Mencari Pemimpin Muslim, Sebuah Catatan Buruh Migrant

Benarkah kita ini sedang bersungguh-sungguh hendak mencari pemimpin muslim yang tangguh, pilih tanding dan mumpuni, yang memenuhi kriteria? Meski tidak semua kriteria itu tentu saja bisa terpenuhi sih.

Maaf kata, kesannya menjadi seperti tidak serius, manakala penentuan siapa yang dimajukan dalam pil-pil  itu kita pasrahkan sepenuhnya pada partai politik. Lalu kita hanya bisa menunggu dan bersetuju saja dengan segala pilihannya. (Kita dalam konteks ini, terlebih adalah para penggede ormas atau orang yang punya massa, yang suaranya banyak didengar orang)

Kegetolan 
yang telah diperlihatkan sejauh ini dengan meneriakkan kata-kata agung dan himbauan tegas karena berlandaskan kitab suci "Pilihlah hanya calon pemimpin yang muslim", menjadi sumir, menjadi abu-abu. Tidak jelas.

Sudah menjadi pengetahuan umum jika berurusan dengan partai politik maka mau tidak mau akan ada kontrak politik, ada transaksi, ada kesepakatan yang mesti dibuat, ada kompromi-kompromi yang sulit dihindari.  Yang lalu bisa berakibat pada ketidak leluasaan nantinya dalam mengatur segala urusan terkait pasca pemilihan.

Partai politik itu basis "berpikirnya" adalah kalkulasi kepentingan yang oleh karenanya tidak bisa diharapkan konsistensinya. Bukti terang benderang tentang konsistensi parpol ini bisa dilihat dari Pil-pil yang bertebaran di pelosok negeri. Saat di Jakarta begitu tegas menolak dan mempermasalahkan yang tidak seiman, namun di wilayah yang lain berada dibalik pengusungannya.

Memang dalam sistim kita seperti sekarang ini biaya yang harus dikeluarkan untuk helatan pil-pil itu tidak sedikit. Tidak banyak yang mempunyai kesanggupan untuk itu. Makanya parpol-parpol itulah yang mem-backup dananya.

Tetapi jikalau kita memang hendak menginginkan yang ideal, tentu harus berani membuat sesuatu yang berbeda. Bukankah dalam sistim kita ini dimungkinkan untuk menggunakan jalur independent?

Upaya Teman Ahok tempo hari yang berinisiatif mengumpulkan KTP lantaran Ahok terancam tidak ada parpol yang mengusungnya itu bisa dijadikan model. Lha masa sih militansi kita tidak bisa sekuat mereka, padahal pertimbangan mereka hanyalah kompetensi yang bersifat duniawiah. Sedangkan kita ini sedang memperjuangkan sesuatu yang sangat penting, karena faktor kompetensi dalam keagamaan ikut menjadi persyaratan, bahkan wajib? Lalu bukankah kita sudah sering teriak "Ini amanat yang diserukan dalam Alqur'an"?.

Pilgub DKI saya kira bisa menjadi contoh yang sangat jelas tentang seberapa besar kesungguhan itu.
Bagaimana bisa dibilang serius jika kandidat yang muslim masih terbelah. Mana mungkin bisa berharap perolehan suara lebih besar dari hasil quick count saat ini, sementara suara pasti terpecah?

Karena seperti yang awam ketahui, bahwa pemilih yang ada pada paslon no 2 itu heterogen banget. Banyak rekan muslim kita yang berada disana. "Mereka munafik!" Ah sudahi sajalah hujatan dan makiannya itu, kita rasanya tidak pantas men-justifikasi seperti itu. Mereka juga punya cara pandang yang tentu saja bisa dan berani mempertanggung jawabkannya.

Tugas yang lebih penting itu adalah menemukan sosok terbaik. Dan ini bukan tugas mudah yang semua orang bisa melakukannya, tidak menjadi tepat jika awam yang menentukan. Para ulama dan tokoh-tokoh ormas yang suaranya "gedhe-gedhe" itu yang mempunyai kewajiban.

Saat sekarang ini hanya bisa menunggu kiprah ulama dan para penggedhe itu untuk berusaha dan berbuat lebih lagi hingga berhasil menemukan atau malah membentuk sosok idaman itu. Jangan pernah lagi memasrahkan urusan penting ini, jangan pernah lagi bergantung dan hanya menurut saja sama keinginan partai politik.

Semoga saat itu tidak lama lagi, pada helatan Pil-pil yang akan datang kita sudah mempunyai jago yang dengan bangga dan antusias kita mendatangi bilik-bilik suara untuk memenangkannya. Semoga.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!