KOLORPUL Itu Juga COLORFULL

Menuliskan cerita ketika masih jadi bocil? When I were a Boy or Kid?...wah banyak yang bisa dituliskan sebenernya tapi mungkin bagian bagian yang terlalu personal...semacam rahasia dapur gituh...ya sulit untuk diceritakan. Rahasia!

Antara episode episode sedih dan gembira itu silih berganti datangnya. Bahkan sesekali pernah dua kondisi itu bisa hampir berbarengan. Ah tapi itu biasa...semua orang juga mungkin mengalami hal sama.
Senangnya dikasih hadiah baju dan celana apalagi menjelang lebaran itu sangat mengasyikkan...dah pol-polan senengnya...tetapi kalau diikuti kata kata tajam mengiris itu juga meninggalkan bekas...ah sudahlah itu masa yang telah lewat jauh.

Satu cerita yang tak pernah bisa kulupakan itu ketika kelas 2 SD awal. Bersepeda dengan kakak pake onta aku duduk di depan di batang palakan sepeda yang jarak dagu hanya sekian sentimeter saja dari setir. Begitu dekat.
Saat itu di tengah perjalanan tiba tiba kakak maksa aku nyetir padahal dia tahu kalo aku belum bisa. Di jalanan desa antara Tegalsari - Karang Gebang yang diapit pagar hidup di kiri dan pagar tembok di kanan, sepeda yang terpaksa kusetir beberapa kali oleng.

Ketika oleng ke kiri masih beruntung kakak berhasil menangkap lagi setir dan si onta berikut penumpangnya selamat. Namun kali kedua si onta oleng...kakak gagal menjalankan aksi heroiknya. Si onta dan penumpangnya tersungkur karena ban depan keburu mencium pagar tembok. Yang paling apes si bocil yang duduk di depan....bibirnya jontor dan berdarah...tidak hanya itu...dua gigi depanya ikut jadi korban ketika setir beradu dengan mulutnya. Dua gigi depan itu berubah bentuk menjadi sepasang mirip mirip taring yang akhirnya kebawa sampai sekarang dan menjadi ciri khas oleh-oleh masa bocil. Hiiiii.

Seperti bocil lain...namanya koceh, bermain air...mau yang hanya sekedar seluncuran di lantai saat ngepel lantai Langgar atau musholla atau renang gaya anjing klelep di sungai atau blumbang sekalipun itu hampir pasti jadi favorit.

Satu sungai yang menjadi langganan untuk dijajagi dan dislulupi ya Kali Keyang...salah satu sungai cukup besar yang tidak jauh dari rumah Ayah. Setiap hari...hampir setiap pulang sekolah acara koceh pasti terus diulang. Dan itu harus lolos dulu dari ancaman samblekan ayah yang keras melarang menyungai...ah Ayah kayak ga tahu aja ya asyiknya main air dan pasir itu. Bagaimana serunya kita bikin istana pasir atau sekujur tubuh dibaluri pasir halus yang menyisakan hanya tinggal mata saja...wow itu seperti monster di pilem tv itu. Imajinasi kita bekerja...berakting kayak di pilem...saling kejar sesama monster...lalu barengan lompat ke air yang lebih dalam....seruuuuu seru.

Tapi emang bahaya juga sih main di sungai yang cukup besar dan mengular yang diawali dari sumber mata airnya dari gunung sebelah timur itu...dari deretan gunung di jajaran gunung Bayangkaki di kawasan Ponorogo timur.
Ketika musim hujan khususnya...bisa saja mendadak airnya pasang. Air berwarna kecoklatan yang tingginya dua tiga meteran yang membawa serta pasir dan apa saja yang diseretnya itu datang sedemikian cepat...bergulung. Sangat beruntung saat itu kami sudah keluar dari air dan berada di atas tebing sungai. Kami hanya bisa melongo melihat dahsyatnya banjir itu datang. Ngeri.
Lalu menjadi kapok? Ya ndak...kami malah belajar dari tanda tanda alam...kami jadi bisa pilih-pilih waktu yang tepat. Bandel kamu ya! Ya namanya juga anak anak.

Keunikan lain dari Kali Keyang...konon dulu katanya angker. Banyak tutur yang menceritakan seremnya Jembatan Keyang. Pernah di tengah malam seorang bapak bersepeda melintasi jembatan itu lalu dilihatnya seekor induk ayam dengan beberapa ekor anaknya yang mengiringi. Merasa nemu...dengan gembira bapak itu turun dari sepeda dan menangkapnya. Kegemberianya seketika berubah menjadi ketakutan karena ayam di tanganya telah berubah menjadi sebuah tengkorak manusia. Ah cerita itu sempet menyiutkan nyali setiap kali lewat jembatan itu.

