Car Free Day Yang Tercemar

Kejadian hari minggu tanggal 29 April 2018 kemarin, meski dengan berat hati harus diakui bahwa menerima perbedaan (terutama pilihan politik) itu ternyata tidak mudah.

Car free day di Bundaran HI Jakarta yang sudah rutin ada itu, agar udara di sekitarnya bebas polusi semburan mesin kendaraan bermotor yang ga ramah lingkungan, tak dinyana ternyata bisa mendatangkan jenis polusi lain yang tingkat bahayanya barangkali bisa lebih dahsyat dari gas CO dan CO2 muntahan si knalpot.

Tindakan perundungan, pelecehan, tuduhan, intimidasi dan tindakan lain oleh salah satu kelompok pada yang lainnya lantaran perbedaan atribut atau pakaian berbau politik yang dikenakannya, yang sempat mewarnai acara CFD itu, sungguh perilaku yang sulit diterima dan jelas jauh dari nilai-nilai luhur yang sedang diperjuangkan.

Ini benar-benar Car Free Day yang tercemar.

Keinginan untuk mengganti presiden itu adalah hak sebagai warga negara yang dijamin undang-undang selama sesuai dengan aturan main yang berlaku alias konstitusional. Sehingga gerakan yang mengarah pada realisasinya juga tidak menjadi soal sepanjang dalam koridor yang benar. Semua tentu faham tentang hal ini. Sefaham-fahamnya juga ketika orang lain menginginkan hal yang berbeda. Sangat terang benderang. Begitulah seharusnya kita berdemokrasi.

Nah, ketika kita beralasan bahwa ganti presiden dengan gerakan tagar itu dimaksudkan untuk membuat negara ini menjadi lebih baik, ya khan? Lalu mengapa sulit bisa menerima bahwa gerakan ingin mempertahankan pemimpin yang sekarang juga mempunyai alasan yang sama?.

Ketika kita melihat kondisi ekonomi, sosial, politik, penegakan hukum, pemberantasan korupsi dan lain sebagainya yang dengan cara pembacaan kita itu lalu merasa tidak puas dengan kinerja pemerintahan saat ini. Lalu mengapa kita tidak bisa menerima ketika orang lain juga melakukan hal yang sama dengan yang kita lakukan yang dengannya beroleh kesimpulan yang berbeda?.

Ketika kita merasa bahwa penilaian kita inilah yang paling benar dan obyektif, maka ya mohon jangan dilupakan pula bahwa orang lain juga beranggapan demikian. Yang musti diingat, penyeragaman pendapat itu sesuatu yang mustahil dan tentu menjadi sia-sia jika tetap dipaksakan. Yang perlu dilakukan adalah promosikan apa yang kita yakini baik dan benar itu dengan cara yang baik dan benar pula, sambil memberikan penghargaan yang tinggi bagi orang yang berbeda dengan kita. Maka akan sehatlah hubungan kita sebagai anak bangsa.

Saya sih masih sangat berharap cerita yang ga enak seperti ini akan berakhir, meskipun bagai menunggu kacang sukro tumbuh jadi tanaman. "Lho gimana sih ente ini...terusan kata meskipun mu itu memperlihatkan harapan kosong!"

Memang sih harapan saya ini bercampur dengan ungkapan pesimisme yang kelewat kental, mengingat ini tahun politik yang kian memanas dari hari ke hari hingga nanti pileg dan pilpres. Terus terang saya gamang. Saya malah mengira ini baru saja sebuah permulaan.

Alasan mengatakan demikian dipicu oleh beberapa hal,

Pertama, adanya pernyataan tokoh partai politik yang menganggap hal yang demikian itu masih dalam batas wajar. Saya tidak mengerti standar dari batas tidak wajarnya bagi dia itu harus seperti apa?. Dan apakah penilaiannya itu setelah menyaksikan rekaman video dan foto-foto yang tersebar luas dalam posisi netral?

Kedua, adanya tokoh agama atau orang yang ditokohkan dalam keagamaan yang dalam pernyataannya tidak mendinginkan suasana, tetapi malah dapat memancing polemik berkepanjangan. Dari pernyataannya yang tersirat malah menyalahkan korban perundungan "kenapa mesti lewat disana" seolah ini menjadi semacam pembenar apa yang telah dilakukan para perundung. Seolah jika kelompok besar terpancing untuk melakukan sesuatu yang tidak pantas oleh sebab merasa diprovokasi adalah sebuah kewajaran.
Lalu pembandingan pada kasus-kasus lain yang di-respon secara berbeda oleh netizen yang saat ini menyayangkan kejadian ini "kenapa dulu ketika ada yang diusir dengan acungan golok kalian diam" jelas bukanlah suatu pilihan yang bijak.

Ketiga, banyaknya analisis-analisis netizen yang semakin melebarkan kasus dan memperkeruh suasana. Penelusuran pada pribadi korban yang lalu dengan asumsinya itu memaksakan untuk berkesimpulan. Analisis dan duga-menduga itu tidak lebih akhirnya berupa usaha pembelaan diri dan kelompoknya saja.

Selanjutnya, semuanya merasa benar.

Jika demikian halnya, lalu kapan ada kata damai? Kapan kita bisa menikmati perbedaan pilihan itu tanpa ada ribut-ribut yang tak perlu?.

Kembali lagi, meski bagaikan "ngenteni thukule marning" yang pepatah jawa itu ibaratkan untuk sesuatu yang sangat sulit dicapai, tetap berharap pada event-event Car Free Day atau acara-acara yang lainnya nanti, tidak ada gesekan, tidak ada cekcok, tidak ada pihak yang memanfaatkan untuk kepentingan kelompoknya. Karena kita semua bersaudara dalam bingkai Indonesia.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!