Puasa dan Wudhlu, Sebuah Ikhtiyat Pribadi

Sempat terjadi udur alias debat kecil dengan seorang kawan tentang wudhlu ketika sedang berpuasa. Beliau tetap melakukan wudhlu secara "normal" atau kalau meminjam istilah yang lagi nge-trend dan populer saat ini, WTP alias wajar tanpa pengecualian. Bukan Wasuki Tjahaja Purnama lho.

Maksud dari normal disini adalah berwudhlu lengkap berikut sunah-sunahnya, tidak hanya rukunnya saja. Dari semua sunah wudhlu ada satu hal yang paling kritikal ketika kita sedang berpuasa. Kumur-kumur. 

Kenapa kumur-kumur kritikal? Karena air yang sudah berada di dalam mulut tentu telah bersinggungan dengan semua isi yang ada di dalamnya. Gigi, gusi, lidah, langit-langit bahkan komponen-komponen penghasil ludah. Yang sangat mustahil air tersebut bisa dikeluarkan secara sempurna hanya dengan diludahkan, jumlah air yang dimasukkan ke dalam mulut bisa sama dengan jumlah air yang dikeluarkan dari mulut. Contoh kecil saja ketika membasuh tangan misalnya, air yang kita coba usap dengan tangan lainnya selalu saja masih ada yang tinggal. Ia hanya bisa bersih total ketika dilap dengan tissue atau kain/handuk. 

Mempertimbangkan hal di atas, sebagai bentuk kehati-hatian -ikhtiyat- bagi saya pribadi akhirnya memilih meninggalkan sunah wudhlu berupa kumur-kumur ini. Saya cenderung memilih WDP, wajar dengan pengecualian, karena jika rukun wudhlunya tidak ada yang terlewatkan maka wudhlunya tetap sah menurut fatwa ulama. 

Pada lain kesempatan, saya pernah bertemu dengan orang-orang yang begitu saklek-nya ketika berurusan dengan per-airan ini. Mereka sangat berhati-hati, bahkan ketika membasuh mukapun sesegera setelah ritus wudhlu itu selesai dilakukan mereka bersegera me-lap sisa air yang ada di muka terkhusus yang menempel di bibir sebersih-bersihnya dengan media kain, bisa handuk, lengan baju atau tissue. Mereka sangat khawatir akan adanya kemungkinan air itu masuk ke dalam mulutnya. Mereka beranggapan banyak atau sedikitnya jumlah air yang akan tercampur dengan komponen dalam mulut -terlebih dengan ludah- yang selanjutnya bisa tidak disadari masuk ke dalam tubuh, tetap saja akan membatalkan puasa. 

Lalu apakah ada fatwa tentang berkumur ketika sedang berpuasa?

Fatwa berkaitan dengan permasalahan ini sudah ada, yang bisa dilihat di sini. Fatwanya membolehkan melakukan kumur ketika wudhlu meski sedang berpuasa. Jikapun ada air yang bukan karena unsur kesengajaan lalu tertelan ianya tidak membatalkan puasa. Bahkan di situs itu disebutkan juga berkumur tetap diperbolehkan meski tidak dalam rangka berwudhlu. Dan tetap pula tidak membatalkan puasa. 
Dan kawan saya itu sudah merujuknya dengan baik. Jadi tidak ada masalah. Udur yang telah terjadi itu hanyalah sebentuk perbedaan sikap dalam praktikal sehari-hari. 

Kasus kecil ini sebenarnya telah menjelaskan kepada kita bahwa dalam praktik beragama pun ternyata selalu ada pilihan bagi kita untuk melakukan mana yang lebih maslahat buat kita pribadi. Tersedia berbagai alternatif pilihan yang sudah ada back up fatwanya. Tinggal keputusan mana yang hendak dipakai mutlak berada pada kita sendiri. Jika andaipun ternyata keliru toh bukan kita sendiri saja yang menanggungnya, tentu ulama ahlul fatwa itu juga punya tanggung jawab atas fatwanya. 

Apakah buat kita aman-aman saja? Yaa mudah-mudahan...InsyaAllah.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!