Perang Dan Guratan Garis Tegasnya

"Sadarkah engkau bahwa perang yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dalam perjuangannya untuk menegakkan kalimatullah itu ada guratan garis-garis tegas sebagai penguji dan pemisah? Bahkan-pun pada perang-perang setelah beliau mangkat itu?"  Demikian sahabat karib dalam setiap perenunganku itu melemparkan pertanyaannya.

Sangat masuk akal memang jika perang itu bisa "dibaca" juga sebagai bentuk ujian. Bukankah kesanggupan untuk berangkat ke medan juang dengan meninggalkan harta, sanak saudara, isteri-isteri dan anak-anaknya itu, dengan kemungkinan tidak pernah pulang kembali ke rumah dan keluarganya adalah ujian yang sangat besar? Kiranya hanyalah pribadi-pribadi teguh yang benar-benar meyakini kerasulan baginda Nabi Muhammad SAW sajalah yang sanggup melakukan itu semua.

Selayaknya dalam setiap apa yang dilakukan para insan bertakwa bahwa menjaga niat itu sebagai bagian tak terpisahkan dari suatu amal, seperti apa yang sering disampaikan dalam tausiah para ustadz dan ulama, maka ujian itu terus berlaku dari awal keberangkatan ke medan juang, pada saat terjadinya pertempuran hingga sampai pada waktu kepulangan pasukan. Ujian menjaga kebersihan niat ini tetap terus terjadi dan yang berhasil melewatinya dari segala hal yang dapat menggelincirkan niat, tentu saja orang yang punya kepribadian yang teguh, kokoh dan sentausa.

Pun pula, bisa dibaca bahwa perang itu menjadi pemisah, semacam ada garis khayali atau garis fiksional, yang memisahkan tokoh-tokohnya dalam hal keperwiraan.

Bermunculan kesatria yang sangat teguh dalam memegang prinsip dan tanggung jawab yang tidak sekalipun gentar dengan segala resiko dalam perang itu, yang hal ini mensiratkan kedalaman pemahaman dan ketinggian level keimanan mereka pada kebenaran Nabi dan kebenaran risalah yang tengah diembannya itu.

Sementara dari sana pula memunculkan orang-orang yang rapuh yang berlarian menyelamatkan dirinya sendiri manakala kondisi dan posisinya dalam keadaan terancam oleh bahaya. Gentar mendalamnya mereka itu telah pula melupakan keselamatan orang-orang yang masih memilih tinggal di medan laga.

Tentu perang Uhud dengan segala dinamika dan romantikanya yang terekam dalam sejarah, masih melekat kuat pada ingatan kita. Peristiwa-peristiwa penting itu telah termemori dengan baik.

Garis pemisah yang bersifat khayali itu, tak dinyana sama sekali jika kelak di kemudian hari, tertoreh dalam sejarah bahwa mereka berhadapan dan bertentangan secara diametral.

Apakah perseteruan itu hanya sebatas urusan politik saja?

Banyak yang berpendapat demikian, bahwa konflik masa lalu hanya bermotifkan pada politik kekuasaan yang sarat dengan rasa keunggulan persukuan, alias primordialisme.

Namun jika kita ingin tetap berpegang teguh pada prinsip bahwa Islam tak bisa dipisahkan dari urusan politik, dan Islam telah pula menghapuskan ashobiah pada suku dan keturunan yang hanya ketaqwaan saja sebagai norma pembedanya, maka apa yang terjadi pada masa silam itu harus berani jujur mengatakan bahwa konflik-konfliknya itu tidak bisa terlepas dari issue agama juga. Satu kesatuan paket yang lengkap. Yakni, kepentingan politik kekuasaan bercampurkan dengan agama yang dilatar-belakangi perbedaan dalam interpretasi ajaran agama itu sendiri, yang perbedaannya itu, saya sangat yakin tidak gampang bahkan teramat sulit untuk didamaikan.

Ketika kelompok pengusung khilafah itu meyakini dan mendakwahkan bahwa khilafah adalah ajaran Islam, maka menjadi cukup gamblang sebenarnya untuk menarik sebuah kesimpulan. Affirmative statement mereka itu membawa pada kesimpulan, bahwa konflik yang terjadi dan berdarah-darah pada masa silam itu memang tentang kekuasaan, tentang khilafah pengganti institusi kenabian yang telah berakhir dengan berpulangnya baginda Nabi SAW, tentang siapa yang mempunyai hak kepemimpinan yang paling legitimate dari sekian banyak tokoh penting yang ada pada masa itu.

Namun jika masih bersikukuh pada hipotesis konflik politik semata, maka kesimpulan berikutnya yang bisa ditarik adalah, konflik politik mereka itu telah menunggangi agama. Mereka memakai agama sebagai sarana untuk meraih kekuasaan. Tidak lain dan tidak bukan.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!