Me-Revisi Doa Pilihan Politik

Ajang pemilihan presiden yang digelar lima tahunan sekali ini rasanya telah benar-benar menyihir (atau malahan sudah meracuni?) kita semua. Hampir semua kalangan terlibat dalam pembicaraan kontestasi ini, lengkap dengan segala narasinya baik itu berupa narasi positive maupun negative. Memang sih, kita bisa belajar tentang banyak hal dari narasi-narasi itu, hanya saja perseteruan yang terbentuk itu sudah bikin neg, atau malahan sudah pada level yang mengkhawatirkan. Seperti permusuhan yang menjauhkan persahabatan bahkan persaudaraan.

Yang disebut terakhir ini sebenarnya tidak perlu terjadi jika kita bisa lebih menahan diri dan menaruh rasa hormat pada orang lain atas perbedaan pilihan politiknya.
Menahan diri dari mengeluarkan pernyataan yang bisa melukai perasaan orang lain, misal dengan menyebut goblok, dungu, tidak menggunakan akal sehat dan ujaran buruk lainnya pada kelompok yang tidak sejalan dengan pikiran dan pilihan kita. Karena adalah hal yang sangat naif dan berlebihan jika kalimat-kalimat buruk itu malah keluar dari mulut yang mendaku diri tengah menggunakan akal sehatnya. Akan sulit diterima nalar jika orang yang katanya menggunakan akal sehatnya itu bisa mencaci dan merendahkan orang lain dengan sedemikian rupa dan semena-mena. Sulit dipahami juga jika mendaku diri cerdas tapi malah lebih condong pada asumsi-asumsi yang dibangunnya sendiri mengalahkan hal-hal yang berbasiskan data.
Kalau kita masih saja setia pada keadaan yang demikian itu, maka sebenarnya kita sama-sama telah melempar jauh dan tidak pernah menggunakan akal sehat kita.

Seringkali diperdengarkan di ruang-ruang bincang kita di manapun dan media apapun supaya kita bisa move on, bisa benar-benar menjunjung tinggi fairness, bisa berlaku adil, tapi senyatanya kata-kata itu hanya mudah dalam pelafalannya saja. Bukti nyata dari kata-kata itu masih sulit ter-realisir. Bahkan ketika ajang yang telah membelah itu berakhir, sisa permusuhan tak pernah berhenti hingga ajang yang sama itu kini sedang menjelang. Hampir lima tahun kubu-kubuan itu tak lekang oleh pergerakan waktu dan sodoran-sodoran perubahan keadaan yang telah terjadi. Malah sebaliknya, polarisasi dan rivalitas yang diametrikal kian menjadi.

Saya kok lantas kepikiran, jangan-jangan ada kesalahan kita dalam memaknai kata berserah diri atas keputusan Tuhan/Allah. Bukankah -sebagaimana kita yakini sebagai umat beragama- apa saja yang terjadi di muka bumi dan alam semesta ini hanya bisa terlaksana atas ijin dan kehendak dari Tuhan/Allah? Kalau kita percaya dan yakin akan yang demikian  ini, lantas alasan apa yang membuat kita tidak bisa atau mau menerimanya dengan lapang dada?

Ah, barangkali doa-doa yang kita panjatkan atas pilihan pemimpin politik ini kurang tepat. Ada komponen keberserahan diri yang tertinggal oleh sebab kita sudah kelewat yakin atas pilihan yang kita buat lalu doa kita kepada Sang Maha Menentukan pun terkesan memaksaNya untuk bersetuju. Padahal kita tahu kita tidak memiliki perangkat apapun untuk bisa melihat jauh ke depan ke masa-masa yang akan datang. Kita tidak pernah tahu yang sebenarnya tentang sesuatu dan apa yang akan terjadi di kemudian hari. Siapa yang terbaik dan paling tepat dihadirkan untuk menjawab semua persoalan bangsa kita ini. Apa yang tengah kita lakukan hari-hari ini hanya sebatas upaya yang bisa kita lakukan, memilih berdasar atas pertimbangan yang kita buat, tidak lebih.

Berdoa, meminta kemenangan atas jago kita kepada Sang Pemberi sebagai bentuk penguat upaya, memang sah-sah saja. Tetapi barangkali harus dibarengi dengan kerendahan hati pengakuan atas ketidak tahuan kita, lalu kepasrahan bulat atas ketentuanNya, sehingga apapun nanti hasil dari upaya kita ini, bisa dengan mudah menerima dengan ikhlas.

Rasanya kurang elok khan, bahkan sombong menurut saya ketika kita berdoa lalu kita sudah membatasi doa itu sendiri dengan pilihan dan keinginan kita. Lha kok maksa Tuhan? Siape Loe!
Sebagai contoh dan perbandingan, sederhananya begini;

(Versi-1)
"Ya Alloh kami bermohon kebaikan dan perbaikan atas negeri kami, Ya Alloh menangkanlah pasangan si Anu dan Anu ini ya Alloh", lalu segera kita tutup "Aamien YRA".

(Versi-2)
"Ya Alloh kami bermohon kebaikan dan perbaikan atas negeri kami, Ya Alloh kami telah berusaha dengan segala keterbatasan ilmu kami untuk memilih dan memperjuangkan pasangan si Anu dan Anu ini, menangkan mereka Ya Allah sekiranya mereka ini pasangan yang paling baik dan tepat untuk kami. Namun sekiranya bukan mereka, kami pasrah dan berserah diri atas ketetapanMu. Aamien YRA".

Harapan dari doa yang mencantumkan dan menekankan bahwa pada diri kita tidak ada pengetahuan dan kemampuan untuk memastikan kebenaran atas pilihan kita, kiranya akan memudahkan kita bisa segera menerima lalu move on dari berlarutnya keadaan yang sama sekali tidak menyehatkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kita.
Berharap, kelarnya helatan 2019 April mendatang bisa mengakhiri kubu-kubuan yang tak produktif sama sekali. Aamien.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!