Petuah 'Pojokan'

Satu seruputan kopi hitam seduhan a-la Americano yang belakangan lebih aku gemari, membawa alam hayalku masuk ke suasana imajiner sebuah pengajian yang imajiner pula...

Seorang ustadz dengan kopiah putih tipis model bulat berlilitkan sorban yang juga putih bersih nan rapi, tengah duduk dengan anggunnya di hadapan puluhan jamaah yang dengan takzim dan khusyuk mendengar setiap kata dan kalimatnya.

Petuah-petuah yang mengalun dari sepasang bibir ustadz ini acapkali membuat kepala-kepala yang ada di depannya terangguk-angguk membenarkan. Namun tak jarang pula membuat kepala-kepala itu juga menggeleng pelan lalu tunduk tepekur.
Menggelengnya bukanlah bantahan melainkan sebuah bentuk keheranan atas sikap dan perilaku diri sendiri, menunduk tepekur sebagai wujud penyesalan atas hal-hal negative yang telah diperbuat.

Memang terkadang sang ustadz dalam ceramahnya menyisipkan pula berbagai pertanyaan retoris, ungkapan-ungkapan keprihatinan atas fenomena yang tengah tetjadi di masyarakat, hingga sindiran yang tajam menohok ulu hati pendengarnya.

Adakalanya sang ustadz mengingatkan bahwa tidak ada yang kebetulan di dunia ini lalu menghubung-hubungkan fenomena alam yang terjadi dengan kasus yang sedang bergulir. Bencana alam dengan kemarakan kemaksiatan dan perilaku asusila atau kemusyrikan dalam praktik kebudayaan. Fenomena penyimpangan perilaku yang terjadi di tengah masyarakat dengan isyu lemahnya kepemimpinan nasional, dan lain sebagainya.

Pada penghujung pengajian imajiner itu, ustadz bertanya jawab dengan puluhan jamaah di depannya tentang andai-andaian manakala kita hidup nun jauh pada situasi masa lalu dan komparasinya dengan keadaan masa kini. Ustadz mengawali tanya jawabnya:

"Andai kita hidup pada zaman Fira'un, kira- kira kita jadi pengikut siapa, Fir'aun atau Nabi Musa?" Serentak dijawab oleh jamaah:
"Musaaaaa".

"Yakiiin?" Timpal sang ustadz, yang lagi-lagi dengan kompak segera dijawab oleh jamaah:
"Yakiiiiiin.....".

"Tapi yang membangun kota Mesir, Fir'aun. Yang bangun infrastruktur juga dia. Yang bangun piramida, Fir'aun. Yang paling kaya, Fir'aun. Yang punya bala tentara banyak dan kuat, Fir'aun. Yang punya banyak pengikut, Fir'aun. Yang bisa memberi perlindungan keamanan dan jaminan, Fir'aun. Yang berkuasa, Fir'aun. Yang bisa menyediakan makanan & minuman, Fir'aun. Yang bisa adakan hiburan, Fir'aun. Yang bisa buat pusat perbelanjaan, Fir'aun. Bahkan jika teknologinya sudah ada mungkin Kartu Mesir Sehat dan Kartu Mesir Pintar juga dibuatnya". Sergah sang ustadz mulai memberikan 'framing'-nya.

"Sementara Nabi Musa, siapa dia?
Hanya seorang penggembala kambing. Bicara saja tidak fasih alias cadel (akibat pernah memakan bara api diwaktu bayi). Hanya memiliki sebatang tongkat butut. Masih yakin mau ikut Nabi Musa?". Cecar sang ustadz semakin menohok.

"Kerjaan Nabi Musa hanya sebagai penjaga kambing, tiba-tiba mau mengajak kita menyeberangi lautan, tanpa memakai sampan, tanpa perahu, tanpa kapal.
Apakah yakin kita mau ikut Nabi Musa?" Cecaran lanjutan sang ustadz ini semakin mengharu-birukan perasaan jamaah yang kini hanya bisa terdiam seribu bahasa. Sebagian menunduk dan menggelengkan kepalanya.

