Belenggu Frasa

Belasan tahun sudah, bahkan lebih, aku merasakan seperti terbelenggu, kesrimpung oleh frasa yang kuat. Frasa yang membatasi setiap gerak, mengurung keberanian untuk menalar dan mengkritisi dengan akal dan pikiran yang telah dikaruniakan.

("Eh sebentar, apa tuh kesrimpung?"
Kesrimpung itu keiket kakinya, seperti ayam keiket atau diikat biar ga kemana-mana. Terlalu udik dan primitif istilahnya ya? Ah biarin aja).

Belenggu yang kukuh itu berselubungkan peringatan dan ancaman, yang ujung dari semua itu sangsinya bisa begitu keras dan berat.."tapir ente..!" Bisa di-stigma-kan kafir. Sebuah ujung yang sangat mengerikan bukan?. Lalu diam menjadi sebuah pilihan "logis" meski segumpal rasa tak puas itu tetap menempati sebagian rongga dada.

Belenggu frasa itu tentang ketinggian maqam serta "keagungan" yang disematkan kepada ulama, secara keseluruhannya. Meski banyak juga yang berpendapat bahkan termasuk dari pihak ulamanya sendiri yang mengatakan akan adanya ulama-ulama suu', ulama buruk "rupa" karena beberapa faktor. Tak kurang Habib Riziek Shihab, pemimpin tertinggi FPI pernah mengatakan sekaitan dengan hal itu. Lalu menjadi lebih kuat lagi frasa itu ketika dibarengi dengan untaian kalimat yang menjatuhkan mental dan keberanian untuk sekedar mencoba kritis, menempatkan ke-awam-an kita pada posisi yang sangat bertolak belakang, sangat jauh di bawah dengan yang disebut di awal itu "Siapalah kamu ini, belajar dan mengerti agama masih secetek itu mau sok-sokan mengkritisi ulama?! Belajar lagi gih sono...yang bener ya!"

Bahkan, masih belum hilang dari ingatan ketika beberapa bulan yang lalu seorang yang dikenal sebagai da'i dan ulama muda yang sangat populer itu, sembari terisak beliau mengatakan dalam rekaman videonya yang heboh, katanya:
"Sesalah-salahnya ulama itu adalah sebenar-benarnya kita"
Kelar deh idup loh, mo nyoba ngelawan...menyelisihi?

Dan frasa itu serta beberapa yang enggan saya tuliskan di sini, pada gilirannya telah sanggup menutup dan membungkam rasionalitas untuk sekian waktu. Kebungkaman itu bisa berwujud pasrah, sudah keniscayaan atau berupa tahu diri merasa belum nyampe pemahamannya.

Ketika pada suatu kesempatan mencoba berdiskusi dengan seorang kawan tentang "kejanggalan" teks yang bisa membuat pemahaman yang keliru dan itu fatal sekali, karena berpotensi ke arah personifikasi Tuhan. Tuhan yang terbatas oleh ruang dan waktu, Tuhan yang berjisim atau bertubuh.  (Notekejanggalan bertanda kutip adalah kejanggalan berdasar subyektifitas) 

Awalnya berharap bahwa sok-sokan kritis itu memperoleh respon yang cukup dan terus terang ingin berbagi rasa gundah (hahaha golek konco) tentang teks itu. Namun jawaban yang mengalir dari kedua bibir sohib itu sungguh makjleb. Sambil, sepertinya, menahan sesuatu yang cukup berat ia berujar..
"Kalau saya dalam memahami teks itu ketika sudah divalidasi oleh ulama, saya meyakini kebenarannya sama seperti saya meyakini kebenaran bahwa 1+1 itu sama dengan 2."
"Ooooh..." hanya kata itu yang sanggup keluar dari bibirku sebagai respon baliknya. Dan diskusipun akhirnya harus dihentikan beralih pada tema-tema yang bisa berhaha-hihi.

Masih belum kapok. 
Di kesempatan lain dengan orang yang berbeda kembali membuka wacana itu, dan respon yang diberikan kurang lebihnya juga sama namun dengan ungkapan yang berbeda.

Dua kali kesempatan itu akhirnya saya harus menyudahi saja upaya-upaya itu karena senyatanya tidak semua berani dan bersedia diajak bersinggungan dengan hal-hal demikian. Banyak yang mencukupkan diri dan berhenti, ikhlas menerima bahwa itu keyakinan yang harus dipercayai. No more question, Selesai.

Dengan adanya kondisi yang demikian maka kekritisan itu akhirnya bersifat personal yang berguna untuk keperluan pribadi dalam upaya mencari kebenaran hakiki. Yang tentu saja untuk memperoleh jawabannya haruslah ke orang yang mumpuni. 

Belenggu frasa itu meski tidak semua merasa atau (mungkin) dirasa sebenarnya memang ada. Hanya problemnya terletak pada keberanian untuk menggunakan rasionalitas yang kita punya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!