Ijtima' 'Ulama Vs Kalkulasi Politik

Situasi politik tanah air semakin hangat dan menarik untuk terus diikuti perkembangannya seiring dengan telah dibukanya pendaftaran pasangan capres/wapres oleh KPU per hari ini tanggal 4 Agustus 2018.
Masa pendaftaran ini akan berakhir nanti pada tanggal 10 Agustus jam 24:00.

Ini artinya tidak lama lagi kita bakal mengetahui siapa saja pasangan yang akan maju dalam pilpres mendatang. Apakah head to head tahun 2014 akan berulang namun dengan pasangan wapres berbeda? Atau akan ada poros ketiga yang pada detik-detik terakhir tiba-tiba muncul sebagai penantang baru sebagai respon perkembangan politik yang ada?.

Tentang kemunculan poros baru ini, apakah memang masih memungkinkan?

Menjawab pertanyaan ini, saya kira peluang itu tetap masih terbuka manakala ada rasa ketidak-puasan dari anggota koalisi baik itu dari pihak koalisi petahana maupun koalisi pak Prabowo.

Apa pasalnya?

Cawapres. Penentuan cawapres ini menjadi permasalahan tersendiri mengingat masing-masing partai pengusung dalam koalisi itu mempunyai kepentingan untuk menempatkan kadernya sebagai pendamping capres.

Strategi petahana dan partai koalisi untuk tidak buru-buru mengumumkan siapa cawapres yang akan mendampingi pak Jokowi saya kira menarik juga untuk dicermati. Strategi ini bisa saja untuk menjaga koalisinya agar tidak pecah secara premature, atau bisa juga untuk mengaduk-aduk emosi koalisi sebelah ataupun partai yang belum menentukan akan ikut gerbong mana, sebagaimana Partai Demokrat beberapa waktu lalu.

Kita bisa saksikan apa yang dilakukan petinggi dan pemilik PD dengan strategi menyimpan nama ini. Lobi-lobi intensif dilakukan oleh petinggi PD itu untuk mendapatkan deal politik yang dapat kita baca sebagai penawaran nama AHY sang putera harapan untuk mendampingi petahana.

Agaknya, kepentingannya tak juga mendapat respon positif dan kejelasan alias tak terakomodasi dengan baik, maka pilihan koalisinya jatuh pada Prabowo. Mau tak mau, suka tak suka, mengingat belum ada kandidat kuat selain pak PS sementara menjadikan AHY capres rasanya masih kurang bekal, baik pengalaman maupun kecukupan suara partai untuk mengusungnya.
Kegamangan ini juga tetap berlaku meski PD berhasil menggandeng beberapa partai untuk membentuk koalisi baru sekalipun, mengingat kegagalan AHY di kontestasi pilgub DKI tempo hari.

Saya yakin telah ada deal penting yang disepakati hingga pak SBY, seorang yang dikenal dengan ahli strategi dan hitung-hitungan politik itu memutuskan bergabung dengan pak PS. Saya menduga kuat deal penting itu adalah diterimanya tawaran AHY sebagai cawapres oleh pak PS. Walaupun kita sama-sama tahu dimana dalam konpers-nya pak SBY mengatakan siapapun cawapresnya, presiden kita pak PS. Kita tunggu saja pengumuman resminya dari koalisi ini.

Jika benar demikian, hal ini justru yang akan menjadikan cerita kontestasi pilpres mendatang semakin seru saja. Bagaimana tidak?

Beberapa hari lalu telah digelar pertemuan antara (sebagian) Ulama dengan beberapa Tokoh Nasional yang berasal dari partai politik di luar koalisi parpol pendukung petahana; Gerindra, PAN, PKS, PBB dan Partai Berkarya.
(Sekedar catatan, nama partai terakhir tersebut diatas -menurut saya- bisa menjadi penyebab penurun elektabilitas atau bisa jadi faktor yang membuat orang atau kalangan tertentu menolak memberikan suaranya mengingat sepak terjang masa lalu pendirinya. Tapi boleh jadi tak berpengaruh apapun karena kita dikenal juga sebagai bangsa pelupa dan pemaaf😂😂)

Pertemuan itu telah menghasilkan ijma (sebagian) Ulama itu yang menetapkan pak Prabowo sebagai capres dan merekomendasikan dua nama kandidat sebagai cawapres-nya; Ustadz Abdul Shomad dan petinggi PKS Habib Salim Segaf al Jufri. Pilihan atas rekomendasi itu diserahkan keputusannya pada pak PS.

Nah ini yang menarik, sekaligus problem baru bagi pak PS.
Apakah akan ikut (taat) ijma (sebagian) Ulama atau lebih memilih Kalkulasi Politik dengan menggandeng nama kandidat diluar rekomendasi itu atau mengakomodir keinginan PD?

Pilihannya akan memunculkan implikasi yang boleh dibilang lumayan besar.
Mengabaikan rekomendasi dengan alasan kalkulasi politik terkait dengan elektabilitas dan popularitas, bisa berakibat pada sebutan tidak taat alias mengabaikan Ulama yang berakibat pada tergerusnya pemilih muslim militan yang berada dibawah pengaruh (sebagian) Ulama itu. Atau bahkan hengkangnya PKS dari koalisi oleh sebab rasa kecewa atas dukungan setia yang terjalin selama ini, terlebih jika cawapres yang dipilihnya adalah AHY.

Sementara mengabaikan aspirasi PD adalah hal yang sulit mengingat pasokan logistic dari partai ini bisa sangat diandalkan apalagi saat-saat sekarang pak PS disinyalir agak keteteran dalam urusan ini.

Kalau mencermati bahwa pak PS adalah politisi dan jenderal tentara militer yang track record-nya bukan kalangan agamais, kembali ke titel tulisan, saya menduga pertimbangan beliau akan lebih pada kalkulasi politik.

Maka menarik untuk dinanti episoda lanjutan setelah masing-masing poros yang sudah ada sementara ini mengumumkan dan mendaftarkan pasangan capres/cawapres ke KPU.
Jika rasa kecewa itu muncul pada parpol masing-masing pendukung kedua koalisi ini, boleh jadi ada kemungkinan poros ketiga akan terbentuk di menit-menit akhir masa pendaftaran.

#PolitikSeruNamunDamai

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!