Khawatir Dan Takut! (SecangkirKopiPahit~3)

Secangkir kopi pahit yang kunikmati tadi sudah tandas...tinggal menyisakan ampas yang teronggok membeku di dasar cangkir. Ia sepertinya telah ter-ekstraksi dengan sempurna. Ah...kata sempurna itu...apakah ada yang sempurna sebenarnya selain Yang Maha Rahim itu?

Ketika secangkir kopi pahit kedua sedang ku siapkan mengikuti saran seorang teman dari Garut...Kang Odjhat namanya...seorang yang telah bergelut cukup lama dengan per-kopian itu, katanya "Menyeduh kopi itu jangan dengan air yang terlalu panas suhunya karena akan menguapkan citarasa nikmat kopinya, diamkan beberapa saat dulu baru Mas tuang. Ngaduknya tiru thawaf itu lho Mas". Dan secangkir kopi pahit yang sarat makna ini siap dinikmati...

"Cak, pernahkah sampeyan merasakan takut? Takut kehilangan pekerjaan, takut jatuh miskin, kekurangan harta benda dan lain-lain hal yang bersifat materi?". Sekonyong-konyong pertanyaan itu dilontarkan kawanku yang sedari tadi sedang asik menekuri mainannya itu.

"Walah ya sering...kayaknya tiap hari malahan. Bayangan-bayangan yang memicu rasa khawatir dan takut itu berlintasan semau-maunya saja di kepala ini". Itu jawaban spontan yang aku ucapkan. Memang, kadangkala kegamangan itu menghiasi kecamuk lalu lintas pikiran-pikiran. Meski sudah ditepis berkali-kali...rasa itu datang lagi dan lagi.

"Padahal Cak," Dia berhenti sejenak dan dengan pandangan menerawang jauh meneruskan kata-katanya...

"Ketika kita mengucapkan kalimat sahadat itu, saat kita sudah mendaku diri beriman, semestinya kita tidak dibenarkan lagi untuk takut, karena kita memiliki Sang Maha Penolong Sejati. Jikalau begitu halnya maka keimanan kita kosong Cak...palsu." Kembali dia menghentikan tuturnya dan menatap kearahku dengan sorot mata khawatir kalau saja aku marah.

"Itu kata-kata dari kiayi saya yang di Banten lho Cak, saya hanya mengutipnya. Sayapun juga cemas Cak". Ucapnya memberi penjelasan.

Kalimat lanjutannya itu sungguh menukik menghunjam ke dalam dada dan mengaduk-aduk rasa.
Adakah sebenarnya keimanan di dalam dada ini?
Apakah memang baru pada tingkat pengakuan sepihak nan kosong...

Pahit, sebuah kepahitan yang mengalahkan dua cangkir kopi pahitku malam ini.

Dan aku tidak boleh bagai seonggok ampas kopi yang membeku di dasar cangkir ketika esensinya hilang. Ini tekad sekaligus harapan untuk dapat dengan sabar dan ikhlas menghadapi segala ujian.

Dan sungguh Kami akan berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Qs Al-Baqarah [2]: 155)

"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?(Alankabut :2 )

[SecangkirKopiPahit]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!