Salahkah Orang Memilih Agnostik?

Tentu sudah melalui banyak pertimbangan ketika orang mengambil sebuah keputusan, karena setiap keputusan yang diambil itu akan membawa konsekuensi logisnya masing-masing. Apalagi jika keputusan itu menyangkut hal yang sangat krusial dan penting, Agama misalnya.

Rasa-rasanya masih segar dalam ingatan kita tentang cerita orang yang berpindah agama, dari satu agama ke agama yang lainnya. Atau malah keluar sama sekali dari suatu agama lalu memilih tidak menganut agama manapun. Mereka lebih memilih sebagai agnostik.

Tentang yang demikian ini, dari pada mencibir dan menyalahkannya saya lebih memilih untuk tetap menghormati atas pilihannya itu. Karena aku sangat yakin mereka pasti punya alasan kuat untuk itu semua. Dan jikalaupun harus mengungkapkan sebuah perasaan terhadap sikap mereka tersebut, saya akan cukupkan dengan prihatin atasnya.

"Pasalnya?"

Karena barangkali saja sepanjang perjalanan hidupnya yang telah mereka lakoni itu (belum) tidak didapatinya pada para penganut agama itu apa yang mereka bayangkan dan harapkan.
Mungkin dalam realitas hidup keseharian para pemeluk agama itu belum mencerminkan keluhuran agama sebagaimana yang mungkin mereka bayangkan dan harapkan ada pada insan beragama.

Barangkali yang mereka dapati selama ini hanyalah kisah-kisah sedih dan bertolak belakang dari ajaran agama yang para pemeluknya sendiri yakini.
Atau, barangkali hanya cerita-cerita menyebalkan tentang klaim-klaim kebenaran monopolistik pada masing-masing pemeluk agama yang lalu dengan semena-mena menyalahkan bahkan memerangi selainnya. Bukankah peristiwa dan kisah pembunuhan berlatar keagamaan itu telah sering pula terjadi? Ketika petuah sudah keluar dari lisan para pemegang atau yang dianggap memegang otoritas keagamaan?

Hipotesis seperti diatas bagai mendapatkan pembenaran saja ketika ada beberapa orang -yang jika ditilik dari pernyataannya nampak ada kejengahan atas perilaku insan beragama- mengatakan (yang kurang lebihnya demikian):
"Jika untuk menjadi orang baik itu bisa dengan cara apa saja meski tidak melalui jalan agama, lalu mengapa kita masih harus beragama?"

Nah, jika memang demikian halnya, lantaran kegagalan kita sebagai insan beragama untuk menampilkan keluhuran ajaran yang ada di dalamnya, maka jangan pula heran lalu marah-marah jika ada sebagian orang yang mengatakan lebih buruk lagi tentang agama.

Seperti ungkapan "Agama adalah candu" yang dulu sangat populer itu. Ya karena adanya orang yang mengaku beragama tetapi sanggup melakukan hal-hal yang sudah diluar batas perikemanusiaan lantaran termakan doktrin keras dari kelompok yang diikutinya. Sehingga agama lalu di-stigma-kan buruk bagai candu.

Atau kata-kata yang lebih parah lagi, tentang Tuhan yang telah mati. Saya lebih melihatnya sebagai wujud kemarahan dari adanya realitas yang tidak sejalan dengan nilai-nilai luhur agama. Mempercayai adanya Tuhan tetapi juga sekaligus memunggunginya bahkan mungkin karena kealpaannya hingga seolah dengan sikapnya itu bagai telah "membunuh-tiadakan" Tuhan.

Alih-alih untuk menjadi marah, dari semua hal yang telah terjadi tersebut malahan (harusnya) menjadi pengingat kita untuk melakukan introspeksi, muhasabah diri, melongok ke kedalaman diri sendiri sebagai insan yang mengaku beragama ini, sudahkah kita menjadikan agama dan ajarannya -apapun namanya itu- yang kita peluk dan yakini ini sebagai pembimbing dan pengarah cara kita menjalani kehidupan ini baik dalam hubungan vertikal dan horizontalnya?.

Saya kira ini adalah tantangan bagi kita semua untuk bisa secara bersungguh-sungguh dan bahu-membahu dalam mewujudkan nilai luhur agama dalam kehidupan dan karya nyata.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!