Cangkir-cangkir Yang Kepenuhan

Malam ini aku mencoba berontak total pada pakem yang dianut para barista itu. Sebuah teori seduh kopi yang rumit karena banyak batasan ini dan itu demi mempertahankan cita rasa sang kopi.
Suhu air yang harus di bawah titik didihnya, resident time antara air dan kopi yang berbatas waktu sekian menit serta lain hal yang ngejlimet.

Kalau malam sebelumnya beberapa teori masih aku ikuti, nah malam ini aku kembali pada cara seduh kuno, cara ndeso yang sangat simpel. Sesimpel menanggapi naiknya harga cabe yang uhuy itu. "Tanam cabe sendiri di pekarangan".  Eh maaf. (Ada lagi sih yang lebih simpel...pake karet gelang, masa rangkep empat masih ga pedes?!)

Dan inilah teori warisan buyut itu, Kopi rendam. Rebus air sampai mendidih lalu masukkan bubuk kopi. Biarkan bergolak hebat sampai kopi bener-bener mateng. Tambahkan gula secukupnya, itu kalau ga suka pahit. Simpel khan?.
Cerek atau ketel berwarna kuningan dan cangkir putih telah aku pilih untuk urusan malam ini.

Proses sederhana ini terus aku amati bahkan hingga penuangannya ke cangkir putih itu. Serasa ada yang menarik. Iya...penuangan ke cangkir itulah yang menarik. Kalau tidak ingin terpercik dan ketumpahan kopi panas, proses mudah inipun perlu perhatian. Pelan saja, hati-hati lalu ketahui juga daya muat cangkirnya.

Lalu apa menariknya dari proses penuangan itu?

Ketika belajar, tentang apapun terlebih masalah agama, materi dan kepala-kepala yang hendak diisi itu perlu mendapatkan perhatian yang memadai. Sama seperti ketika menuang kopi panas tadi, antara wadah dan materi harus terukur tidak bisa asal tuang, asal sampaikan lalu terserah si penerima.

Kondisi yang heterogen dari para wadah itu harus betul-betul dikenali. Karena suatu materi yang diberikan bisa pas untuk sekian wadah tapi tidak tepat untuk beberapa yang lainnya.  Harus ada kesesuaian antara wadah dan materi. Inilah mengapa para guru dan ulama bijak tidak sembarangan dalam mengajar. Tidak mungkin memberikan materi yang rumit untuk wadah yang sederhana. Tidak mungkin menuang berliter minuman jika cangkir-cangkir yang menampungnya kecil belaka.

Ini mengingatkan kenangan lama ketika aku masih remaja yang karena penasaran hendak masuk ruangan pengajian tertutup Tarekat Naqshabandiyah yang berada persis depan rumah. Penasaran karena sifat eksklusifnya mereka, peserta atau jamaah yang datang orangnya itu-itu saja. Dan mbah kiai sepuh itu menahanku untuk tidak masuk, katanya:
"Nek pingin ngerti yo meluo nanging ora saiki, kudu sithik mboko sithik" (Kalau pingin tahu ya ikutlah tapi tidak sekarang, harus sedikit demi sedikit).
Kecewa. Tetapi mbah kiai sepuh bijak itu telah melakukan hal yang benar, beliau mengerti apa yang harus dilakukan.

Guru dan ulama yang semisal mbah kiai itulah orang-orang yang tidak saja piawai dalam menuang dan mengukur materi tetapi lebih dari itu beliau mengerti bagaimana agar wadah-wadah itu tidak stagnan, mandeg dalam kapasitas asalnya. Beliau-beliau itu mempunyai metoda bagaimana memperbesar kapasitas wadahnya. Itulah hebatnya.

Menjadi suatu hal yang sulit dimengerti saat ini ketika mendapati ada pengajian umum yang siapa saja boleh duduk lalu membahas materi-materi berat dan rumit, yang butuh waktu panjang dan suasana yang tepat untuk bisa memahaminya dengan benar.
Adanya penayangan yang mengikuti trend saat ini, kajian-kajian berat itu di-youtube-kan.
Atau pengajian dengan banyak narasi kata kafir yang di-toa kan pada lingkungan yang beragam

Lalu muncullah banyak pertanyaan. Mengapa saat ini banyak sekali orang yang memeluk agama, apapun, bisa berkarakter begitu keras yang mengarah ekstrim? Begitu sulit menerima adanya perbedaan pendapat dan penafsiran?
Begitu merasa insecure terhadap keyakinannya?
Saling curiga mencurigai?
Apa yang telah keliru?
Apakah ini fenomena dari ketidak sesuaian itu...tidak sesuai antara materi yang dituangkan dengan wadah penampungnya, pun juga kurang arifnya para penuangnya?, hingga akhirnya cangkir-cangkir itu menjadi kepenuhan?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!