup militan yang mereka begitu mengidolakan Ahok. Beliau terindikasi menjadi bagian dari terpenjarakannya Ahok dalam kasus penistaan agama. Dan oleh karenanya saya kira pak Jkw cukup berani juga dengan keputusannya ini. Padahal boleh jadi Jkw akan ditinggalkan oleh pendukung yang jumlahnya tidak sedikit. Namun agaknya ada hal yang sangat penting untuk dipertimbangkan dengan baik dan saya yakin sudah melalui hitungan yang matang, antara lain soal keterbelahan masyarakat dal

Mau Qurban Apa Tahun Ini?

Di sebuah sudut warung kopi itu, dua orang yang bersahabat, Adhoen dan Giral, nampak tengah asik ngobrolin sesuatu. Apa sih yang mereka "gunjingkan" itu? Yuk ah kita 'dengerin' Giral: "Dhoen..katanya heboh-heboh perpolitikan kita untuk tahun ini dan tahun depan sumber "gempa"nya ada di 3 orang, SBY, PS & JKW. Apa memang gitu tah?". Adhoen: "Boleh jadi begitu...ya karena tokoh sentralnya hari-hari ini mereka sih...yang lain-lainnya khan ibarat semacam...apa ya...yaa begitulah. Eh Ral ini khan mendekati iedhul adha...kita ngomongin merekanya ngga usah yang bau-bau politiklah...gimana kalau kita menerka-nerka saja hewan apa yang akan mereka bertiga korbankan untuk ied yang sekitar dua minggu lagi ini". Giral: "Ah ya palingan Sapi lah Dhoen...masak sekelas mereka akan qurban Kambing? Pora yo isin toh!" Adhoen: "Ah kamu Ral kayak yang ada hanya Sapi aja...khan ada Kerbau...masak lupa sih...kelewatan kamu ya! Wkw

Bangsa Pelupa dan Pemaaf

"Nila Setitik Rusak Susu Sebelanga". Peribahasa ini saya yakin masih tetap sesuai sampai kapanpun. Bahwa atas perbuatan buruk yang kita lakukan meski hanya sekali saja bisa merusak citra baik yang sudah kita buat selama ini. Biasanya orang akan lebih mengingat keburukan kita dari pada kebaikan yang kita punya. Biasanya loh...ngga mutlak juga sih. Tetapi kadang, dengan alasan dan sebab tertentu keburukan itu bisa saja dilupakan orang. Atau dengan kata lain orang sudah tidak lagi peduli dan menggubris apa saja hal buruk yang pernah dilakukannya. Yang demikian ini seringnya terjadi pada ranah politik kita. Apakah memang ada yang demikian itu? Tengok saja politisi yang punya catatan buruk atas ekonomi rakyat, catatan buruk atas perpajakan bahkan pernah terkena kasus kriminal pada masa lalu toh tetap saja ada pendukungnya, ada pemilihnya. Bahkan sosoknya masih bisa dilihat berkibaran di seantero negeri. Kekuatan finansial, kiranya itulah magnet yang senyatanya kekuatan m

Ijtima' 'Ulama Vs Kalkulasi Politik

Situasi politik tanah air semakin hangat dan menarik untuk terus diikuti perkembangannya seiring dengan telah dibukanya pendaftaran pasangan capres/wapres oleh KPU per hari ini tanggal 4 Agustus 2018. Masa pendaftaran ini akan berakhir nanti pada tanggal 10 Agustus jam 24:00. Ini artinya tidak lama lagi kita bakal mengetahui siapa saja pasangan yang akan maju dalam pilpres mendatang. Apakah head to head tahun 2014 akan berulang namun dengan pasangan wapres berbeda? Atau akan ada poros ketiga yang pada detik-detik terakhir tiba-tiba muncul sebagai penantang baru sebagai respon perkembangan politik yang ada?. Tentang kemunculan poros baru ini, apakah memang masih memungkinkan? Menjawab pertanyaan ini, saya kira peluang itu tetap masih terbuka manakala ada rasa ketidak-puasan dari anggota koalisi baik itu dari pihak koalisi petahana maupun koalisi pak Prabowo. Apa pasalnya? Cawapres. Penentuan cawapres ini menjadi permasalahan tersendiri mengingat masing-masing partai pengusung

