Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2018

"Dungu"-nya RG Dan Pentingkah Tontonan Talk Show

"Apa sih menariknya menonton sebuah Talk Show di Televisi?" Varian jawaban atas pertanyaan di atas tentu bisa beberapa dan beragam pandangan. Dari yang bersifat candaan maupun yang serius. Menikmati tontonan Talk Show itu, buat saya adalah saat menantikan munculnya istilah baru dan kosa kata yang terbarukan pemaknaannya. Dari situ seringkali muncul peristilahan yang menggelitik dan mengundang senyum, kadang malah bisa bikin ketawa ngakak. Atau bahkan ada beberapa istilah yang memancing perbedaan pendapat yang panas, tidak saja bagi para nara sumber yang diundang, melainkan meluas dan berlanjut di masyarakat melalui interaksi di media sosial. Perhatikan saja bagaimana istilah IQ 200 sekolam butek yang dihuni oleh para kecebong dungu yang fiksi onal itu telah menjelma menjadi topik perbincangan publik yang begitu sangat populernya. Sebuah olok-olok yang disematkan pada para pendukung Ahok-Jokowi ini sangat digemari oleh para hater-nya. Sebuah contoh saja, "Dun

Ini Dadaku Mana Dadamu?!

Gambar
Konon slogan ini diucapkan oleh Bung Karno sebagai refleksi dari kedaulatan Indonesia. Saya menangkapnya, slogan itu untuk menyatakan bahwa kita, bangsa Indonesia selalu siap, berani dan bertekad kuat dengan penuh kepercayaan diri untuk berhadapan/bersaing dengan bangsa dan negara lain. Bangsa Indonesia mempunyai identitas diri dan kemampuan untuk menempatkan diri dalam percaturan dunia. Kita setara dan pantang untuk direndahkan oleh bangsa dan negara lain. "Ini Dadaku Mana Dadamu!?" Berita dan foto Pak Prabowo bertelanjang dada pasca deklarasi pen-capresannya marak di media massa maupun media sosial. Atas peristiwa ini, netizen baik yang pro maupun yang kontra menanggapinya secara beragam. Seperti biasanya, yang pro dengan puji-pujian, misalnya tentang kegagahan, kejantanan, ketegasan dan lain sebagainya yang khas military yang ada pada diri mantan Danjen Kopassus itu. Mereka juga bilang bahwa ketelanjangan itu sebagai respon spontan dari The Leader dalam menyambut antu

Dikotomi Partai? Hanya Orang Baik Saja Yang Dibutuhkan!

Ketika awal bermunculan partai-partai politik baru berbasiskan Islam itu serasa ada harapan bahwa perubahan yang baik dalam perpolitikan nasional akan segera datang menjelang. Saya mempunyai ekspektasi yang tinggi pada partai-partai itu untuk bekerja keras menemukan dan membentuk kader-kader muda yang militan, bersih, spiritualitasnya tinggi, idealis dan ikhlas berjuang demi kebaikan bangsa dan negaranya di atas kepentingan golongan atau partainya. Berharap banyak bahwa kader partai harapan ini menjadi role model bagi kader partai lain. Apakah harapan yang demikian itu terlalu muluk, terlalu fiksional? Jawaban atas pertanyaan itu terberikan setelah beberapa waktu berjalan, setelah mereka berinteraksi dalam kancah politik nasional, setelah mereka bertempur dengan dinamika yang ada. Barangkali karena saya tidak pernah tahu cara berhitung orang yang berpolitik praktis, maka ketika ada deal-deal politik diantara mereka -yang menurut harapan saya tidak terjadi-, suka terkaget-kaget.

Puisi-puisi Bergema

Gambar
Dunia "sastra" kita mendadak semarak. Banyak yang tergerak hatinya untuk mengungkapkan apa yang ada dalam benak dan pikirannya dengan menuliskan bait-bait puisi dan syair. Tentu ini suatu hal yang menggembirakan toh?. Betapa tidak, dengan kesemarakan ini seperti ada harapan akan bangkit dan munculnya penyair-penyair baru yang jempolan. Dan bukankah tradisi menulis indah itu perlu terus dilestarikan? Dalam kesemarakan ini, meski buah dari respon adanya puisi yang dinilai "kontroversial" dari Ibu Sukma hingga sebagian dari puisi-puisi yang dikreasi itu ada ungkapan kemarahan disana, tetap tidak jadi mengapa. Biar mengalir saja. Mudah-mudahan gairah (berpuisi dan bersyair) ini tidak berhenti sampai disini saja, hanya sebuah respon. Namun berkelanjutan sehingga berproses terus menjadi karya-karya yang indah terlebih lagi jika sanggup menginspirasi dan menggelorakan semangat juang untuk memperbaiki keadaan. Semaraknya berpuisi ini mestilah dibarengi dengan kecermata

