Dimanakah Tuhan, Dimanakah Pikiran

"Dimanakah Tuhan itu berada?"

Pertanyaan yang kerap muncul itu mendapatkan respon jawaban yang tidak selalu sama dari para ustadz/ulama dan orang-orang yang mempelajari agama dengan tekun dan bersungguh-sungguh meski mereka tidak dikenal dan tidak pernah pula menganggap diri mereka sendiri sebagai ustadz/ulama.

Tanggapan atau pendapat yang berbeda itu sememangnya sangat mungkin terjadi dan tidak pula aneh, oleh sebab adanya perbedaan dalam memberikan penafsiran pada dua sumber utama rujukan agama, yakni Alqur'an dan Alhadits oleh para agamawan itu.

Interpretasi atau penafsirannya tentu sangat dipengaruhi oleh latar belakang ideologi yang dianut dan kedalaman pemahaman tentang Ketuhanan itu sendiri. Namun jikalau tak hendak mau saling memahaminya maka klaim kebenaran sepihak pastilah yang akan lebih ditonjolkan. Bahwa pemahaman yang benar itu hanya berada pada pihak dan kelompoknya saja. Dan ini sudah menjadi praktek yang turun temurun yang berlaku hingga bisa kita saksikan sampai hari ini.

Kita rasanya belum lupa juga tentang seruan lantang kelompok-kelompok yang mengatakan:
"Mari kita kembali kepada Alqur'an dan Sunnah!". 
Sebuah seruan yang mulia sebenarnya, namun karena sesuatu dan lain hal yang oleh para penyeru itu lakukan, kesan pemaksaan kehendak pada pemahaman kelompoknya sendiri yang malah terlihat lebih menonjol. Seruan agar kembalinya kepada dua pusaka itu, teramat disayangkan, harus menuruti pada apa yang mereka interpretasikan dari kedua sumber pokok tersebut.

Ide dan pemikiran bahwa tafsir dan pemahaman tentang agama dan keagamaan seharusnya tetap sama dan tidak berubah sejak zaman Nabi SAW hingga sampai kapanpun, agaknya masih sebatas sebuah harapan yang sampai saat ini belum bisa terpenuhi tersebab faktor beragamnya pendapat para mufassir dan ulama. Kita semua pasti tahu di belahan dunia manapun selalu terdapat berbagai macam aliran pemikiran dengan para tokoh dan ulamanya masing-masing.

Kembali tentang pemahaman ketuhanan ini, setidaknya ada dua kelompok pemahaman tentang ketuhanan jika dikaitkan dengan pertanyaan diatas;

Yang pertama, bahwa Tuhan Allah berada di suatu tempat yang tinggi, yang tidak bisa diserupakan dengan apapun baik wujud, tempat dan ketinggiannya, serta bagaimananya Tuhan. Hal ini berdasarkan interpretasi dari nash, teks suci ayat-ayat yang termaktub dalam Alqur'an dan juga hadits-hadits penguatnya.
(Penjelasan tentang hal ini bisa ditelusuri pada laman-laman atau situs-situs yang cukup populer seperti Eramuslim, Almanhaj.or.id, Muslim.or.id dan lain-lain website yang biasanya menyandarkan kajiannya pada pendapat dari ulama-ulama mumpuni dari Negeri Tauhid yang ketinggian ilmunya diakui ulana/mufti lainnya, semisal Ibn Baz, Al-Utsaimin dan ulama atau mufti yang lainnya).

Yang kedua, bahwa Tuhan meliputi segala sesuatu, yang tidak berada di dalamnya maupun di luarnya. Pemahaman ini juga merujuk pada sandaran yang kokoh serta logika yang matang. Teks suci bagi kalangan ini tidak saja bermakna literal tekstual, yang tersurat saja, melainkan mempertimbangkan pula makna kontekstualnya, baik itu dalam hal konteks diturunkannya ayat-ayat berkenaan dengan sesuatu hal misalnya, maupun makna di sebalik kata harfiahnya, yakni memerlukan penafsiran tertentu. Bahkan bagi mereka, teks suci itu memiliki berlaksa-laksa tingkatan makna yang tersembunyi yang tidak sembarang orang mampu "menyentuhnya". Hanya pribadi-pribadi yang unggul adiluhung sajalah yang diberikan kesanggupan untuk mengetahui, memahami lalu menjelaskan maknanya secara bernas dan gamblang.

