Hak Angkut Angkot dan Angket DPR
Teringat dulu ketika seorang
kawan baru membeli angkutan kota alias angkot yang STNK dan perijinan trayeknya
sedang dalam pengurusan.
Karena masa tunggunya yang cukup lama, si kawan tidak sabar lebih
lama lagi untuk segera narik. Lalu malam itu dia paksakan untuk keluar ngider
nyari penumpang setelah pulang gawe. Maklum si kawan ini termasuk tipe
orang yang ngga bisa diem.
Dengan plat nopol bikinan, yang dipesen di tukang bikin plat itu,
acara narik dimulai bahkan sejak keluar dari komplek perumahan. Wah jelas ini
pelanggaran. Satu, pelanggaran penggunaan kendaraan tanpa surat. Kedua,
pelanggaran terhadap ijin trayek. Ketiga, pelanggaran wilayah operasional.
Nekat.
Sampai di pusat kota kita masih aman-aman saja, dan beberapa
penumpang berhasil kita antar sampai ke tujuan. Kebetulan mereka hanya sampai
pusat kota saja perginya. Masalah baru muncul ketika melewati sebuah pos
polisi, yang tak dinyana salah seorang polisi itu begitu awas dan sangat
teliti.
Kita menduga pak polisi yang awas dan teliti itu tahu persis
pelanggarannya. Dan pemakaian nomor seri polisi yang asal bikin itu menjadi
petunjuk buat beliau untuk menindak pelanggarannya. Tentu pak polisi paham
betul serial nomor yang digunakan itu memiliki kode baku tertentu. Tidak
mungkinlah untuk sebuah mobil baru memakai kode lama. Makanya kenapa pak polisi
itu sigap, beliau langsung berjalan cepat ke arah rute yang mau kita lintasi.
Si kawan ini ternyata cukup cerdik. Dengan alasan mau menepi
dengan memberikan kode ke pak polisi, lalu secara mendadak tancap gas dan
kabur. Beruntung polisi tidak mengejarnya, mungkin karena merasa ngga cukup
waktu lagi untuk ambil motor. Pengalaman kurang baik ya?!
Cerita di atas hanyalah contoh tentang penggunaan hak yang kurang
menepati aturan, hak angkut dan hak pakai kendaraan, kalau tidak tega menyebut
sebagai pelanggaran.
Hak Angket
Nah kini, hak angket DPR yang beberapa kali sebelumnya telah
dicoba untuk digulirkan namun tidak ada hasil, saat ini juga sedang diupayakan
lagi. Bukan bermaksud membandingkan dengan cerita di atas, namun ada sedikit
kesamaan pada kelayakannya, ketepatannya.
Hak angket anggota dewan ini powerful yang bisa
dipakai untuk tidak sekedar mempertanyakan, menyelidiki atau menegur. Ianya
bahkan bisa digunakan untuk pemakzulan presiden jika bukti pelanggaran terhadap
undang-undangnya kuat.
Hak Angket yang sedang dibuat ini berkaitan dengan aktifnya
kembali Gubernur DKI pasca berakhirnya cuti untuk kampanye. Padahal saat ini
yang bersangkutan, BTP sedang dalam perkara dengan status Terdakwa.
Empat fraksi (Demokrat, Gerindra, PAN dan PKS) sudah sepakat
dengan jumlah penanda tangan sebanyak 90 orang per tadi malam (13 Feb 2017)
dengan komposisi:
Demokrat 42 orang, Gerindra 22 orang, PAN 10 orang dan PKS 6
orang. Dan masih berpeluang akan lebih banyak lagi yang mendukung. Tentu ini
sudah memenuhi syarat untuk dibawa ke sidang, karena aturan menyebutkan, usulan
harus diajukan oleh lebih dari 1 fraksi dengan minimal 25 orang pengusul.
Pemrakarsa menilai bahwa pemerintah (Mendagri/Presiden) telah
lalai dan menerapkan standar berbeda terhadap penyandang status terdakwa yang
itu termasuk pelanggaran terhadap undang-undang tentang pemerintahan daerah UU
No 23 tahun 2014 pasal 83.
