Benarkah Kita Mengenal Allah? [MariBerceritaSaja-3]

Rencana untuk saling berkunjung dan bertemu lagi, lalu ngobrol bareng model santai yang kadang tersisipkan hal-hal yang sedikit serius itu akhirnya kesampaian juga.

Hari itu, sore sehabis Ashar aku benar-benar telah berada diantara mereka. Setelah sekian bulan kami berpisah di Hamad International Airport Doha, barulah sore itu kami bertemu lagi.

Rumah di bilangan Cengkareng Tangerang yang ditinggali si Adhoen itu mempunyai lingkungan yang bersih dan cukup nyaman. Meski di lingkungan perumahan yang biasanya agak kental dengan sikap cuek dan agak-agak ngga kenal tetangga rasanya tidak bisa disematkan di lingkungan itu, terbukti dari beberapa gang yang masih agak jauh saja nama dan alamat si Adhoen ini bisa diperoleh dengan mudah dan tepat.

Seperti biasanya di setiap awal perjumpaan, kami saling menanyakan kabar masing-masing dan semacam pertanyaan-pertanyaan standar lainnya sebagai pembuka dan pencair susana, apa tuh istilah kerennya, ice breaking yes? mungkin gitulah kira-kiranya.

"Mas, mau minum apa nih. Ane lagi punya stok kopi lanang nih, mau tah?" Si tuan rumah nyeletuk nawarin satu nama kopi, sesuatu yang kata pepatah bagaikan pucuk dicinta ulam tiba. Aku memang penggemar jenis kopi ini, kopi arabica lanang, apalagi yang dari Dampit Malang itu. Biyyuuuhhh muantab poll!

"Waaw sampeyan ternyata kok penyuka kopi lanang juga toh masbrow?! Jenis arabica khan?" Kataku dengan penuh antusias. Jelas sulit bisa nyembunyiin rasa surprise dan senangku sore itu.

"Ane memang selalu nyetok mas, abisnya kata lidah ane suedap muantab. Eh ente mo minum apa Ral?"  Tanggap Adhoen yang sekaligus nanyain Giral.

"Gue bikinin teh tubruk aja Dhoen yang wangi itu ya". Jawab Si Giral yang beberapa saat sudah lebih dulu datang di sana, lebih memilih teh tubruk beraroma melati yang berasal dari perajin teh asal Slawi Tegal. Aroma wangi melatinya begitu segar tercium ketika gelas dan cangkir itu ditaruh dihadapan kami. Kalau aroma kopinya? Jangan ditanya deh!.

Ruangan keluarga yang ada di lantai 2 itu, yang sering dijadikan tempat kongkow dan kajian-kajian kecil beberapa rekan yang sudah biasa ngumpul disana, segera tercium pula aroma asap tembakau dari batang-batang sigaret kami yang terbakar pelan, yang sesekali perlu dijentik lembut untuk merontokkan per-abu-an yang masih menempel di ujung rokok yang tengah berbara itu. Kami memang para ahli hisap yang aktif turut serta dalam lingkaran ekonomi rakyat dan negara kok #ngeles.

"Eh mas Dik, makanya loe sering-seringlah mampir kesini, ngga bakal rugi deh, gue jamin!. Si Adhoen ini tuan rumah yang zen kok. Kadang doi malah nyediain cerutu Cuba segala lho, Ada khan Dhoen?. Eh satu lagi, dia tuh punya banyak pengalaman dan cerita". Cerocos si Giral sambil ngebulin asap sigaret berlabel bold yang berbungkus warna hitam kesukaannya itu.

"Ooh gitu ya? Boleh deh. Setiap mudik ntar aku usahain kesini deh". Jawabku cukup singkat. Barangkali memang, anjangsana kesini boleh juga masuk agenda acara pulang kampung. Apalagi katanya, mereka terkadang mengundang nara sumber atau ustadz untuk kajian-kajian yang sifatnya ilmiah yang terkait dengan pembahasan dalil-dalil naqliyah.

Obrolan tempo hari di bandara Doha itu lantas berlanjut. Adhoen yang berbicara cukup panjang lebar tentang pentingnya memahami ketuhanan dengan benar agar kita tidak terjatuh pada pemahaman yang keliru hingga men-serupakan Tuhan dengan mahluk ciptaanNya. Tentang Dia dan keberadaanNya yang tidak bakal bisa direka-khayalkan sebagaimana apanya Dia. Apapun yang kita pikirkan tentang Tuhan maka sudah bisa dipastikan bahwa Tuhan tidak demikian itu, karena wujud jasadiyah, kebendaan dari kita serta pengalaman pengenalan kita yang selalu bersifat bendawi, lingkup dan cakupan pemikiran kita pasti terbatas pada hal-hal yang terkait dengan kebendaan pula. Tidak bakal bisa keluar dari pemahaman yang bersifat empiris belaka, sementara dzat Tuhan bukan sesuatu yang bisa di-empiris-kan.

