Ojo Gumunan

Nasehat jaman "dingin" itu masih saja mencocok-i meski di era teknologi informasi masa kini, bahkan sampai nanti rasanya.

Pesan yang sederhana itu sebetulnya punya muatan yang adiluhung. Ianya mengingati kita untuk tidak mudah takjub akan sesuatu ataupun sosok atau apapun. Dengan tidak gampang silau itulah maka kita bisa menyikapi sesuatu lebih berimbang.

Teringat beberapa tahun lalu ketika kita tengah asyik ngobrol kosong setengah-setengah isi di lobi ruang tamu pabrik di Merak yang sudah laiknya ritual harian pasca makan siang. Seperti jamaknya model obrolan seperti itu, tema bisa berlompatan kesana kemari. Beralihnya itu bisa tak terduga. Dan itu terjadi ketika tiba-tiba saja tema berubah ke agama. Karena para pengabab itu semuanya muslim tentu bahasannya tentang keislaman.

Salah satu orang yang terlibat dalam anjangsana itu termasuk sosok penting dalam organisasi. Dialah sang Pabrik figur. Seorang yang karirnya menanjak begitu tajam yang kelak di kemudian hari berhasil menduduki posisi direktur, Operation Director. Ra gemen-gemen kuwi.

Beliau yang semenjak awal hanya mendengarkan saja tiba-tiba bersuara memberi opini:
"Gampang saja...kalau mau melihat Islam yang benar ya lihat saja apa yang dipraktekkan di Makkah atau Madinah Arab Saudi itu"

Sontak pernyataan itu menuai tanggapan, yang tentu beragam. Namun satu orang yang tengah menempuh studi Antropologi strata 2 itu spontan saja memberikan bantahan. Ketak sepakatan penilaian itu ia sampaikan dengan lugas:
"Wah ya ngga bisa otomatis begitu. Kita harus melihat saat ini faham penguasanya seperti apa? Kalau saja disana fahamnya seperti NU yang di Indonesia tentu akan berbeda. Bukankah kenyataannya di dalam Islam cukup banyak interpretasi tentangnya?"
Dan pak bosnya itu lantas terdiam, dengan senyum paksaan yang tipis dan sedikit masam beliau terlihat ingin menanggapi balik tetapi ditahannya. Tentu beliau punya referensi dan sandaran yang kokoh juga. Lha masa sih ngga?

Kasus di atas itu hanyalah sebuah contoh tentang betapa kita bisa sangat sederhana dalam berkesimpulan. Dari praktek keagamaan yang dilakukan sebuah aliran pemahaman yang "kebetulan" tinggal dan "menguasai" tempat yang disucikan itu bisa ditarik kesimpulan tertentu, yang lalu menafikan banyak faktor lain dan latar belakangnya, dimana tingkat pentingnya juga tidak kalah nilainya.

Hal semisalan kasus demikian itu, tentang -nggumunan- ketakjuban bermuatan asumsi yang lalu men-simplifikasi permasalahan kerap terjadi dalam keseharian.
Mari tengok saja tentang ketakjuban kita pada dandanan, pada simbol-simbol dan atribut yang dikenakan. Seringkali keanggunan sebuah dandanan menyihir kita hingga apa yang dilakukan atau dikatakannya itu kita menganggapnya suatu kebenaran semata. "Mana mungkin orang sesaleh itu berhasrat menipu?"

Atau tentang kita yang suka terbuai dengan retorika-retorika manis penuh muatan nilai-nilai dan nampak begitu logis. Lalu kita menganggap pastilah sang retoris itu akan menetapi apa yang diucapkannya.

Yang demikian itu sah-sah dan boleh-boleh saja asal tidak dijadikan suatu setandar kebenaran yang lalu memaksakan kepada orang lain untuk bersikap dan berpikiran yang sama.

Di situasi yang serba carut marut itu sekedar khusnudhon, berprasangka baik saja tidaklah cukup. Kalau tidak dibarengi dengan kewaspadaan dan kehati-hatian kita bisa beroleh petaka. Berapa banyak sudah kasus-kasus orang tertipu oleh oknum yang berpenampilan dan keseharian yang luar biasa salehnya.

Ah jadi teringat pada sosok yang menamakan dirinya Kanjeng Dimas. Berapa banyak orang telah tertipu, bahkan yang berpendidikan tinggi sekalipun. Maka menjadi penting untuk tidak mudah silau dan menjadi seorang yang nggumunan...



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!