Menang Tanpo Ngasorake

Pepatah atau semboyan lama berbahasa Jawa ini nampaknya tidak cukup jika hanya untuk di-inget-inget aja. Perlu banget  diadopsi menjadi sikap, terutama oleh para politisi yang sedang ingin memperoleh pengakuan dan legitimasi dari khalayak atas potensi dirinya. Menang tanpo ngasorake . Menang atau unggul atas seseorang tanpa harus merendahkannya. Untuk memantapkan anggapan bahwa dirinya pinter, intelek, terpelajar dan keunggulan lain yang dimilikinya tanpa harus menunjuk orang lain, lawan politiknya atau yang Ia posisikan sebagai lawan politiknya itu bodoh, yang belakangan orang lebih suka memakai kata GOBLOK. Barangkali ada yang terlupakan karena terlena oleh meriahnya tepuk tangan ketika memakai cara dan kata tak elok itu, atau malah karena keinginan dan ambisi yang kelewat besar alias kebelet beud , maka kesantunan itu Ia kesampingkan. Barangkali Ia lupa juga bahwa yang terlibat dalam keseluruhan proses kontestasi itu tidak hanya yang bertepuk tangan meriah saja, tetapi banya

Belajar Dari Sekeping Koin

Ini bukanlah ngebahas tentang filosofi dari sekeping koin, bukan. Karena bahasan filsafat itu bagiku -setelah mendengar ohm Rocky Gerung bicara berpanjang-panjang dengan kalimat-kalimat susah cerna, diksi yang ngawang di acara talk show itu- menjadi terlalu ruwet. Dan karenanya biarkan urusan yang beginian menjadi ajang dan porsi bagi kalangan akademisi saja. Belajar dari sekeping koin ini hanya untuk menegaskan adanya realitas dua sisi yang selalu bersama, yang telah menjadi kodratnya si koin. Kita tidak bisa hanya mau menerima salah satu sisinya yang kita suka, lantas hendak menafikan sisi lainnya.  Nah dalam praktikal sehari-hari, bukankah kehidupan kita juga selalu diwarnai oleh dua hal yang saling bertolak belakang?. Tentang apa sajanya, tanpa harus disebutkan di sini, tentu kita telah cukup familiar, ya khan?. Sebenarnya apa yang ingin disampaikan dalam topik ini adalah tentang yang sederhana saja, bagaimana orang memberikan tanggapannya pada suatu hal yang ternyata tetap

Ideologis - Biologis, Itu Hal Yang Berbeda!

Ketika seseorang membuat karya tulis, baik yang pendek berupa rangkaian beberapa kalimat saja maupun yang sangat panjang berupa buku, memoar, autobiography, novel dan lain sebagainya, sudah pasti ada maksudnya. Bisa karena motif ekonomi, ya karena pekerjaannya sebagai penulis dan dibayar untuk itu semua. Seperti para kuli-tinta, novelis, penulis naskah dan lain-lain profesi kepenulisan. Bisa bentuk -yang saya kira idealis- yaitu aktualisasi diri, bukankah ada ungkapan yang indah tentang ini? "Karena Mencaci-cerca Maka Aku Ada" eh maafff salah... "Karena Menulis Maka Aku Ada"  sebagaimana yang dilakukan orang yang suka berbagi hal-hal bermanfaat tanpa bermotifkan uang. Bisa bentuk ungkapan uneg-uneg yang harus dikeluarkan dari dalam pikiran agar bebannya berkurang, baik berupa keluh kesah, sedu-sedan atau bahkan karena kegembiraan yang meluap. Bisa berupa pemberontakan karena sistim tata nilai yang tidak disukai dan tidak sejalan dengan apa yang dipikirkan d

Salahkah Orang Memilih Agnostik?

Tentu sudah melalui banyak pertimbangan ketika orang mengambil sebuah keputusan, karena setiap keputusan yang diambil itu akan membawa konsekuensi logisnya masing-masing. Apalagi jika keputusan itu menyangkut hal yang sangat krusial dan penting, Agama misalnya. Rasa-rasanya masih segar dalam ingatan kita tentang cerita orang yang berpindah agama, dari satu agama ke agama yang lainnya. Atau malah keluar sama sekali dari suatu agama lalu memilih tidak menganut agama manapun. Mereka lebih memilih sebagai agnostik. Tentang yang demikian ini, dari pada mencibir dan menyalahkannya saya lebih memilih untuk tetap menghormati atas pilihannya itu. Karena aku sangat yakin mereka pasti punya alasan kuat untuk itu semua. Dan jikalaupun harus mengungkapkan sebuah perasaan terhadap sikap mereka tersebut, saya akan cukupkan dengan prihatin atasnya. "Pasalnya?" Karena barangkali saja sepanjang perjalanan hidupnya yang telah mereka lakoni itu (belum) tidak didapatinya pada para penganu