Menarik untuk mencermati pendapat pertama yang hampir keseluruhannya berasal dari kelompok fundamentalis, istilah atau penamaan yang disematkan pada kelompok tekstualis/literalis yang barangkali juga sangat ortodoks dan konservative, dalam memahami ketuhanan terkait pertanyaan diatas sebagaimana yang bisa disaksikan pada video dengan link ini.

Apa yang menarik dari video sejenis itu (karena banyak video dengan nara sumber yang berbeda) adalah, ketika misalnya kata kerja naik atau turun, mereka sudah berani "memastikan" dalam konteks atas-bawah yang bersifat fisikal, dimensi ketinggian realitas inderawi, bukanlah naik-turun atas-bawah atau ketinggian dalam makna kiasannya.

Menarik, karena jika kita ber-"madzab"-kan Globe Earth dalam memahami realitas bumi, masih adakah sebutan untuk posisi atas dan bawah kecuali hanya bersifat persepsi saja?  (Sekedar hipotesa saya, jika demikian halnya tidak menutup kemungkinan kelompok ini akan mengarah pada keyakinan akan datarnya bumi. Dan Globe Earth itu bisa jadi bagi mereka hanyalah ulah dan kebohongan yang direka-cipta oknum tak bertanggung jawab. Barangkali lho yaa)

Dalam banyak hal, sebagaimana yang awam pahami, naik-turun atas-bawah dan ketinggian, tidak selalu bermaknakan posisi dalam dimensi fisik, dalam bentuk matra. Ianya kerap juga dipakai untuk penyebutan sesuatu yang sifatnya non fisik, seperti jabatan misalnya. Seseorang yang naik jabatan, bukankah tidak lantas naik menuju ketinggian fisik yang bisa diukur dalam ukuran satuan panjang; meter, kilometer atau ukuran lainnya?.  Melainkan dalam bentuk jenjang yang bersifat  immaterial. Kita tentu paham benar dalam masalah ini toh?!

Kelompok ini dalam penguatan argumennya, sering membawakan kisah orang-orang terdahulu yang hidup sezaman dengan Nabi SAW. Yang salah satu kisahnya adalah tentang seorang budak wanita-nya Muawiyah bin Hakam yang menjawab pertanyaan Nabi SAW tentang Tuhan yang berada di samawat sambil menunjuk ke atas, ke langit. Lalu Nabi SAW membenarkannya dan meminta dimerdekakanlah sang budak wanita itu lantaran keimanannya.

Pun juga mereka berargumen dengan kenyataan yang sering mereka sebut sebagai fitrah, yaitu bagaimana ketika orang berdoa, bermunajat kepada Allah seraya menengadahkan tangan dan isyarat-isyarat fisik lainnya yang mengarah ke atas, mengarah pada langit, mengarah pada ketinggian yang bersifat fisikal itu.

Pada kesempatan yang sama, sang penceramah bahkan berseloroh, semacam mencandai pada siapa saja yang tidak sependapat dengan pemahamannya itu, sambil mem-praktekkan orang berdoa, beliau berujar (yang kurang lebihnya semakna dengan ini): "Kalau Allah itu ada dimana-mana mengapa orang yang berdoa kok tidak menunduk misalnya, atau ke arah kiri-kanan atau arah yang lainnya? Mengapa orang yang berdoa kok menengadahkan tangan keatas, itu membuktikan bahwa Allah memang ada diatas sana, berada pada tempat yang sangat tinggi, 'Arsy, yang tak terjangkau oleh manusia".

Lalu ada pula alasan "logis" yang lain yang digunakan untuk menyangkal pendapat bahwa Alloh meliputi segala sesuatu, dengan mengatakan:  "Jika Allah itu meliputi segala sesuatu, berarti Allah ada di WC ada di got? Masak Allah ada di tempat-tempat najis?"

Dua alasan terakhir diatas, yang digunakan sebagai penguat pendapat  itu, sebenarnya mengandung sisi kelemahan yang masih bisa untuk dipertanyakan.

