Wanita Harus (Tidak) Bekerja?

Bagi saya, tidak penting untuk mencari jawaban mana yang benar, atau katakanlah mencari semacam legal standing-nya, bahwa perempuan itu (harus) ikut bekerja atau tidak.

Dan oleh karenanya tidak perlu lagi menyalahkan atau mengolok-olok bahkan hanya sekedar mengkritisi perempuan yang bekerja/berkarir lalu menghubungkannya dengan relasi personal mereka dengan keluarga, suami dan anak-anaknya.
Tidak perlu pula memperbincangkan dan mengkira-kirakan kualitas dan jenis hubungan macam apa yang bisa dijalin dalam keluarganya jika perempuan sebagai isteri dan ibu itu banyak menghabiskan waktunya di luar rumah.

Saya kira yang demikian tidaklah elok, karena tanpa kita bahas-bahaspun, tanpa kita kulik-kulik pun sudah barang tentu mereka juga telah kepikiran dan telah terbebani dengan keadaan yang dipilihnya itu, maka tidak patut jika kita menambahi beban psikologis itu dengan menilai apa yang sebenarnya kita tidak pernah tahu permasalahan spesifik dan kesiapan diri dari masing-masing orang yang mengambil keputusan itu.

Saya turut bersedih ketika ada salah satu ustadz yang rajin di media sosial dan mempunyai follower dengan bilangan hingga juta orang itu melontarkan retorika terkait hal ini. Kurang lebihnya ia berkata: "Keadaan seorang perempuan/ibu yang lebih banyak menghabiskan waktunya di kantor atau di tempat kerja dari pada untuk keluarganya lebih layak disebut ibu atau karyawati?" 
Jikalau kalimat itu diruncing-tajam-pedaskan maka ustadz itu seperti hendak mengatakan "Hey! ibu dan isteri macam apa kalian itu?!"

Saya kira ungkapan demikian dan yang sejenisnya itu sudah sangat dahsyat menghajar hati dan perasaan perempuan bekerja. Yang terbaik yang bisa kita lakukan adalah menahan diri dari sikap skeptis yang jelas kurang elok itu.

Adalah sebuah keinginan yang sangat baik dan tentu sebuah keadaan yang di-idealkan oleh semua orang saya kira, jika para ibu itu lebih fokus untuk mengurus keluarga dengan sebaik-baiknya demi menghasilkan kualitas anggota keluarga yang anak-anaknya kelak menjadi generasi terbaik harapan masa depan. Namun keadaan yang di-ideal kan itu hanya bisa dimungkinkan jika apa yang diupayakan oleh para suami dalam mencukupi segala kebutuhan keluarganya bisa diwujudkan secara baik.

Ada kata kunci disini bahwa peran suami untuk menghindarkan para isterinya dari menghabiskan waktu di luar rumah adalah sangat vital. Pengusahaan atas mapannya ekonomi keluarga menjadi prioritas tinggi. Suami harus lebih gigih dalam berusaha dan bekerja.

Saya punya banyak kawan yang memimpikan dan tengah berjuang mengupayakan terwujudnya kondisi yang di-ideal-kan itu, dengan isteri yang full mengurus keluarga tanpa perlu ikutan repot dalam urusan ekonomi. Total. Kesehariannya total ia berikan hanya untuk mengurus keluarga.

Saya kira bagus juga. Namun ada satu hal yang menurut saya perlu diingat dan juga diupayakan adalah kesiapan isteri jika suatu saat harus menghadapi keadaan yang tidak pernah kita inginkan.
Kesiapan itu antara lain dengan pemberdayaan isteri dengan cara meningkatkan keterampilannya yang berpotensi bisa sebagai cadangan sumber penghasilan sebagai langkah antisipatif jika ada sesuatu dan lain hal yang tidak diinginkan itu terjadi.
Suami mengalami kebangkrutan ekonomi misalnya, atau terkena dampak kebijakan perusahaan karena rasionalisasi jumlah karyawan alias dipensiun-dinikan.
Atau keadaan ekstrimnya, suami meninggal dunia atau perpisahan/cerai yang tak terelakkan.

Bisa dibayangkan betapa akan pontang-pantingnya seorang isteri yang mendadak menjadi single parent itu harus memulai hidup barunya, yang semuanya harus diawali dari nol. Nol pengalaman kerja, nol pengalaman usaha, tidak atau belum memiliki keterampilan khusus yang bernilai ekonomi, apalagi jika ada tanggungan anak-anak yang masih kecil dimana sedang butuh-butuhnya biaya.
(Ini tidak sedang menafikan faktor nasib/takdir dan rizki dari Allah yang sudah ada hitungannya, namun ini tentang ikhtiar yang merupakan bagian dari pada menjemput rizki itu sendiri. Karena kita juga tidak boleh berlaku fatalis begitu saja, seperti yang tersurat dalam Al-qur'an
"Laa yughoyyiruma bi qaumin hatta yughoyyiruma bianfusihim".
Alloh tidak merubah nasib suatu kaum hingga kaum itu merubah nasibnya sendiri)

Ada (banyak) cerita sedih seputaran masalah ini yang sekaligus pula bisa jadi bahan pembelajaran yang sangat baik saya kira.

Ada kawan SMA saya yang mengalami hal demikian. Ketika sang suami berpulang, isteri yang ditinggalkannya menanggung semua beban, dengan anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Sungguh sebuah keadaan yang tidak bisa dibilang ringan, malah teramat berat, mengingat sebelumnya sang isteri belum pernah terlibat dan berkutat dalam urusan ekonomi.

Saya kira kisah itu bisa kita ambil hikmahnya bahwa pemberdayaan isteri untuk bisa support dalam hal ekonomi keluarga menjadi hal yang sangat penting. Kita boleh saja bermimpi untuk keadaan yang di-ideal-kan, namun mempertimbangkan segala kemungkinan yang bisa muncul di belakang hari adalah sebuah keniscayaan yang perlu perhatian pula.

Ini bukan tentang berandai-andai akan hal buruk yang bisa saja terjadi atau mau ndisiki kerso. Bukan. Tapi ini tentang mempersiapkan diri untuk bertarung, struggle for live seandainya hal yang tidak kita inginkan benar-benar terjadi. Prepare for the best and get ready for the worst. Emangnya siapa seh yang pingin mengalami hal "buruk", tentu ngga ada! Misteri hidup yang kita tidak pernah tahu dan harus dihadapi itu perlu dipersiapkan dengan sebaik-baiknya.

Nah pilihan ada pada kita, apakah isteri akan ikut bekerja di luar rumah sebagai seorang karyawati. Atau berusaha dari rumah berbekal kemampuan yang ada, berdagang secara on-line kah, atau berproduksi berupa makanan/penganan dan apapun  yang bernilai ekonomi.

Pertimbangan atas pilihan itu tentu saja berkaitan erat dengan keadaan dari masing-masing kita yang sifatnya sangat personal (juga keluarga) yang tidak bisa bergantung atau terpengaruh hanya karena banyaknya orang yang menilai dan berkomentar atas pilihan kita itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!