Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2017

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Paraga  yang biasa disebut orang demikian itu biasanya ada di pertunjukan seni tradisional, seni Kethoprak dan mungkin juga seni Ludruk. Dinamakan  Bolo dupak  (istilah ini keluar bukan dari insan seni, lebih oleh para penontonnya) ya karena awalnya, dalam pertunjukan seni itu mereka sering dijadikan obyek penderita dupak-dupakan alias tendang-tendangan atau pukul-pukulan yang dimaksudkannya untuk bumbu. Dalam sebuah tontonan atau pentas mereka adalah figur-figur yang tak perlu bernama dalam rangkaian cerita. Meski begitu kehadirannya bisa menyemarakkan pentas. Bayangkan saja jika tidak menyertakan mereka dalam adegan laga antar prajurit misalnya, yang biasanya mengawali aksi perang tanding aktor utamanya. Lalu cuma digantikan dengan narasi "dalang" saja, tentu kurang  sreg,  ga asik . Iya...betul saudara,  bolo dupak  itu memang nama lain dari figuran dalam dunia perfilman atau sinetron. Dan bahkan perkembangan saat ini ada yang namanya penonton bayaran khan. Fu

Terbawa oleh Hujan...

Rintiknya sore ini membawa kabar Membawa serta pesan-pesan Tersembunyi... Tentang hawa sejuk yang mengiringi Tentang bau harum tanah yang tertimpa rintikannya itu Tentang kesuburan tanah-tanah yang menyerapnya lalu menumbuhkan tetanaman Masih selalu sama sedari dulu Dari tahun ke tahun, waktu ke waktu Bahwa aku selalu menyukainya Bahkan telah begitu jatuh dan mencintai aroma itu Aroma tanah basah yang tak pernah sanggup aku ungkapkan lewat kata Meski ianya telah terpateri...termemori Lekat... Bahwa akupun juga tidak mampu menggambarkan rasa sejuknya itu Meski telah mengakrabinya sekian lama Atau tentang kesuburan tanah yang hanya bisa dimengerti tersebab tetanaman merebak tumbuh Dan rintik hujan sore inipun telah mengingatkan kembali Tentang sesuatu yang sangat dekat Bahkan menyatu setiap waktu Yang ternyata tak ada kuasaku untuk menjelaskannya Tentang Nyawa... Tentang Jiwa... Tentang Akal pikiran... Seperti apa wujudnya? Dimana

Kopi lagi dan lagi

Beberapa hari ini terus-terusan mencoba kopi-kopi yang ditemui...Arabica Mandailing, Arabica Palembang, Arabica Garut dan Robusta Lampung. Baru beberapa itu saja yang sudah dicecap lidah...sementara wilayah tumbuhnya kopi itu membentang dari ujung-ujung negeri kita. Antrian yang pingin dicoba masih panjang...Gayo Aceh, Toraja, Sidikalang, Bali dan nama-nama populer lainnya. Yang mungkin agak sulit itu mendapatkan jaminan originalitas dari kopinya. Seperti hari ini...baru kali ini icip-icip yang namanya Arabica Palembang, kata penjualnya begitu. Dan doktrin khusnudzon yang melekat membawa rasa percaya bahwa si penjual ngga  ngapusi  alias tipu-tipu. Namun, seduhan dengan rasa  sour  atau tingkat  acidity  yang mencirikan jenis Arabica yang nyaris ngga terasa, menyisakan tanya..."Asli ngga nih? Jangan-jangan...." Tapi...yasudahlah...berburu sumber-sumber lain mudah-mudahan saja selalu dapet yang original dari para suplayer yang kekeuh mau mempertahankan integritas

Ketapel vs KaTePeL

Gambar
Masih ingat betul ketika masih kanak dulu. Yang dinamai orang dengan ketapel atau dalam bahasa  Ponoragan  disebut  Plinthengan  itu pernah jadi semacam asesoris. Bisa untuk gaya-gayaan. Dikalungkan di leher dan tentu jelas, kebawa kemanapun pergi. Tapi jangan ditanya ketepatan bidikannya ya...dari seratusan butir pelor berupa kerikil itu, itungan genap lima butir saja yang tepat sasaran sudah sebuah prestasi.  (Eh tapi emang lima khan bukan bilangan genap toh? Seingatku masih belum berubah deh!) Karena saking populernya masa itu, para pemilik pohon, terutama pohon Sawo karena pohon jenis ini sangat bagus untuk bahan ketapel, sering merasa was-was. Boleh jadi, entah kapan saja akan didatangi anak-anak untuk minta ranting-ranting yang berbentuk  why piece,  yang biasa disebut cekeh itu. Atau malahan...kehilangan ranting-ranting itu di pagi hari lantaran pada malamnya  digerilya  anak-anak yang  nyokleki  ranting-ranting itu tanpa ijin.  Biasanya yang begini terjadi karena dua ha

Ojo Gumunan

Nasehat jaman  "dingin"  itu masih saja mencocok-i meski di era teknologi informasi masa kini, bahkan sampai nanti rasanya. Pesan yang sederhana itu sebetulnya punya muatan yang adiluhung. Ianya mengingati kita untuk tidak mudah takjub akan sesuatu ataupun sosok atau apapun. Dengan tidak gampang silau itulah maka kita bisa menyikapi sesuatu lebih berimbang. Teringat beberapa tahun lalu ketika kita tengah asyik ngobrol  kosong setengah-setengah isi  di lobi ruang tamu pabrik di Merak yang sudah laiknya ritual harian pasca makan siang. Seperti jamaknya model obrolan seperti itu, tema bisa berlompatan kesana kemari. Beralihnya itu bisa tak terduga. Dan itu terjadi ketika tiba-tiba saja tema berubah ke agama. Karena para  pengabab  itu semuanya muslim tentu bahasannya tentang keislaman. Salah satu orang yang terlibat dalam anjangsana itu termasuk sosok penting dalam organisasi. Dialah sang Pabrik figur. Seorang yang karirnya menanjak begitu tajam yang kelak di kemud