Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2017

"NGRAKOTI" HOAX

Apa yang menyedihkan di era teknologi informasi yang semakin cepat serta gawai canggih yang semakin murah?  Yang menggembirakan tentu saja ketercepatan terhubung satu sama yang lainnya, pencarian data yang cepat dan mudah, terciptanya aplikasi-aplikasi yang sangat membantu dan memudahkan urusan, semakin meluasnya pemakai internet dari berbagai lapisan sosial masyarakat. Dan masih banyak hal positif lainnya yang rasanya bakal kewalahan deh kita untuk menuliskannya. Yang menyedihkan itu sebenarnya pada pemanfaatannya saja, pemanfaatan yang tidak tepat guna oleh para penggunanya. Ya memang begitulah adanya, apapun jenis peralatannya apakah menjadi manfaat atau mudharat ya sangat bergantung pada orangnya. Seperti kata pepatah populer "Man behind the Gun" (beruntung ya yang woman ngga terlibat berarti..?!) Ada sangat banyak ketidak tepatan penggunaan atau sebut saja sebagai kekeliruan yang bisa di listing-up, dari yang berdampak negatif secara individu saja maupun secara lu

"Bumbung Kosong" Dalam Pilpres?

Tantangannya saat ini adalah membuat deal-deal dan kompromi antar partai dan para kandidat pilihan. Kompromi yang didasari komitmen kuat dan saling "mengalah" antar mereka agar bisa memenuhi ambang batas pencalonan dan mengusung satu kandidat yang disepakatinya. Rasa-rasanya saat ini memang sulit untuk bisa menghadirkan kontestan yang lebih dari dua pasang capres dan cawapres. Apalagi jika kompromi dalam koalisi itu tidak juga kunjung bisa dilakukan, bisa-bisa kejadian betul hanya ada calon tunggal dari pemerintah, sang incumbent seorang dengan beberapa alternatif pilihan cawapresnya. Namun masih tersisa seberkas harapan untuk terhindar dari calon tunggal bahkan bisa saja nantinya malahan akan ada lebih dari dua pasang calon, jika usaha yang tengah diupayakan saat ini bisa mendapatkan hasil seperti yang diharapkan. Kita (terlebih-lebih para politisi yang saat ini lagi galau) patut bersyukur mempunyai seorang profesor ahli hukum tata negara yang sangat gigih memperj

(Lagi-lagi) Tentang Presidential Treshold

RUU Pemilu yang salah satu butirnya paling ramai dibicarakan adalah penetapan Presidential Treshold yang 20-25% itu. Banyak politisi dan pakar yang menolak. Dan di senayan, 4 partai melakukan walk out karena "merasa" akan kalah dengan voting yang akan diambil. Padahal konon voting itu untuk mengambil keputusan dilakukan voting atas RUU atau melanjutkan sidang hari Senin. Tapi itu yang telah terjadi. PAN, Gerindra, PKS dan Demokrat keluar dari persidangan. Dan RUU sudah diketok palu. Penetapan angka yang tinggi untuk PT dituding merupakan upaya pak Jokowi dan pemerintahannya untuk mengangkangi kekuasaan pada periode berikutnya.  Apakah benar demikian?  Padahal PT dengan angka itu sudah berlaku sejak pemilu 2009 meski sedikit berbeda dengan pemilu sebelumnya yang terpisah antara legislatif dan presiden. Tahun 2019 mendatang dengan keinginan berhemat atas anggaran, pemilu legislatif dan presiden rencananya dilakukan serentak. Dan karenanya maka referensi perolehan kur

Jihad PERPPU

Ribut-ribut atas terbitnya PERPPU Ormas no 2/2017 itu pada salah satu aksi demo penolakannya, sang oratornya sempat meneriakkan jihad. Jadilah -saya sebut saja- Jihad Perppu. Cermati deh kalimatnya berikut ini: "Kami tinggal menunggu fatwa jihad dari para ulama pemimpin kami. Kami siap angkat senjata, kami siap menumpahkan darah kami untuk menolak  Perppu Ormas  ini,"  kata pria dengan baju serba hitam tersebut melalui pengeras suara (sumber: jpnn) Ngeri? Banget! Kok sampai segitunya dalam menanggapi program dan aturan pemerintah dalam menangani ormas. Padahal ormas itu khan bukan agama. Kecuali pelarangan terhadap suatu agama yang telah diakui oleh negara, rasanya masih bisa dibenarkan tersebab dalam hal ini pemerintah telah menyalahi keputusannya (konstitusi) sendiri. Siap menumpahkan darah kami itu berarti juga sebaliknya, siap menumpahkan darah siapa saja yang berseberangan dengan "kami". Luar biasa sekali. Kenekatan yang tidak ada pertimbangan ke

STOPPRESS! SN Tersangka!

