Sungguh Perseteruannya Itu Abadi

Saat hati dan pikiran sedang jernih, sedang menuju pada arah yang benar biasanya lantas merenung, melongok ke kedalaman diri sendiri. Muhasabah terhadap diri sendiri tentang apa yang sudah dan telah tertinggal, tentang bagaimana dan sejauh mana langkah kaki menyusuri lorong-lorong waktu yang telah dikaruniakan ini.

Lalu kembali teringat tentang sebuah firman Alloh "Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi kepada Ku". 
Dan yang terjadi kemudian adalah hitung-hitungan yang dilakukan itu seringkali menghasilkan kondisi yang imbalace...ketimpangan yang menyedihkan. Kalau sudah begini tak terasa pelupuk mata membasah. Pandangan menjadi agak kabur terbiaskan oleh kristal-kristal bening itu. Menangisi semua yang hilang, menyesali segala yang terlepas. Namun terkadang berlaku hanya sejurus saja ketika ada banyak suara lain yang membela dan menenangkan...
"Ah jangan terlalu risau...apa yang telah kamu usahakan selama ini juga bagian dari ibadah. Usahamu siang malam itu tidak lain dan tidak bukan untuk memenuhi tugasmu sebagai Ayah, sebagai orang tua".
Apakah tangisan sedu sedan itu berganti dengan senyum? Itu akan sangat tergantung suasana hati dan keteguhannya.

Perseteruan atau pertarungan antara kehendak baik dalam konteks keterciptaannya kita dan kehendak rendah yang dibalut oleh hawa nafsu senyatanya terus berkobar setiap saat. Pertarungannya itu terus akan terjadi sampai akhir hayat dikandung badan. Sebuah pertarungan yang sangat halus dan unik. Setiap saat bertarung setiap saat pula berdamai. Bertarung lagi dan berdamai lagi. Demikian seterusnya berulang-ulang. Pertarungan itu berhenti manakala salah satu pihak menyeberang. Tinggal pihak mana yang menyeberang itulah yang menentukan positif negatifnya. Dan masing-masing kita tentu sangat memahaminya siapa pihak yang lebih sering menyeberang.

Karena sifat kehalusannya dan terus terjadi di setiap waktu dan keadaan itu maka Kanjeng Nabi SAW pernah mengingatkan kepada para sahabatnya dulu sesaat ketika hendak pulang dari medan pertempuran. Beliau SAW mengingatkan akan adanya perang yang lebih besar yang sudah menanti ketika berada di kehidupan normal. "Kalian baru saja kembali dari perang kecil dan akan menghadapi perang yang lebih besar...jihadul akbar" Demikian kira-kira pesan Beliau SAW. Sahabat terheran dengan pernyataan Beliau dan terjawab keheranannya itu dengan penjelasan bahwa perang hebat itu adalah menaklukkan hawa nafsu.

Ketika mendapati banyak orang yang menghabiskan waktu siang dan malamnya untuk memenuhi kebutuhan jasmaninya semata, Maulana Rumi menyindir dengan kalimat yang kurang lebihnya seperti berikut...

"Sekarang ibarat tubuhmu itu kuda dan dunia ini kandangnya, tentu berbeda keinginan antara kuda dan penunggangnya. Penunggang kuda menginginkan kesenangan-kesenangan hidup dan kebahagiaan. Akan tetapi karena nafsu kebinatangan telah mengalahkan dirimu, maka kau bersama kudamu tertinggal di kandang. Kau kehilangan tempat dalam barisan para raja dan para penguasa alam keabadian. Hatimu memang mestinya ada dalam barisan itu. Ketika kau kalah oleh tubuh, kau mesti tunduk pada aturan tubuh. Kau menjadi tawanannya". 

Peringatan dari Alloh SWT untuk kita terkait dengan hawa nafsu sungguh banyak, hanya saya ambilkan satu saja contoh sebagai pengingat diri sendiri dan tentu siapa saja yang berkeinginan yang sama...

"Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka". (QS:53 An-Najm, 23)

Akhirnya mari kita katakan bersama-sama "Selamat berjuang menaklukkan hawa nafsu" untuk kita semua dalam menjalani hari-hari ke depan ini.

Ah rasanya kata menaklukkan itu ada semburat warna takabur? Mungkin mengendalikan kata yang lebih tepat ya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!