Selain cerita, jembatan Kali Keyang memendam sebuah sejarah masa lalu. Jembatan ini pernah dijadikan tempat pembantaian orang orang komunis dan sungai serta pasir dibawahnya menjadi kuburannya. Orang orang yang "terlibat" paham komunis dari daerah selatan Ponorogo seperti Slahung, Bungkal dan daerah lain banyak yang berakhir kisah hidupnya di sini.

Apakah yang dibantai itu semua komunis militan yang akan membahayakan pemerintah? Oh bukan...tidak semua...mereka-mereka itu sebagiannya hanya korban, korban yang terseret dalam ruwetnya, tintrim dan mencekamnya masa itu. Fitnah keji bertiup kencang walaupun sebenarnya hanya angin semilir saja yang membawanya.
Mencekamnya teramat sangat. Dari cerita yang aku dengar dari Ayah...yang ga pernah mau sekali saja didapuk jadi algojo...mungkin karena nyali atau kematangan berpikir dan melihat kondisi saat itu...banyak dari mereka hanya ikut ikutan atau hanya pernah terlihat ngumpul sama orang pki. Bahkan misalnya hanya pernah ketahuan main bola voli bersama pemuda unsur pki, lekra atau organisasi underbow yang lain...habis ditebas kamu!!
Lalu bagaimana cerita tentang derita keluarga para tertuduh itu? Isteri dan anak anaknya menjadi bulan-bulanan belasan tahun seiring dengan tumbuh kuatnya Orde Baru. Mereka kehilangan masa depan dari kehidupannya.

Bukti cerita pembantaian itu bisa kami temukan karena memang rentang masa suram itu dengan masa bocil hanya berjarak kurang dari 15 tahunan. Saat menyelam atau menggali pasir, sering kami dapatkan tulang belulang manusia...tulang lengan, kaki bahkan pernah sebuah tengkorak kita keluarkan dari kedalaman pasir. Tidak tahu lagi apakah itu tulangnya sang durjana atau tulangnya para tak bersalah? Tidak pernah jelas.

Ah sejarah bernegara kita juga tidak luput dari kucuran darah sesama anak bangsa yang berbeda dalam mengusung ideologi. Biarlah itu menjadi episode pilu yang tidak boleh diulang. Hentikan segala ide-ide konyol yang mengundang kehancuran dan menguras air mata. Cukup sudah mereka saja. Ke depan itu hanya ada Indonesia dengan penuh warna...colorful-nya biarlah warna warna cerah cemerlang penuh harapan suka cita. Yang abu-abu dan warna warni kusam itu biarkan saja terkubur bersama masa lalu....

Nah aku pingin menutup cerita ngalor-ngidul ini dengan kolorpul itu. Sebagai bocil ndeso bajunya ya pasti gitu gitu...celana kolor berbahan kaos wool dan oblong kw yang murah meriah. Kolor itu di kampung dulu sebutan untuk celana pendek...bukan sempak loh ya...celana jenis ini nyaman dan mudah ngerawatnya. Habis koceh air plus pasir tinggal rendem saja kasih klerak atau sabun colek...kucek sebentar, bilas, jemur, kering...pake lagi. Ringgo...garing dienggo. Simpel. Makanya sehari hari ya kolorpul.

Kalau sekarang kolor itu menjadi sebutan sempak saya kira yang perlu ditekankan buat para pemakainya supaya fungsinya tidak saja cuma jadi penahan posisi agar tidak selip seperti kata si Mandra di sebuah iklan. Lebih dari itu...jadikan si kolor sebagai penahan piktor dan syahwat yang ianya itu hanya ditanggalkan pada waktu waktu yang tepat dan tempat yang semestinya. Tidak boleh sembarangan mlorot semau maunya hingga kasus kasus pencabulan dan pemerkosaan itu berulang terus dan terus.
Berkolorpul lah yang bermartabat penuh tanggung jawab untuk Indonesia yang bebas sexual harassment...Indonesia yang berahlak mulia.
Sudah sudah...aku hanya pingin melihat Indonesia itu yang KOLORPUL dan COLORFULL penuh suka cita dan kecemerlangan hari depan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!