Yang pertama, bahwa perilaku doa yang dilakukan oleh orang jelas tidak bisa dijadikan sandaran. Mengingat banyak juga orang yang berdoa tanpa disertai isyarat apapun. Kalau dicermati lagi, justru perilaku orang berdoa yang demikian itu sangat boleh jadi salah satunya akibat dari adanya hadits tentang budak wanita yang telah disebut diatas itu, serta riwayat-riwayat lain yang memiliki narasi serupa.

Yang kedua, keberadaan Allah yang meliputi segala sesuatu itu bukan lantas harus digambarkan sebagaimana zat secara material layaknya tanah, ranting-ranting pohon dan lain sebagainya. Bukankah Allah itu sang maha mutlak sementara makhluknya bagaikan fatamorgana dan sekedar bayang-bayang saja jika diperbandingkan denganNYA?
Tentu kita mafhum bahwa bayang-bayang itu tidak bisa berdiri sendiri melainkan ada ketergantungan dengan wujud aslinya, selalu bersama tak terpisahkan namun sekaligus pula terpisah dari wujud aslinya.
Lalu jika demikian halnya, bagaimana mungkin si bayang-bayang itu bisa mendatangkan sesuatu, atau apapun itu nama dan sebutannya, kepada Sang Wujud Mutlak Yang Maha Segalanya?.

Bukankah pula diyakini, bahwa segala sesuatu berasal dari dan akan kembali kepada Sang Maha Pencipta?. Jika memakai logika yang sama tentang WC dan Got tadi, bagaimana akan menjawab tentang babi atau anjing? Apakah babi atau anjing itu akan menajisi Allah yang menciptakannya? Atau juga keduanya akan menajisi Allah ketika kembali kepadaNYA?

Kalau saya yang harus menjawabnya, saya akan katakan, kenajisan itu bersifat bendawi, berkaitan dengan sifat  kewadagan, oleh karenanya hukumnya terkena pada yang bersifat wadag juga, sementara Zat Allah itu bukanlah zat sebagaimana zat makhluknya. Tentu masih ingat dengan kisah Nabi Musa dan hancur berkepingnya sebuah gunung itu toh?
Maka kita musti kembali kepada terminologi fatamorgana dan bayang-bayang itu.
Oleh karenanya janganlah memahami keterliputan oleh Tuhan itu dibayangkan sebagai keterliputan yang bersifat bendawi yang berbataskan dimensi; bentuk, ruang dan waktu yang masing-masingnya mempunyai matranya sendiri-sendiri. Tentu tidak demikian.

Lalu pertanyaannya adalah, apakah memang benar  sedemikian itukah gambaran keberadaan Tuhan? Wallahu a'lam. Karena perdebatan atas perbedaan pandangan itu terus berlangsung dan sama-sama masih bersikukuh dengan "kebenaran" versinya masing-masing.

Barangkali sebagai penutup, menarik juga apa yang disampaikan oleh sahabat karib dalam setiap diskusi saya, katanya:

"Mas, coba sampeyan pikirkan! Yang paling dekat dan selalu bersama kita setiap saat saja, seperti nyawa atau ruh, kita tidak pernah tahu seperti apa dan ada dimana persisnya. Atau tentang pikiran kita saja, ada dimana pula ia berada? Kitapun juga ngga pernah tahu. 
Pikiran atau olah pikir yang abstrak itu baru "nampak" atau bisa dirasakan manfaatnya ketika sudah diwujudkan dalam tindakan, bisa berupa sebuah karya atau apapun bentuk dari pengejawantahan dari olah pikir itu".

"Ya ya ya, lalu bagaimana pendapatmu tentang pertanyaan paling awal berikut perbedaan pendapat tentangnya?" Kataku meminta tanggapannya, dia menukas:

"Menurut pendapat saya, pertanyaannya itu sudah berangkat dari sebuah kekeliruan, bukankah kata 'tanya' dimana itu sudah pula membatasi dan hanya tepat jika ditanyakan untuk sesuatu yang terbatas saja? Bagi saya Tuhan itu entitas yang tidak bisa didefinisikan, tidak bisa dirupa-reka bagaimanapun juga caranya, karena hal demikian itu hanya untuk sesuatu yang terbatas, sementara Tuhan Allah Maha Tak Terbatas. Bagiku akan cukup bila kukatakan saja God is undefined entity. He is not whatever you think about. Yang kata para pini-sepuh Jawa, Gusti Allah iku tan keno kiniro. Dah gitu saja!".









Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!