Adhoen juga sedikit mengkritisi pendapat beberapa ustadz yang mengatakan bahwa Tuhan berfisik namun seperti apa-nya fisik itu tidak ada satupun mahluk yang menyamainya. Misalnya, pendapat tentang Tuhan yang memiliki tangan. Tangan Tuhan itu seperti apa, kita tidak boleh men-serupakan dengan tangan-tangan yang kita sudah tahu dan mengenalnya. Petikan ayat "Laisa kamitslihi syai'un [QS As-Syura; 42:11]" (tidak ada sesuatupun yang serupa denganNya) ini yang sering digunakan sebagi dasar pijakan.

Apa yang dikritisi Adhoen tentang hal ini adalah, ketidak serupaan itu sifatnya mutlak. Tidak serupa yang mutlak tentu harus menafikan sosok, bentuk dan lain-lain hal yang bersifat bendawi, yang berdimensi, yang terbatas, yang dilingkupi oleh 6 arah; depan-belakang, samping kiri-kanan, atas-bawah, karena jikalau demikian halnya maka yang demikian itu pun sudah penyerupaan meski ada embel-embel tidak sama dengan (bentuk atau sebutan apapun) yang dimiliki mahluk.

Memang sih, ketika kita mengatakan "pemahaman yang benar" seperti pada paragraf sebelumnya itu sebenarnya masih bersifat sangat subyektif. Dan senyatanya memiliki ambiguitas yang relatif kental mengingat siapa berpendapat apa, masih belum bisa dikatakan sebagai pendapat yang paling benarnya, karena tidak ada jaminan kebenaran pada pendapat-pendapat itu. Namun paling tidak, kita bisa mempertimbangkan perangkat akal yang kita miliki untuk membantu proses pemahaman kita kearah yang lebih mendekati kebenaran.

Lebih lanjut Adhoen mengatakan;
"Tentang ustadz yang berargumen dengan ayat Al-quran yang menjelaskan persemayaman Allah pada 'Arsy nya itu tidak lantas bisa difahami secara leter-lyjk bahwa Allah bertempat disana karena secara dalil 'aqliyah akan sulit diterima. Sesuatu yang memerlukan tempat menunjukkan adanya keterbatasan dan ketergantungan, sementara Allah adalah tempat bergantungnya segala sesuatu.
Sesuatu yang memerlukan arah atau yang bisa ditentukan arah dimana keberadaannya adalah sebuah keterbatasan pula.

Perlu diingat juga bahwa apa yang disebutkan dalam surat atau ayat, meskipun terlihat muhkamat namun sangat mungkin bahwa sebenarnya ayat-ayat tersebut termasuk ayat mutasyabihat yang memahaminya tidak bisa sembarangan dan dilakukan oleh sembarang orang pula. Dan bahwa ayat-ayat Alqur'an itu mempunyai makna yang bertingkat-tingkat haruslah dimengerti dan disadari. Lagi pula beberapa ustadz itu tidak selalu konsisten dalam sikap dan argumennya."

"Tidak konsisten yang gimana tuh  Dhoen maksudnya?" Giral menukas untuk lebih meng-klarifikasinya.

"Yang ane perhatiin dari mereka tuh gini, ketika mereka kekeuh dengan keharusan berpegang pada makna teks dari suatu ayat tertentu tanpa adanya tafsir atau takwil, dalam hal ini ayat yang berkaitan dengan persemayaman itu, namun pada ayat yang lain mereka tidak menerapkan kaidah yang sama. Sebagai contoh saja barangkali, pendapat mereka tentang ayat-ayat berikut ini, 

"Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku adalah dekat". [QS Al Baqarah; 2:186]

"Dan Kami lebih dekat daripada urat lehernya". [QS Qaaf; 50:16]

Mereka tidak lagi hanya berpatokan pada makna lahirnya saja sebagaimana yang mereka lakukan pada ayat yang ane sebut terdahulu itu. Makna yang lebih kepada makna tafsiriyah yang kemudian mereka ambil. Bahwa kedekatan Allah itu menjadi kedekatan perangkatNya, yakni para MalaikatNya, IlmuNya atau KekuasaanNya. Karena kalau tidak demikian maka akan bertentangan dengan kesimpulan awal bahwa Allah ada di atas 'Arsy yang sangat tinggi itu". Setelah beberapa helaan nafas kemudian, Adhoen meneruskan kata-katanya;

"Kenapa kok kita perlu bahkan mementingkan banget untuk membahas yang demikian ini, tentang pemahaman ketuhanan, tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memastikan bahwa kita benar-benar menyembah dan mengabdi, beriman pada Dzat Yang Maha Suci dari segala prasangka hambanya. Kita berusaha sebaik dan semampu kita dengan bekal akal yang telah dikaruniakan, lalu jangan melupakan juga untuk belajar pada orang-orang yang berpengetahuan luas. Satu hal lagi yang juga penting, terus bermohon petunjuk padaNya agar terhindar dari kekeliruan dan terperosok pada penyembahan Tuhan hasil rekayasa duga-kira dari angan-angan khayal kita saja." Sejenak Adhoen berhenti dengan kata-katanya.

