Mempertentangkan Dua Wajah?

Dua pengalaman -paling tidaknya- yang telah terjadi pada kurun tiga tahun belakangan ini tidak berharap terulang. Head to head dalam pilkada dan pilpres yang lalu benar-benar menyebabkan terbentuknya dua kubu yang masih saja terus bertentangan. 

Pingin rasanya pada setiap helatan pemilu, kontestannya lebih dari dua pasang calon dan bisa selesai dalam satu putaran saja. Karena jika masih berlanjut ke putaran berikutnya maka cerita dua wajah yang saling bertentangan yang berbuntut pada perseteruan hampir bisa dipastikan akan terulang. Perseteruan yang susul menyusul dan membuang banyak energi positif serta kontra produktif dari segala topik yang bisa dimunculkan, berlangsung terus hingga datang waktu pemilihan berikutnya.

"Apakah mungkin?" Ya sulit memang!. 

Namun ada hal yang bisa diupayakan oleh seluruh anak bangsa baik sang kontestan maupun para pendukungnya demi tetap menjaga keutuhan bangsa dan negaranya adalah, begitu selesai seluruh rangkaian pemilu selesai sudah segala perbedaan dan perselisihannya lalu dengan sikap yang legowo, mau dan sanggup untuk menerima hasil pemilihan itu dengan ikhlas. Lalu bersama-sama kembali pada tujuan dimana diadakannya pemilihan itu adalah untuk melanjutkan cita-cita mulia berbangsa dan bernegara. Tentu ada yang tidak boleh pula dilupakan adalah dalam proses kontestasi politiknya, sejak dari masa kampanye hingga ke bilik suara tidak menggunakan cara-cara yang terlarang dan segala bentuk kecurangan.

Pengalaman pahit yang masih terasa hingga kini, kubu-kubuan itu masih jelas tergambar. Dua wajah itu masih terus diupayakan untuk tetap bersitegang. Lihat saja narasi-narasi yang coba dibangun yang sulit untuk tidak dikatakan sebagai bentuk delegitimasi terhadap pemerintahan. Narasi dan tudingan oleh beberapa tokoh dan yang dianggap tokoh oleh masyarakat bahwa di ring 1 istana sudah disusupi kader partai terlarang PKI bahkan tudingan itu berlaku pula terhadap pribadi RI 1 sekalipun, yang bisa kita saksikan videonya yang diunggah di youtube.

Atau tentang tudingan kriminalisasi terhadap tokoh masyarakat, petinggi lembaga atau mantan petinggi lembaga yang "kebetulan" namanya disebut dalam persidangan atau tersandung oleh sebuah kasus misalnya. Apa yang sedang berusaha diungkap oleh para penegak hukum pun ditafsirkan sebagai upaya pemerintah dalam memberangus, membungkam, pembunuhan karakter, pembusukan, balas dendam dan lain-lain atribut pada para "vokalis" atau tokoh penting yang "kebetulannya lagi" tengah berseberangan. Tudingan sebagai "ah itu hanyalah kasus pesanan" atau "ah itu khan politisasi kasus saja" terus digaungkan. Hingga bukti temuan adanya penyimpangan seolah tidak perlu digubris, yang paling penting yang harus segera di-amplitude dan disebarkan secara luas adalah perlunya pemahaman khalayak umum bahwa kasus yang ada itu adalah rekayasa dari penguasa belaka.  

Jika masih saja terus berkutat dengan hal-hal yang demikian maka akan sulit berharap negara dan bangsa ini bisa mengejar ketertinggalannya. Sulit untuk memenuhi amanat dan menuju cita-cita mulia para pendiri negara, para founding fathers kita bahwa kemerdekaan dan berdemokrasinya bangsa dan negara ini hanyalah bertujuan untuk kesejahteraan bersama.  

Dua wajah, kalau bisa disederhanakan demikian, dalam kehidupan berdemokrasi adalah keniscayaan. Satu wajah sebagai pengemban amanat satu wajah lainnya sebagai pengontrol agar dijalankannya amanat itu dengan benar. Pengemban bekerja keras mewujudkan cita-cita luhur. Pengontrol memberikan kritikan dan masukan agar menjamin terpenuhinya cita-cita. Bukan malah nyinyiran yang justru melemahkan dan menjauhkan cita-cita itu dari jangkauan tangan-tangan yang bekerja. 

Para -yang semestinya- pengontrol itu sudah seharusnya segera mengakhiri setiap upaya mempertentangkan wajah-wajah itu. Apalagi jika salah satu dari wajah itu adalah wajah ber-make-up kan agama dan SARA, benar-benar permainan yang sangat berbahaya. 

Wajah-wajah kita memang sudah seharusnya dihadapkan pada satu arah yang tepat...untuk menatap dan menyongsong masa depan yang lebih baik. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!