"Betapa  sesungguhnya manusia zaman Fir'aun dan zaman sekarang, tidak ada bedanya. Di Zaman sekarang ini, mayoritas semua tergila-gila pada harta, wanita, pangkat, jabatan, pujian, rayuan. Al Wahn". Sejenak ustadz menarik nafas, lalu memungkaskan kalimatnya:

"Sungguh, Firaun itu akan tetap ada hingga akhir zaman. Hanya saja berubah wajah dan bentuknya, juga namanya. Tapi secara hakikat dia akan terus ada. Sebab sejarah akan berulang, dan kita harus tetap yakin seyakinnya biidznillah Fir'aun dikalahkan oleh Musa karena Kuasa Allah Azza Wa Jalla".

Abang ganteng yang duduk di sebelah kananku yang sempat terlihat ada bekas sekaan air mata di bawah pelupuk matanya agak tercekat berbisik pelan:

"Mas, agaknya memang kita sedang berada pada masa yang sulit ya. Banyak terjadi musibah bencana alam, banyak ketimpangan sosial, banyak penyimpangan perilaku di tengah masyarakat, sementara pemerintah seperti kurang tanggap dan serius atas keadaan ini. Dan harap ingat juga Mas, banyak terjadi kriminalisasi terhadap ulama dan tokoh-tokoh yang kritis terhadap pemerintah. Saya merasanya miris bener Mas".

"Iya, memang miris Bang. Bencana alam yang bersusulan itu telah banyak merenggut korban jiwa dan kerugian materiil yang sangat besar. Namun juga miris Bang jika kita menghubungkan bencana-bencana itu sebagai kausalitas tunggal oleh adanya kemaksiatan yang mengundang amarah Tuhan hingga Sang Maha Kasih menimpakan hukuman seperti itu. Karena ada semacam tuduhan yang menyakitkan pada para korban".. Aku berhenti sebentar, dan setelah satu hembusan nafas yang agak berat aku coba teruskan:

"Dan barangkali satu lagi Bang yang kita juga harus bijak dalam bersikap, jika petuah ustadz tadi ditarik dalam konteks politik hari ini, karena aku kira ada irisannya juga manakala disebutkan kartu-kartu itu, Kartu Mesir Pintar dan Kartu Mesir Sehat. Kita tidak sedang dihadapkan pada keadaan dan pilihan se-ekstrim itu. Di tengah kita tidak ada sosok yang bisa kita tuduh mewakili Fir'aun secara sempurna apalagi sosok Musa. Jauh sekali kriteria yang ada untuk bisa disematkan secara berani dan pasti. 
Di tengah kita hanya ada orang-orang yang sedang berambisi untuk berkuasa, bukan sedang mengajak pada dakwah kebenaran suatu agama, terlebih kandidatnya memeluk agama yang sama. Kalau masih tetap ingin memaksakannya pula, maka apa yang bisa dikatakan atas petuah sejenis demikian itu hanyalah petuah "pojokan" saja Bang. Petuah yang dikeluarkan hanya untuk memojokkan orang yang tidak didukungnya, tidak lebih". 

Petuah terkait andai hidup di keadaan masa lalu itu sememangnya harus berhenti pada peringatan bahwa tidak gampang mengambil pilihan dalam hidup dan kehidupan. Sekiranya hendak dilanjutpun maka sasarannya adalah sikap bijak, adil, waspada, teliti, cermat dan pertimbangan matang akal pikiran untuk mengambil setiap langkah keputusannya.(.)



Catatan:
*Percakapan antara ustadz dan jamaah diadaptasi dari salah satu status facebook dengan sedikit editing disana-sini.
**Tulisan ini semacam respon ringan untuk status itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!