Ah...tentang apa yang barusan diucap Adhoen ini mengingatkan seloroh seorang kawan yang pernah mengatakan, bahwa besar kemungkinan diantara kita semua ini tidaklah menyembah Tuhan yang sama meskipun mengaku dalam lingkup keimanan yang sama. Bahkan bisa jadi kita malah menyembah dan mengabdi pada hawa nafsunya sendiri-sendiri.

Lalu tentang pentingnya pendaya-gunaan akal itu, Adhoen lebih lanjut mengatakan sembari menyitir beberapa ayat yang berkaitan dengannya;

"Kita mesti ingat pula bahwa di dalam alqur'an ada banyak disebut tentang penggunaan akal, yang redaksionalnya, diantaranya menggunakan kalimat 'menjadi pelajaran bagi kaum atau orang-orang yang berfikir atau berakal'. Pun juga ancaman bagi sesiapa yang tak mau menggunakan akalnya. Mari kita coba perhatikan ayat-ayat berikut ini,

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal". [QS Ali Imran; 3:190]

"Tidakkah kalian mau menggunakan akal kalian?" [QS Al Baqarah; 2:44]

"Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran". [QS Al Baqarah; 2:269]

"...Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan kepada orang-orang yang berfikir". [QS Yunus; 10:24]

"Untuk menjadi petunjuk dan peringatan bagi orang-orang yang berfikir". [QS Ghafir; 40:54]

"Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya". [QS Yunus; 10:100]

dan masih banyak lagi. Rasanya pesan-pesan itu sudah jelas sekali bahwa pendaya-gunaan akal itu memegang peranan yang penting dalam beragama. Memahami lalu mengambil pelajaran dari ayat-ayat Allah baik yang tertulis (kitabNya) maupun yang tergelar di seluruh alam semesta ini, hanya sanggup dilakukan jika orang itu mau menggunakan akalnya. 
Ini semacam tantangan bukan hanya bagi kita pemeluk Islam, melainkan bagi siapa saja yang mau menggunakan akalnya untuk berfikir keras dan bersungguh-sungguh, niscaya akan terbuka baginya cahaya petunjuk yang ingin Ia temukan.

Makanya kadang ane kurang mengerti ketika ada yang mengatakan bahwa dalam beragama tidak boleh menggunakan akal dan logika karena katanya, akan bahaya dan bisa jatuh pada tindakan meng-akal-akali agama. 
Pada hal-hal tertentu yang terkait dengan syari'at atau hukum misalnya, ane sepakat bahwa kita tidak perlu -malahan tidak boleh- lagi memakai akal dan logika untuk bisa menerimanya. Namun untuk perkara lain, apalagi jika perkara itu termasuk yang sangat vital dan berakibat sangat fatal, yakni bisa sebagai penyebab batalnya keimanan tersebab kekeliruan dalam pemahamannya, maka penggunaan akal budi dan logika adalah suatu keharusan. Kita tidak boleh lagi hanya tunduk dan taklid buta pada doktrin dan fatwa yang kita terima itu, sembari meliburkan permanen nalar dan akal kita. 
Apa yang ane maksud dengan perkara vital disini adalah tentang pen-serupaan Allah yang sudah kita singgung di awal perbincangan kita ini". Adhoen menghentikan kata-katanya. Namun sejurus kemudian, sembari menyalakan sebatang sigaret kesukaannya Ia berujar;

"Eh mas brow bentar lagi maghrib nih, mo shalat di Masjid apa mo di rumah aja? Eh ngga ding...baiknya kita ke Masjid aja biar sekalian kasih kesempatan orang rumah untuk beberes. Kita dah siapin makan malam dengan menu spesial...nasi kebuli dengan mbek muda yang so pastinya uuempuk, sedap dan nikmat. Nah setelah ntarnya kenyang, boleh deh kita lanjut lagi ampe pagi ngobrolnya".

Benar saja, belumlah habis kebakar sigaret kami, terdengarlah lantunan azan yang nyaring yang menandakan jarak masjid ke rumah ini tidak terlalu jauh.
Toa-toa masjid yang dipasang mengarah pada 4 penjuru mata angin itu benar-benar memenuhi udara dan atmosfer dari sekitaran masjid hingga menjangkau tempat yang berjarak beberapa ratus meter darinya.

Konon, pemakaian pengeras suara ini bagian dari syi'ar agama yang perlu digalakkan. Namun barangkali ada baiknya juga untuk men-setting volume suaranya dengan 'pas'. Tentu suara azan yang terdengar merdu akan lebih menarik ketimbang suara kenceng berbaur dengan cecemprengan karena tingginya noise yang terproduksi sebagai efek samping. Ah..tapi ya itu sih terserah pengurus dan warga sekitarnya juga gimana yang paling afdholnya.

Dan akhirnya perbincangan kami sementara harus jeda seiring keberangkatan kami bertiga menuju Masjid untuk shalat berjamaah.(...)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!