Efek Jokowi

Edan-edanan?
Barangkali saja, saat-saat seperti sekarang ini kondisinya sudah bisa disebut demikian.

Bayangkan saja. Seorang pemimpin, presiden yang terpilih secara konstitusional dihina, diejek, bisa sedemikian rupa tidak dihargainya oleh orang-orang yang semestinya bisa, sangat bisa bahkan, untuk meski sedikit memberikan rasa hormat padanya. Memang tidak semua rakyat berbuat demikian, tetapi menjadi ganjil juga karena pada saat yang sama memuja-puja mantan calon pemimpin atau malahan pemimpin dari negara lain dengan sedemikian rupa, padahal kalau saja mau mencermati dan lebih open minded banyak hal miring yang telah dilakukan oleh sang pujaan. "Apa itu?"
"Aah jangan pura-pura ngga tahu gitu lah".

Dan keparahannya itu semakin menjadi, lebih ketara lagi ketika asumsi-asumsi, khayalan, halusinasi ikut andil pula dalam hal puja-puja itu.
"Andai saja yang terpilih bukan si pe-meubel ini...tentu tidak akan seperti saat ini keadaannya. Korupsi, penegakan hukum, tata kelola negara, ekonomi dan lain-lain problematika negara akan terbenahi dengan baik. Akan disikat habis tuh para pencoleng" 

Atau narasi lain...

"Coba kalau saja tuan yang mulia sultan Erdogan itu yang memimpin negara kita...sudah pasti maju negara dan peradaban kita dan diberkahi Tuhan." (What? Mungkin...mungkin saja malahan...di sepetak tanah negeri ini akan ada kantor wakilnya pak Nyahu #eh)

Figur pujaan itu seolah jelmaan seorang super-superhero atau mungkin pesulap yang kalibernya tak terdefinisikan bahkan oleh praktisi supra-natural sekalipun.

Lalu, sebenarnya, tahu dan yakinnya bahwa sang figur pujaan itu akan mampu menuntaskan segala carut-marut yang terwariskan berpuluh tahun itu apa sih indikasinya? Program dan skema kerja yang seperti apa dan orang-orang yang seperti apa yang harus mendampingi sang superhero itu untuk bisa mewujudkan mimpi basah besar itu? Tak lebih -menurut saya sih- ya asumsi atau khayal yang kelewat melip melambung.
Utopia belaka akibat sesaknya dada karena terpilihnya Jokowi.

Dan efek Jokowi tidak berhenti disitu saja.

Dulu, orang menyikapi suatu kondisi atau apa saja yang kurang mengenakkan dirinya yang biasa juga disebut dengan takdir itu dengan ber-perilaku ikhlas. Bisa menerima keadaan sedemikian positifnya dengan ungkapan-ungkapan keikhlasan yang sudah sangat jamak
"Kita sebagai manusia bisanya hanyalah berusaha saja. Tentang ketetapannya hanya Allah yang berkuasa atas segala sesuatu. Kita berencana, Allah yang menentukan. Dan skenario Allah lah yang terbaik buat kita. Karena Allah maha mengetahui apa yang kita butuhkan. Kita ambil hikmahnya saja."
Sangat indah bukan?

Tapi ungkapan indah itu sudah dilupakan sebagian orang ketika kenyataannya pak Jokowi yang menjadi pemimpinnya. Mestinya dengan merujuk pada ungkapan yang sudah populer itu, terpilihnya pak Jokowi juga bagian dari skenario Allah, yang terbaik yang dipilihkanNya.

Atau barangkali saja -dalam kasus terpilihnya pak Jokowi- kita sedang beranggapan bahwa ianya bukanlah sebuah Ketetapan dan "skenario" dari Tuhan yang katanya selalu terbaik buat kita itu? (Pening lah pala ane)

Efek Jokowi ini ternyata bisa kemana-mana ya bermuaranya.

Baiklah, karena begitu sulitnya untuk bisa menerima dan mengenali hal baik yang sudah dan sedang dikerjakan pak Jokowi dan kabinet kerjanya pada hari-hari ini karena tertabir tebal oleh hal "buruk" yang telah dikerjakan (pengalihan pencabutan subsidi, perppu ormas, PT 20%, menambah utang hingga 1000an trilyun dan lain-lainnya) serta kondisi sulitnya ekonomi, sehingga menjadi sebab penyebutan pak Jokowi adalah musibah bagi Indonesia, misalnya.

Maka bentuk sikap sabar atas "takdir" yang perlu diambil tentu saja adalah introspeksi diri. Perlu konsisten juga pada sikap baik yang selama ini sudah kita yakini dan praktekkan itu atas segala sesuatu yang sudah terjadi, legowo saja pada takdir, pada apa yang Allah berikan yang tentu ada hikmah-hikmah di sebaliknya. 

Mari lihat Papua yang tengah digarap sang presiden secara massive, kerja besar pembangunan infra strukturnya, penyamaan (merasionalkan) harga bbm dan lain-lainnya sebagai wujud dari pengamalan sila ke 5 dari Pancasila hingga dengannya, mudah-mudahan niat kuat mereka pingin pisah dari NKRI bisa menjadi reda bahkan hilang dari benak mereka. 

Tentu kita juga ingat bahwa selalu ada sisi baik dari segala sesuatu, tinggal kitanya saja yang menetapkan pilihannya, mengkorek-korek hal buruk yang malah menjadi kontra produktif atau menebar rasa optimisme yang tinggi bahwa sang garuda suatu saat bisa terbang tinggi menjelajah awan-awan kegemilangan. NKRI bisa berdiri tegak sejajar dengan bangsa dan negara lain di dunia ini. Semoga.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!