Ruhamaau Baynahum Yang Kian Jauh

Saya mengira, dengan memperhatikan fenomena yang berkembang di masyarakat khususnya internal muslimin sendiri, bahwa sebuah relasi harmonis penuh kasih sayang antar sesama muslimin yang ada disebut dalam sebuah ayat Al-qur'an, "ruhamaau baynahum", rasanya masih agak jauh untuk bisa dirasakan dan dinikmati.

Tidak terlalu berlebihan jika kita terpaksa harus berkesimpulan demikian mengingat apa yang belakangan terjadi, bagaimana diantara orang-orang yang memeluk agama yang sama masih terus-terusan sibuk memperuncing perbedaan yang ada. Lantas melupakan dan mengabaikan banyak hal tentang kesamaannya.
Kasih sayang dan cinta yang terkandung dalam ajaran agama itu telah lepas dari 'pengamatan' akibat tertabiri oleh egoisme yang berlebihan, merasa diri dan kelompoknya saja yang paling benar. Seolah tidak ada kebenaran barang secuilpun dari kelompok di luar mereka. Sehingga ketika muncul berbagai persoalan dan perselisihan atas sesuatu, yang menonjol dari padanya lebih pada upaya penyelesaiannya dengan cara-cara yang tidak elegan, menstigma sesat pihak lain bahkan pada titik tertentu yang ekstrim adalah terpicunya kekerasan fisik, saling melukai atau mungkin saling menumpas-bunuh.

Keperihan atas kondisi itu menjadi lebih menyayat lagi ketika mendengar celotehan orang-orang berpengaruh pada institusi keagamaan -boro-boro mendinginkan suasana, meredam riak-riak yang sudah muncul, meredam percikan-percikan api yang mulai nampak- mereka seolah malah melempar bahan bakar dan meniupkan udara pada tungku-tungku berapi. Menyadari bahwa pengetahuan dan pemahaman ummat yang masih sedemikian rupa dan masih mudah diprovokasi ini saja sudah membuat sesaknya dada, apalagi ditambah dengan kenyataan dari elite-nya yang ikutan gampang 'panasan' dan tidak peka dalam membaca situasi. Sedih dan perih!.

Menjadi semakin jelas jawabannya jika sebuah pertanyaan diajukan:
"Apakah hari ini kita telah berpraktik secara benar?"

Belum.
Ada indikasi dan tolok ukur yang mudah dan sederhana, yaitu jika orang yang menjadi panutan yang bergelar atau digelari dengan ustadz dan penceramah saja masih suka menuding saudara seiman yang tidak sejalan dengan pemikirannya dengan kata-kata yang jauh dari adab yang ditauladankan Nabi SAW, bagaimana mungkin keadaan dan relasi harmonis itu bisa terwujud?
Dan mari lihat, berapa banyak orang-orang yang memanggul di pundak mereka atribut mulia itu masih ber-asyik-masyuk dengan narasi-narasi negatifnya?.
Berapa banyak para juru dakwah itu menyisipkan banyak ujaran kebencian kepada orang lain dalam majelis-majelis yang dipimpinnya?.

Menjadi suatu yang sangat mendesak dan penting bagi kita semua adalah, kecermatan dalam memilih sosok pembimbing atau guru yang akan mengajarkan agama itu kepada kita dan keluarga kita. Kita tidak boleh mudah silau atas kefasihan mereka dalam berucap dan kesan luasnya ilmu mereka karena kemampuan 'kalamnya' saja, namun sikap dan pandangannya terhadap perbedaan yang ada, sikap hidup keseharian, ahlak dan adab yang memang jempolan haruslah menjadi faktor penting dalam memilih seseorang itu untuk jadi panutan.

Menemukan sosok guru mursyid -yang orang sering sebut demikian- sosok yang mengasihi dan dikasihi oleh Allah dalam dunia modern saat ini menjadi sebuah urgensi untuk menjadi pembimbing dan pengarah ketika kita berhadapan dengan zaman fitnah (kacau) yang tengah melanda dan akan terus berlangsung ini, agar kita bisa mewujudkan apa yang Al-qur'an sebut sebagai Ruhamaau Baynahum itu.

Semoga kita tidak larut dan berlarut-larut berada pada keadaan yang sama sekali tidak mengenakkan ini. Semoga.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!