"Bumbung Kosong" Dalam Pilpres?

Tantangannya saat ini adalah membuat deal-deal dan kompromi antar partai dan para kandidat pilihan. Kompromi yang didasari komitmen kuat dan saling "mengalah" antar mereka agar bisa memenuhi ambang batas pencalonan dan mengusung satu kandidat yang disepakatinya.

Rasa-rasanya saat ini memang sulit untuk bisa menghadirkan kontestan yang lebih dari dua pasang capres dan cawapres. Apalagi jika kompromi dalam koalisi itu tidak juga kunjung bisa dilakukan, bisa-bisa kejadian betul hanya ada calon tunggal dari pemerintah, sang incumbent seorang dengan beberapa alternatif pilihan cawapresnya.

Namun masih tersisa seberkas harapan untuk terhindar dari calon tunggal bahkan bisa saja nantinya malahan akan ada lebih dari dua pasang calon, jika usaha yang tengah diupayakan saat ini bisa mendapatkan hasil seperti yang diharapkan.

Kita (terlebih-lebih para politisi yang saat ini lagi galau) patut bersyukur mempunyai seorang profesor ahli hukum tata negara yang sangat gigih memperjuangkan dibatalkannya undang-undang pemilu yang baru saja kelar di-voting oleh Dewan yang terhormat.

Gugatan pak YIM ke Mahkamah Konstitusi untuk uji materi UU-Pemilu patut untuk ditunggu hasil keputusannya.

Namun, jika MK dalam kajiannya tidak menemukan alasan kuat pembatalannya dan kompromi koalisi juga tidak terbentuk -sebagai kondisi terburuknya- maka calon tunggal seperti yang pernah di-"derita" pak Harto berkali-kali itu mesti tetjadi. Apa boleh buat...lha parpolnya yang tersisa ngga ada yang mau ngalah!

Bumbung Kosong 

Dulu, pernah kejadian di kampung yang berdekatan dengan tempat tinggal saya. Dalam pemilihan lurah karena sesuatu hal maka hanya ada satu calon tunggal.

Apakah lantas sang calon tunggal itu menang? Tidak juga.

Dalam pemilihan itu panitia menyediakan "lawan" berupa bumbung kosong. Sebuah tempat yang disediakan untuk para pemilih yang tidak menyukai sang calon tunggal. Dan yang terjadi di akhir penghitungan suara kemudian adalah membludaknya para pemilih bumbung kosong sehingga gagallah sang calon tunggal itu untuk menjadi lurah.
Pemilihan diulang dengan munculnya kandidat-kandidat baru.

Fenomena itu sekaligus menjelaskan bahwa sang calon tunggal memang tidak dikehendaki oleh rakyat.

Nah apakah praktik semacam ini bisa diterapkan pada pilpres mendatang jika ternyata keadaan mengharuskan hanya ada calon tunggal? Ini yang terus terang saya tidak tahu mekanismenya seperti apa dan apakah sudah di-define dalam undang-undang yang ada.

Saya kira malah sangat bagus kalau terjadi demikian, sekalian untuk menguji apakah incumbent saat ini memang masih dikehendaki rakyat atau ditolak.

Jika kejadian "bumbung kosong" yang menang (bukankah ini yang memang dikehendaki para politisi yang berseberangan saat ini serta penghuni jagat maya yang harian aktifitasnya mencerca incumbent) muncul peluang baru dengan para calon yang lebih "fresh" dengan terbentuknya koalisi-koalisi yang mungkin saja berubah total dan acuan perolehan suara merujuk pada pileg terbaru bukan lagi pileg 2014 yang lalu.

Mengenai dana pemilu?
Saya kira tidak terlalu menjadi masalah karena sebelumnya sudah ada penghematan yang dilakukan dengan diterapkannya pemilu serentak antara pileg dan pilpres. Hanya goal pemerintah dalam penghematan dana pemilu menjadi tertunda saja. Dana pemilu menjadi sama seperti pemilu-pemilu sebelumnya.

Jadi sebenarnya, bayangan saya sih (lha tapi siapa kamu!), tidak ada yang perlu dicemaskan. Biarkan saja pemerintah menetapkan PT 20-25% dan kita lihat hasilnya nanti.



Jika pak Jokowi keluar sebagai pemenangnya lagi, itu berarti rakyat percaya pada pemerintahannya, pada segala apa yang saat ini sedang diupayakannya. Dan kita semua, sudah barang tentu, kudu legowo...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!