Benarkah Kita Mengenal Allah? [MariBerceritaSaja-3]

Rencana untuk saling berkunjung dan bertemu lagi, lalu ngobrol bareng model santai yang kadang tersisipkan hal-hal yang sedikit serius itu akhirnya kesampaian juga. Hari itu, sore sehabis Ashar aku benar-benar telah berada diantara mereka. Setelah sekian bulan kami berpisah di Hamad International Airport Doha, barulah sore itu kami bertemu lagi. Rumah di bilangan Cengkareng Tangerang yang ditinggali si Adhoen itu mempunyai lingkungan yang bersih dan cukup nyaman. Meski di lingkungan perumahan yang biasanya agak kental dengan sikap cuek dan agak-agak ngga kenal tetangga rasanya tidak bisa disematkan di lingkungan itu, terbukti dari beberapa gang yang masih agak jauh saja nama dan alamat si Adhoen ini bisa diperoleh dengan mudah dan tepat. Seperti biasanya di setiap awal perjumpaan, kami saling menanyakan kabar masing-masing dan semacam pertanyaan-pertanyaan standar lainnya sebagai pembuka dan pencair susana, apa tuh istilah kerennya, ice breaking yes? mungkin gitulah kira-kiranya.

Sufisme, Apakah Sebuah Bid'ah Dalam Agama?

Saya kira sangat tepat jika dikatakan bahwa ketika orang yang berbicara (pidato, ceramah, berdakwah) itu sangat perlu mempertimbangkan kepada siapa pesan itu hendak disampaikan. Karena mempertimbangkannya dengan cermat antara isi materi, metode penyampaian, bahasa yang digunakan dan audien atau sasaran dari pesan itu, senyatanya sebagai kunci yang memegang peranan besar untuk keberhasilan dan tercapainya suatu tujuan. Problem yang dihadapi oleh siapapun dalam hal berkomunikasi model tersebut, kiranya banyak terkait dengan permasalahan di seputaran ini. Materi yang "berat" apalagi disampaikan dengan pilihan bahasa atau kosa kata yang ndakik-ndakik alias sulit dipahami tentu merupakan kendala yang besar jika para pendengarnya tidak memiliki kemampuan dan pengetahuan awal yang cukup memadai. Lain halnya bagi pendengar dengan kondisi sebaliknya, tentu mereka telah siap dan sanggup mencerna dan memahaminya. Tak kurang, dalam suatu riwayat diceritakan, Nabi Musa sebelum menya

Pengantin (Bom) Teruna [MariBerceritaSaja-2]

Aku ingin sedikit berbagi perasaan sedih yang sampai hari ini masih menyesakkan dada. Meski sudah sekitar dua pekan lamanya, jika dihitung semenjak adanya kerusuhan di Mako Brimob Kelapa Dua Depok, lalu disusul dengan beberapa serangan suicide bombing ke beberapa gereja di Surabaya yang merenggut nyawa saudara sebangsa dan setanah air itu, rasa-rasanya masih saja menggoreskan duka dan luka.  Bagaimana tidak meninggalkan duka dan kepiluan yang amat sangat jika temuan pada jasad 5 korban anggota Polri dari satuan Densus-88 itu terdapat jejak-jejak kesadisan yang mendahuluinya sebelum berakhir pada kematiannya?. Saya sudah tak kuasa lagi untuk menuliskan ulang jejak-jejak luka pada tubuh korban yang rasanya begitu sulit untuk diterima oleh akal sehat. Bagaimana mungkin hal yang demikian itu ternyata sanggup dilakukan oleh anak manusia yang dikarunia akal dan hati. Bagaimana pula tidak menorehkan kegetiran dan kepahitan yang terus mengusik nurani jika dalam serangan-serangan bom y