Secangkir Kopi Pahit

Kopi tanpa gula yang saya seduh malam ini terasa memberikan sensasi rasa berbeda. Pahit memang. Tetapi di setiap akhir kepahitan itu ada sejenis rasa yang sulit dideskripsikan. Sulit menemukan kata yang bisa mewakilinya. Ketika saya paksakan menamainya rasa itu dengan manis yang unik misalnya, belum tentu juga orang lain bisa sepakat. Setiap orang pasti berbeda. Karena sifatnya yang sangat personal. Apa yang dirasakan lidah itu mempunyai referensi sendiri pada masing-masing pengalamannya. Saya berkeyakinan tidak semua orang mempunyai penafsiran yang sama meski sama-sama sedang menyantap semangkuk soto misalnya. Jika sepakat bilang enakpun tentu enak menurut tafsirnya masing-masing.

Kopi pahit yang saya cecap dan nikmati setiap kali melewati bibir ini, menemani obrolan santai dengan seorang kawan malam ini yang bertandang ke rumah.

Obrolan yang ngalor-ngidul itu tentu saja tak pernah bertema, seperti malam-malam yang sudah-sudah itu juga, tetapi bisa saja mendadak berbelok menjadi sesuatu. Menjadi semacam perenungan. Melihat ke dalam dan lalu dengan bahagia sentosa menertawakan diri sendiri.
"Betapa kita ini...eh maaf saya...sebenarnya kosong melompong tanpa isi." gumamnya agak lirih, yang lalu dilanjutkan "Seringnya...kalau tidak mau menyebut selalu tetap...masih sebatas teori, sebatas definisi-definisi, sebatas kata-kata saja. Ketika apa yang kita lakukan dalam keseharian belum mencerminkan perilaku sholat misalnya, atau apa yang kita sudah tahu itu, namanya ya kosong tak bernilai. Bukti...bukti...kita hanya perlu bukti. Finally...totally fail"

Ah...apa yang dia omongkan itu pahit. Pahit bukan saja bagi dia...pun itu juga buat yang sedang asik dari tadi mendengarnya. Itu tamparan yang cukup membuat bekas yang dengan bekasnya itu, seperti rasa manis unik di setiap ujung kepahitan secangkir kopiku, bahwa selalu ada harapan kebaikan di setiap kepahitan yang kita rasakan. Semoga.

[SecangkirKopiPahit]