Sufisme, Apakah Sebuah Bid'ah Dalam Agama?

Saya kira sangat tepat jika dikatakan bahwa ketika orang yang berbicara (pidato, ceramah, berdakwah) itu sangat perlu mempertimbangkan kepada siapa pesan itu hendak disampaikan. Karena mempertimbangkannya dengan cermat antara isi materi, metode penyampaian, bahasa yang digunakan dan audien atau sasaran dari pesan itu, senyatanya sebagai kunci yang memegang peranan besar untuk keberhasilan dan tercapainya suatu tujuan.

Problem yang dihadapi oleh siapapun dalam hal berkomunikasi model tersebut, kiranya banyak terkait dengan permasalahan di seputaran ini.
Materi yang "berat" apalagi disampaikan dengan pilihan bahasa atau kosa kata yang ndakik-ndakik alias sulit dipahami tentu merupakan kendala yang besar jika para pendengarnya tidak memiliki kemampuan dan pengetahuan awal yang cukup memadai. Lain halnya bagi pendengar dengan kondisi sebaliknya, tentu mereka telah siap dan sanggup mencerna dan memahaminya.

Tak kurang, dalam suatu riwayat diceritakan, Nabi Musa sebelum menyampaikan dakwahnya beliau bermunajat kepada Allah agar diberikan kelancaran dalam penyampaiannya. Ini bukan lantaran Nabi Musa kurang cakap dalam berorasi atau menyampaikan pesan misalnya, namun lebih kepada tingkat kemampuan pemahaman dari kaumnya yang nanti akan menerima seruannya itu.

Pengetahuan ilahiah yang sedemikian tinggi yang ada pada diri beliau itu hendak disampaikan dengan cara dan bahasa sesederhana apa hingga kaumnya yang paling awam sekalipun bisa memahami perkataan dan seruannya. Hingga berbuahkan pada keyakinan dan iman yang benar kepada Tuhan Sang Maha Pencipta alam semesta dengan segala isinya.

Apa yang diketahui dan dipahami oleh beliau sebagai Utusan Allah yang hendak disampaikan kepada khalayak umum itu senyatanya bukanlah perkara yang mudah.

Senada dengan kisah diatas, ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, Nabi Muhammad SAW bersabda :
"Ajaklah mereka berbicara sesuai dengan apa yang mereka ketahui".

Dalam hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Ad-Dailami, Nabi Muhammad SAW juga bersabda:
"Aku diperintahkan untuk berbicara dengan manusia sesuai dengan kadar kemampuan berfikir mereka". 

Dari sekelumit kisah dan kedua hadits tersebut telah memberikan pelajaran dan peringatan kepada kita bahwa tidak dalam semua hal -dalam konteks ini berceramah atau berdakwah- kita bisa menyampaikannya dengan cara yang sama. Pemilahan menjadi hal yang sangat penting.

Materi yang khusus misalnya, tentu hanya untuk pendengar yang khusus pula.
Kita bisa bayangkan andai kajian-kajian yang bersifat banyak melibatkan pemikiran dan kerja logika disampaikan secara umum dan terbuka, maka bisa jadi bukan suatu kebaikan dan nilai manfaat yang bakal didapat. Barangkali hanya menimbulkan kebingungan saja atau malahan muncul pertengkaran dan cekcok berkepanjangan belaka. Sebagai contoh, studi kritis hadits yang secara muatan masih bisa dipertanyakan misalnya. Atau kritik sejarah tentang pergolakan politik oleh para sahabat sepeninggalnya Nabi Muhammad SAW.
Oleh karenanya forum dimana hal-hal yang demikian itu akan dilakukan, haruslah dipilih dan dipilah dengan jelas dan tepat.

Dalam kaitan dengan tema diatas, tentang tuduhan para Sufi sebagai para penyimpang agama dan pelaku bid'ah, saya lebih memilih untuk berhati-hati dalam bersikap. Pertimbangan adanya dua keadaan yang disebut dengan umum dan khusus itu bisa menjadi dasar pertimbangannya.

Ajaran Nabi yang bisa ditemukan tersebar pada teks-teks hadits harus kita sebut sebagai kebutuhan dasar dan pelengkap dalam pelaksanaan keagamaan. Ianya adalah standard tata aturan dan petunjuk yang mesti dipenuhi ketika kita mengamalkan ajaran agama.

Bagi orang-orang tertentu boleh jadi hal yang demikian itu masih belumlah mencukupi. Mereka menginginkan yang lebih dalam lagi. Dan Rasulullah adalah orang yang paling mengetahui diantara para sahabatnya itu, siapa-siapanya yang membutuhkan pengamalan yang lebih dalam, spirituallity matter,  yakni yang terkait dengan apa yang disebut dengan makrifatullah dan makrifaturrasul.

Peminatan dalam perkara demikian adalah termasuk peminatan khusus yang tidak ada pada semua orang, tak terkecuali pada pribadi-pribadi yang hidup bersama dengan Nabi.

Hipotesis, kalau boleh dibilang demikian, bisa dibuktikan dengan keterangan para pelaku sufisme yang mereka sebut mempunyai silsilah dan sanad keilmuan yang berujung pada Nabi. Dari siapa saja keilmuannya itu bersumber, tercatat rapih dan runut.

Oleh sebab itu adalah lebih bijak jika kita berhusnuzon bahwa mereka para penganut "mazab" sufisme itu sangat mungkin dalam mendapatkan ilmunya bukan melalui jalan keumuman.
Musti diingat lagi, bahwa adanya yang umum tentu ada pula yang khusus karena sunatullohnya begitu. Barangkali satu ayat berikut tentang adanya kaum yang dilebihkan dari yang lainya bisa menjadi pijakan juga

 انْظُرْ كَيْفَ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَلَلْآخِرَةُ أَكْبَرُ دَرَجَاتٍ وَأَكْبَرُ تَفْضِيلاً

"Perhatikanlah bagaimana Kami melebihkan sebagian dari mereka atas sebagian yang lain. Pasti kehidupan akhirat lebih tinggi tingkatannya dan lebih besar keutamaannya". [QS. al-Isra (17): 21]

Akhirnya, adalah penting juga untuk disadari, manakala kita tidak cukup berpengetahuan terhadap suatu perkara, tentu saja tidak elok bahkan tidak pantas sama sekali jika kita tetap memaksakan diri untuk memberikan kesimpulan dan penilaian dalam perkara tersebut.

Ke-tidak-tahuan kita tidak boleh menjadi alat ukur untuk menilai orang secara serampangan, karena yang demikian itu adalah juga suatu bentuk kezaliman.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!