Puisi-puisi Bergema

Dunia "sastra" kita mendadak semarak. Banyak yang tergerak hatinya untuk mengungkapkan apa yang ada dalam benak dan pikirannya dengan menuliskan bait-bait puisi dan syair. Tentu ini suatu hal yang menggembirakan toh?.
Betapa tidak, dengan kesemarakan ini seperti ada harapan akan bangkit dan munculnya penyair-penyair baru yang jempolan. Dan bukankah tradisi menulis indah itu perlu terus dilestarikan?

Dalam kesemarakan ini, meski buah dari respon adanya puisi yang dinilai "kontroversial" dari Ibu Sukma hingga sebagian dari puisi-puisi yang dikreasi itu ada ungkapan kemarahan disana, tetap tidak jadi mengapa. Biar mengalir saja. Mudah-mudahan gairah (berpuisi dan bersyair) ini tidak berhenti sampai disini saja, hanya sebuah respon. Namun berkelanjutan sehingga berproses terus menjadi karya-karya yang indah terlebih lagi jika sanggup menginspirasi dan menggelorakan semangat juang untuk memperbaiki keadaan.

Semaraknya berpuisi ini mestilah dibarengi dengan kecermatan, baik di saat sedang menuliskan maupun di saat membaca sebuah karya puisi.

Seperti pada umumnya karya sastra atau tulisan, apapun bentuknya, ia dibuat sebagai bangunan yang utuh dari awal hingga penutupnya. Sehingga akan (bisa) menjadi bias maknanya jika kita lakukan pemenggalan-pemenggalan yang tidak cermat. Apalagi jika pemenggalan itu dilakukan karena ada maksud tersembunyi yang dengannya tafsir atau interpretasi bisa terarah pada keinginan si pemenggal itu.

Kisah tentang "kegaduhan" akibat pemenggalan kemudian ada penambahan "bumbu" penyedap yang membiaskan sudah pernah terjadi toh?.

Dan amat sangat disayangkan, saat ini kegaduhan yang sama itu terjadi lagi. Memang masih baru di lini masa saja sih, apakah akan berlanjut ke sebuah gerakan massa, ini sangat tergantung kepentingan dan juga pertimbangan. Namun begitu, hujatan sumpah serapah caci maki serta pelabelan negatif dari orang yang marah di media sosial itu udah sangat tidak mengenakkan dan akhirnya harus dikatakan, mengecewakan. Kecewa lantaran kita masih begitu mudah terprovokasi ketika sedikit saja menyinggung hal (berbau) agama.

"Apa sih yang digaduhkan saat ini?"

Ganjar Pranowo sang gubernur incumbent pada kontestasi pilgub Jateng, berpuisi, tepatnya membacakan sebuah puisi yang belakangan diketahui bahwa puisi itu buah karya seorang ulama yang juga sastrawan, KH Musthofa Bisri yang juga dikenal dengan sebutan Gus Mus itu.

Puisi berjudul Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana, konon ditulis oleh Gus Mus sebagai kritikan atau sindiran kepada pemerintah, para politisi atau bisa juga -menurut saya- siapa saja yang terindikasi melakukan hal-hal yang beliau tulis itu. Untuk diketahui juga bahwa puisi itu ditulis Gus Mus sudah belasan atau puluhan tahun silam, tepatnya tahun 1987.

Nah apa yang menjadi permasalahannya itu adalah berikut ini;
1. Muncul meme ini
dengan teks yang tidak tepat, ditulis sebagai Puisi Ganjar Pranowo padahal puisinya Gus Mus. Lalu pemenggalan konten puisi yang fokus pada hal-hal yang saya sebut diatas ada bau-bau agama itu.
Dari penggalan puisi itu muncul-lah interpretasi yang lalu menjadi heboh cacian dan makian tersebab problem yang saya sebut di bawah ini.

2. Problem Literasi pada sebagian masyarakat, dalam hal ini netizen, yang mohon dimaafkan jika dikatakan literasinya masih belum seperti yang diharapkan untuk tidak mengatakan sangat kurang.

Interpretasi atas kalimat
"Kau bilang Tuhan sangat dekat, tapi kau sendiri memanggilnya dengan pengeras suara setiap saat" 
adalah Adzan yang dimaksud penulis puisinya adalah sebuah kesimpulan yang terlalu tergesa-gesa. Karena kata-kata "setiap saat" yang digunakan sebagai keterangan waktu, sudah bisa untuk menyangkalnya.

3. Pak Ganjar Pranowo berangkat nyagub berasal dari PDIP karena beliau juga adalah kader partai. Sudah sangat mafhum toh pelabelan sebagian netizen pada partai ini?

4. Situasi panas oleh sebab kasus sebelumnya, Puisi Ibu Indonesia oleh Bu Sukma.

5. Panasnya suhu Pilkada serentak tahun ini.

Gabungan dari 3 poin di atas, Pak Ganjar dan PDIP, Panas puisi Bu Sukma dan Panas Pilkada serentak, maka ketika muncul meme itu maka ramailah sudah jagad media sosial kita.

6. Sulit untuk tidak mengatakan bahwa masih adanya para Bigot dan Demagog yang berkeliaran di negeri kita, yang barangkali sedikit terlupa pada cita-cita luhur kita dalam berbangsa dan bernegara.

Lalu apa yang musti kita lakukan? 

Barangkali yang bisa menjadi penangkal atau minimalnya sebagai rem agar kegaduhan yang sama tidak terus berulang,

1.Kita mesti bersikap hati-hati dalam menanggapi setiap berita, tidak mudah terpancing pada issue yang tersebar pada lini masa kita. Mengontrol emosi dan meredakannya sehingga pikiran kita masih bersih yang memungkinkan kita untuk melakukan telaah, cross check dan memastikan kebenarannya dari berita/tulisan itu.

2. Meningkatkan literasi dengan apapun yang bisa kita lakukan dan yang tidak kalah penting mencermati kalimat-kalimat yang kita baca pada berita atau tulisan itu. Dan satu lagi yang juga penting, membaca secara lengkap dan utuh tulisan itu agar terhindar dari salah persepsi, salah tafsir. Jangan terpancing dan terpaku pada judul tulisannya saja yang boleh jadi mengelabuhi kita. Lalu kita bertindak yang tidak semestinya.

3. Menghindari atau menjauhi konsep Outgroup-Ingroup, "Kita-Mereka" atau "Kami-Kalian" yang itu jelas akan membuat kita berpecah belah.

Apa lagi selanjutnya yang bisa dan mesti dilakukan, saya kira kita sudah tahu semua, mengingat sudah begitu banyak yang mengatakan bahwa "masyarakat sudah cerdas". Iya khan?!

Lagi-lagi, hanya bisa berharap bahwa dalam situasi yang panas, yang membuat kepala berasa panas nyut-nyutan, semoga hati tetap terjaga adem.

Lalu Puisi-puisi Bergema itu gimana?

Lho ya tetap bikin aja toh puisi-puisi yang indah menggugah yang bergema membangunkan jiwa-jiwa patriot untuk Agama, Bangsa dan Negara.

Tabik!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!