Tak urung berita terhangat petang ini adalah di-tersangka-kannya SN oleh KPK dalam pusaran mega korupsi KaTePeEl.  Sang Belut super licin, demikian sebagian orang menjulukinya, oleh karena kepiawaian dan kelihaiannya dalam meloloskan diri dari berbagai kasus yang sempat membelitnya beberapa tahun yang telah lewat, akhirnya resmi ditetapkan sebagai tersangka.  Hal ini bisa menjadi sebuah positive credit bagi KPK yang di-bully tidak berani mengungkap skandal-skandal besar. Dan sudah barang tentu positive credit pula bagi pemerintahan Pak Jokowi, sebagai bukti tidak adanya intervensi terhadap KPK meski pejabat yang disasar adalah tokoh dari partai mitra koalisi pemerintah.  (Ini juga mengingatkan kita tentang positive credit buat Pak SBY ketika dulu pak AP -sang besan- tersangkut kasus korupsi dan mendekam di penjara) Kita tidak tahu persis niatan dan misi SN ketika partai besutannya merapat ke pemerintah dengan meninggalkan komitmen awalnya bersama koalisi KMP. Apakah sebagai

#BlokirJokowi

Hashtag #BlokirJokowi  menghuni dan bahkan menjadi pemuncak pada  trending topic  di media sosial twitter, sampai sekian puluh jam dan nampaknya masih berlanjut? Sang wakil ketua DPR RI dari fraksi independent (konon, karena telah dipecat dari partai pengusungnya) tidak kurang dari belasan kali men-twit dengan  hestek  itu. Dalam cuitan yang gencar itu sang wakil ketua dengan lugas dan tegas menyatakan perlawanannya dengan presiden. Beliau meyakini apa yang tengah dilakukannya adalah bentuk perjuangan bahkan katanya, merupakan jihad terhadap  kejahatan negara...yang akan terjadi  (dari konten kalimatnya masih bersifat dugaan yang didasari -bisa saja- karena kekawatiran berlebih) Apapun alasannya tidak menjadi soal karena kebebasan berekspresi itu adalah hak yang dijamin oleh UU, meski dalam menyuarakan hak itupun ada norma-normanya juga yang mesti dijunjung tinggi. Apalagi sebagai pejabat negara, seorang wakil ketua dewan yang terhormat pula. Tak kalah serunya adalah beragam

PERPPU Ormas Menunggu DPR

Silang pendapat yang merebak terkait dengan PERPPU ormas masih terus berlanjut. Tak hanya penghuni dumay saja yang ribut, bahkan beberapa pakar dan anggota dewan yang terhormat juga dengan keras menanggapi keluarnya PERPPU itu. Stigma buruk coba dilekatkan pada pemerintah (dalam hal ini Presiden) diantaranya merampas hak berserikat dan berkumpul, otoriter, diktator (padahal pada hari-hari sebelumnya sang presiden dianggap lemah, tidak tegas) dan lain sebagainya. Ada secercah kabar baik, yang sedikit banyaknya mungkin bisa dikaitkan dengan narasi di atas, yaitu langkah yang diambil pemerintah terkait dengan pemblokiran medsos mendapat  dukungan dari komisi I DPR RI . Menurut wakil ketuanya, Meutya Hafid,  kini terorisme semakin mengancam dan membahayakan Indonesia. Apalagi, perekrutan anggota dilakukan teroris melalui media sosial. Selanjutnya dia juga mengatakan,  diantaranya: "Melalui media sosial, setiap harinya jaringan teroris bisa merekrut hingga 500 orang. Untuk i