(Lagi-lagi) Tentang Presidential Treshold

RUU Pemilu yang salah satu butirnya paling ramai dibicarakan adalah penetapan Presidential Treshold yang 20-25% itu. Banyak politisi dan pakar yang menolak. Dan di senayan, 4 partai melakukan walk out karena "merasa" akan kalah dengan voting yang akan diambil. Padahal konon voting itu untuk mengambil keputusan dilakukan voting atas RUU atau melanjutkan sidang hari Senin. Tapi itu yang telah terjadi. PAN, Gerindra, PKS dan Demokrat keluar dari persidangan. Dan RUU sudah diketok palu.

Penetapan angka yang tinggi untuk PT dituding merupakan upaya pak Jokowi dan pemerintahannya untuk mengangkangi kekuasaan pada periode berikutnya. 

Apakah benar demikian? 
Padahal PT dengan angka itu sudah berlaku sejak pemilu 2009 meski sedikit berbeda dengan pemilu sebelumnya yang terpisah antara legislatif dan presiden. Tahun 2019 mendatang dengan keinginan berhemat atas anggaran, pemilu legislatif dan presiden rencananya dilakukan serentak. Dan karenanya maka referensi perolehan kursi yang 20% atau suara sah nasional yang 25% itu mau tidak mau harus merujuk pada pemilu sebelumnya. 

Hal ini juga menjadi perdebatan. Apakah bisa dan logis dipakainya hasil pemilu sebelumnya untuk tujuan itu, padahal sudah barang tentu waktu yang 5 tahun dan sedang dijalani ini pasti ada perubahan konstituen. Ada yang menjadi lebih maju partainya ada pula yang nyungsep. Meski ini juga sebenarnya baru prediksi dan perkiraan saja. Apakah perubahan perolehan suara menjadi signifikan pun masih tanda tanya besar.

Nah saya cukup tertarik untuk merenungi tudingan para politisi kepada pak Jokowi dan pemerintahannya itu. Dan pada akhirnya memunculkan dugaan, opini dan pertanyaan.

Mencari Panggung.

Ada sementara politisi yang memanfaatkan beberapa momen penting untuk mengangkat pamor dirinya dan kelompoknya, berjualan kesana kemari sambil secara konsisten memberikan diskredit pada pemerintahan dan para pendukungnya. Keluarnya PERPPU Ormas dan RUU Pemilu menjadi salah satu (eh salah dua ding) pilihan momentum untuk bergerak. Lihat saja sepak terjang mereka yang dengan penuh semangat memposisikan diri berseberangan dengan otoritas saat ini sambil berharap panen simpati dari calon pemilih. 

Mungkin saja harapan pendulangan suara benar akan terjadi mengingat para buzzer dan sukarelawan telah gencar mempromosikan partai-partai layak pilih versi mereka dan menandai partai-partai pro RUU sebagai partai yang dicoret. Meski itu baru di medsos belum di dunia nyata. Akan tetapi tentu berharap itu boleh-boleh saja toh.

Calon Tunggal Pilpres

Ini tudingan yang saya kira berlatar kecemasan berlebih saja. 
Cemas karena melihat koalisi partai pendukung pemerintah yang solid dan kuat sekali, sementara koalisinya tengah mengalami krisis dan berceceran.
Cemas karena merasa tidak sanggup membangun koalisi untuk memenuhi angka wajib itu. Dan ini memunculkan pertanyaan.

Kenapa tidak sanggup? Ada apa?

Kemungkinan terbesarnya adalah berada pada ego masing-masing partai (terutama ketum dan pejabat terasnya). Adalah hal sulit untuk saling mengalah memberikan peluang kepada orang dari partai lain. Partai-partai tersisa itu juga mempunyai kandidat kuat menurut versinya dan kepentingannya sendiri. 
Apakah mungkin, misalnya Gerindra melepas peluangnya untuk Demokrat. Atau berlaku sebaliknya, apakah pak SBY rela memberikan tiketnya untuk Pak Prabowo sementara ada AHY yang digadang-gadang sebagai penerus utama dinasti Cikeas?

Pasti sulit! Makanya kenapa tuntutan 0% itu menjadi pilihan agar terbuka jalan mulus buat partai-partai sisa pun juga partai gurem lainnya untuk bisa mengusung kandidat pilihannya, termasuk PBB dengan YIM-nya.

Lalu saya berandai-andai. Apakah jika koalisi KMP yang katanya permanen itu masih sekokoh dulu, sebagaimana yang mereka perlihatkan di senayan dengan segala lakunya pada waktu itu, akan meminta PT 0%? Rasanya sulit untuk mengatakan demikian, karena sudah dua kali pemilu dilakukan dengan model yang sama. (Mbasan lemah njaluk nol. Kata Kaesang dan Thukul...ndeso!). 
Ketika kekuatan itu sedang berada di tangan, siapapun politisinya akan berusaha mengkapitalisasinya. Saya yakin itu. 


Nah baiknya para politisi itu belajar menurunkan ego-nya masing-masing dengan mampu secara jujur dan legowo untuk memberikan kepada kandidat terbaiknya. Dengan angka wajib yang tinggi itu berarti pula sebuah seruan untuk memperkuat silaturahmi antar mereka. Bukankah silaturahmi juga merupakan seruan agama dan langkah mulia? Monggo lho bapak-bapak dan ibu!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!