Dicontohkan misalnya, penon-aktifan gubernur SumUt Gatot Pujo
Nugroho, karena sebagai terdakwa tindak pidana korupsi. Atau gubernur Banten
Ratu Atut yang juga kasusnya berkaitan dengan skandal korupsi. Dan kepala
daerah yang lainnya dengan kasus terkait uang.
Berikut ini undang-undang yang dimaksud oleh pengusul yang telah
dilanggar oleh pemerintah
UU No 23 Tahun 2014 Pasal 83 Tentang Pemerintahan Daerah
Ayat (1)
”Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan
sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindakan pidana
kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak
pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan
negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.”
Ayat (2)
”Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang menjadi terdakwa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan sementara berdasarkan register
perkara di pengadilan.”
Beberapa fraksi tidak sepakat, diantaranya PDIP, Golkar, Nasdem
dan Hanura, untuk menerbitkan hak angket tersebut karena menilai ada cara lain
untuk penyelesaiannya. Pun juga berbeda dalam tafsir terhadap undang-undang di
atas. Karena BTP saat ini dalam persidangannya tidak dikenakan pasal pada UU di
atas itu, melainkan Pasal 156 dan 156(a) Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) jo pasal 28 ayat (2) Undang-undang No 11 tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik (ITE) yang berbunyi:
(Pasal 156)
"Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan
informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan
individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama,
ras dan antar golongan (SARA)."
(Pasal 156(a))
"Dipidana penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa
dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan
perbuatan,
a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah gunaan
wewenang atau penodaan terhdap suatu agama yang dianut di Indonesia.
b. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun
juga, yang beesendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perbedaan cara melihat dari kedua sumber hukum di atas itulah
kenapa hari ini anggota dewan masih berpolemik.
Menarik untuk mencermati kasus ini, kenapa pemerintah,
Mendagri/Presiden, tidak memberlakukan tindakan penon-aktifan gubernur BTP
karena statusnya itu? Kenapa beberapa fraksi ngotot untuk menerbitkan hak
angketnya? Dan kenapa pula fraksi Demokrat penyumbang terbanyak penanda
tangannya? Adakah unsur dukungan ataupun sebaliknya, upaya penjegalan, pada
salah satu paslon?
Sangat mungkin pertimbangan itu berasal dari jenis pidananya yang
tidak menepati tuntutannya. Kalaupun dipaksakan maka jenis pidana yang disebut
paling akhir pada ayat (1) UU No 23 th 2014 pasal 83 itu:
dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Boleh jadi apa yang telah dilakukan BTP bisa dikategorikan ke arah itu, tapi jelas masih debatable. Karena kasus penistaannya saat ini masih belum diputus hakim. Itupun juga jika dinyatakan salah dan pidana kurungannya divonis maksimal, yaitu 5 tahun.
Nah, menarik memang menunggu apa yang akan dilakukan para politisi senayan dan bagaimana pak Presiden mengambil langkah konkrit penyelesaiannya.
Apakah permainan caturnya kali ini juga cantik? Dan selesai dengan
indah?
Atau malah benar-benar jatuh seperti banyak orang menginginkannya?
Kita tunggu kelanjutan pertarungan yang menarik ini untuk melihat
kesudahannya seperti apa.
Btw, adalah menarik untuk mengikuti terus kasus Ahok BTP ini,
karena senyatanya kita bisa banyak belajar. Tentang hukum dan persidangan,
intrik-intrik politik yang terkait, tentang bigot dan demagog yang
terus berulah dan merongrong negara, tentang sikap kenegarawanan para tokoh,
para agamawan yang terjebak berafiliasi dengan politisi, bahkan sampai ke
curcol-curcol ndeso dari orang yang seharusnya menjadi
tauladan.
Salam hak angkut angkot dan angket.
Komentar
Posting Komentar