Gandrung Kapiluyu...Cinta Termehek-mehek

Konon, pada suatu waktu dan tempat, ada sebuah wilayah kekuasaan yang dipimpin oleh seorang sultan yang arif dan bijaksana serta mengayomi rakyatnya dengan keadilan dan penuh dengan welas asih. Kehidupan di wilayah sang sultan ini, menjadi wujud kondisi ideal yang disebut dengan Tata Tentrem Karta Raharja Gemah Ripah Loh Jinawi.

Kearifan dan kebijaksanaannya pun begitu mengesankan hingga pada daerah dan wilayah lain diluar kekuasaannya. Hingga membuat perasaan segan dan penghormatan yang tinggi dari para penguasa lain itu terhadap sang sultan.

Keterpincutan alias cinta termehek-mehek gandrung kapiluyu atas sebab keunggulan kepribadian sang sultan yang bèr-budi báwá lêksáná dari para penguasa wilayah lain itu, berbuah pada kerelaan mereka menjadi wilayah bawahan sang sultan. Rela menjadi semacam wilayah taklukan tanpa adanya aksi penaklukan apapun. Barangkali semacam memberikan baiat untuk bersumpah setia kepada sang sultan, untuk bahu membahu bekerja sama demi kemaslahatan hidup bersama.

Cerita tentang ke-gandrung kapiluyu-an pada pesona personal ini sebenarnya sudah didahului berabad-abad silam ketika seorang yang sangat dikenal dengan kepribadian yang tiada banding dan tanding itu menjalani masa-masa hidup "normalnya". Kearifannya bisa menyelesaikan permasalahan ketika beberapa kaum dan suku dimana beliau tinggal mempunyai perselisihan yang cukup tajam atas sesuatu.

Namun, ketika saat pelantikan itu tiba, diikuti dengan sosialisasi kepada kerabat-kerabat dekat beliau, lalu berlanjut kepada kaumnya itu dilakukan, maka tidak sedikit yang berbalik memusuhi beliau dengan berbagai alasan pembenarnya. Meski dalam lubuk hatinya yang paling dalam teramat sulit untuk mengingkari kemuliaan orang yang dimusuhinya itu. Beliaulah Sang uswatun hasanah Nabi akhir zaman sebagai penyempurna ahlak manusia. Beliau yang keberadaannya menjadi rahmatan lil alamin, Nabi Allah Muhammad SAW.

Orang-orang yang masih tetap memilih mendampingi beliau adalah orang-orang yang cintanya begitu termehek-mehek hingga merelakan apapun yang mereka punyai untuk men-support dakwah beliau, meski hal itu adalah nyawanya sekalipun. Karena orang-orang itu sedemikian yakinnya dengan apa yang dibawa-sampaikan oleh baginda Nabi.  Pun pula sebagai perwujudan dari kesungguhan iman mereka kepada Nabi seperti yang dipesankan beliau melalui sabdanya bahwa kesempurnaan iman itu hanya terjadi jika kencintaan pada beliau melebihi kecintaannya pada dirinya sendiri.

Ujian bagi orang-orang yang gandrung kapiluyu ini sungguh tidaklah mudah. Perjuangan penuh resiko kehilangan kehidupannya terus membayanginya setiap waktu.

Ketika pada peristiwa hijrahnya Nabi ke Yatsrib atau Madinah, orang yang menggantikannya tidur di pembaringan Nabi, adalah orang pertama yang sangat beresiko terbunuh oleh pedang-pedang para pemburu dan pencegah Nabi pergi hijrah itu.

Kemudian, sang karib Abu Bakar Shiddiq yang mendampingi Nabi hijrah yang lalu bersembunyi di dalam gua ketika para pemburu dan pengejar itu hampir saja menemukan keduanya, adalah orang kedua yang beresiko tinggi mengalami pembunuhan, tentu saja disamping buruan utama mereka, Sang Pembawa Risalah.

Banyak sekali kisah-kisah heroik dari para companions of the prophet yang membela Nabi-nya dengan penuh rasa cinta mendalam yang tertera dalam kisah-kisah perang pada masa itu. Pun pula wujud kecintaan mereka pada beliau pasca wafatnya pun tetap mereka tunjukkan dengan bertabaruk pada apa saja yang terkait dan terhubung dengan beliau.

Jauh jarak waktu dari kehidupan baginda Nabi, masih sangat banyak orang yang begitu gandrung kapiluyu dengan baginda Nabi yang mereka wujudkan dengan berbagai ragam cara, yang antara lain;

Melakukan ritual do'a-do'a serta perayaan peringatan kelahiran beliau, meski tidak sedikit yang menganggap tindakan demikian itu sebagai bid'ah dan sesuatu yang sesat. Mereka tidak memperdulikan stigma negatif itu dilekatkan pada mereka.

Ada yang berpendapat bahwa wujud mencintai Nabi itu dengan cara mengikuti teladan dan perintah Nabi dengan sebenar-benarnya.
Tentang hal ini, memang banyak sekali yang kita bisa saksikan bagaimana orang dengan sungguh-sungguh ingin berpraktek hidup dengan panduan sunnah. Mulai dari yang kecil yang bersifat simbolik sampai pada hal-hal yang lebih esensial, hal-hal yang sangat mendasar dalam praktek keagamaan.

Bentuk kegandrungan yang lain adalah bagaimana mereka begitu menghormati para keturunan Nabi yang biasa disebut dengan habib yang banyak tersebar di berbagai wilayah itu. Mencintai habaib itu sebagai bagian dan sarana mencintai datuknya yang mulia.

Bahkan, sebagian orang beranggapan bahwa para keturunan atau dzuriyat Nabi itu adalah para pembimbing yang disediakan bagi para "awam", mereka yang non dzuriyat itu. Dan oleh karenanya bisa kita saksikan hingga hari ini bagaimana orang begitu mencintai habib yang diikutinya itu melebihi cintanya pada ulama yang lain.

Tentang ke-gandrung-kapiluyu-an cinta yang termehek-mehek ini, adakah yang bisa dan perlu dipersalahkan?
Tidak ada, sama sekali tidak ada. Karena semua itu adalah hak personal mereka untuk mengekspresikan perasaan yang tengah membuncah bergelora di dalam dada-dada mereka.
Apalagi jika dikait-hubungkan dengan kesempurnaan iman, rasanya ekspresi cinta yang demikian itu malah masih jauh dari kata cukup.

"Apa kau bilang? Masih jauh dari kata cukup?" 

Ya, karena nampak adanya ambiguitas sikap yang masih kelewat kental ketika berurusan dengan penerapan dan pengamalan sunnah Nabi SAW.
Ah, sudahlah! Ini memang poin paling ruwetnya.

Nah barangkali baiknya bagi kita adalah, mari bersama-sama mencermati dan mencari tahu makna yang terkandung dari kata-kata berbahasa arab yang cukup populer ini,
Mahabbatan ilaa Mahbub (yang terjemah bebasnya kira-kira) Mencinta Pada Yang Dicinta, Asih marang Kang Kinasih. Sumonggoo!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!