Tentang Khilafah Itu?

Banyak kawan saya yang sangat getol bicara tentang khilafah dan berpikiran untuk mengusungnya menjadi ideologi solutif dari semua permasalahan yang ada.

Khilafah telah menjadi semacam obat generic yang cespleng untuk mengobati segala penyakit yang ada di dunia, di belahan manapun. Itu yang bisa ditangkap dari setiap pembicaraan mereka.

Belakangan, sharing yang dia unggah di media sosial dan group mailing list komunitas mantan karyawan sebuah perusahaan pun tetap konsisten demikian. Salah satu artikel yang diunggahnya itu, menurut saya, ditulis oleh penulis yang sudah ter-internalisasi begitu dalam dengan nostalgia dan romantisme masa lalu tentang "kejayaan" khilafah Islam.

Sengaja saya berikan tanda kutip di atas itu -minimalnya ada dua alasan- pertama, oleh karena adanya tafsir berbeda tentang makna kejayaan itu sendiri. Kedua, oleh karena adanya banyak hal yang terjadi pada masa-masa yang disebut dengan kejayaan itu berupa peristiwa-peristiwa yang tidak merefleksikan Islam dan para pemeluknya sebagai rahmatan lil 'alamin, maksud yang begitu luhur dari hadirnya Islam sebagai agama samawi penutup.

Perang dan peristiwa-peristiwa penumpahan darah begitu sering terjadi bahkan dalam lingkup internal muslim sendiri oleh sebab intrik-intrik politik yang menyertai institusi yang bernama khilafah itu. Perebutan kekuasaan dan hegemoni dari dan oleh elit-elit politik di dalamnya sudah sedemikian rupa.



Ilustrasi taken from Geotimes.co.id

Tentang kejayaan itu akhirnya menjadi sebuah ambigu. Karena kejayaan itu semestinya berwujud terciptanya damai, rasa aman dan penuh rasa suka cita dan penuh cinta. Bukankah agama Islam dibangun dan didasarkan pada mahabbah?

Bahkan akhirnya kejayaan yang digadang-gadang itu masih menjadi sebuah utopia saja, jika kita mengacu pada peristiwa-peristiwa masa lalu yang suram tersebut. Peristiwa-peristiwa yang tercatat rapi di buku-buku tarikh karya para sejarawan yang sudah sangat populer.
(Tentang "gegeran masa lalu" Prof. Nadirsyah Hosen pengurus PCI-NU cabang Australia menuliskannya dengan apik di kolom beliau yang bisa dibaca di Geotimes.com).

Para tokoh muslim (dan ulama) kita di bumi nusantara ini juga tidak sedikit yang berpandangan berbeda dengan para pengusung khilafah, yang salah satu kelompok besarnya adalah ormas transnasional yang dilarang juga di beberapa negara lain yang terkena imbas PERPPU no 2 tahun 2017 yang kini sudah sah menjadi UU itu.

Beberapa tokoh dan ulama itu mengatakan bahwa tidak ada dalam ajaran Islam yang secara gamblang menjelaskan tentang institusi khilafah. Bagaimana sistimnya dan harus bagaimana institusi itu dibentuk.

Pendapat seperti ini semacam mendapatkan pembenaran dengan adanya bukti sejarah -sebagaimana banyak ulama meyakininya- bahwa hingga di akhir hayat Nabi SAW, institusi khilafah ini tidak pernah dibentuk. Beliau tidak pernah menetapkan siapa pengganti beliau setelah berpulangnya. Tidak pernah menentukan siapa suksesornya sebagai pemimpin ummat.

Jikapun akhirnya institusi khilafah itu terbentuk adalah tersebab ijtihad para sahabat atas kebutuhan ummat akan adanya seorang pemimpin. Bukti sejarah terkait hal ini bisa dibaca dalam kisah Balairung Bani Syaidah, dimana para sahabat beradu argumen tentang siapa yang paling pantas menduduki institusi itu. Dalam perdebatan itu, seperti yang kita ketahui, akhirnya terpilihlah Abu Bakar sebagai khalifah pertama.

Saya kira hal ini sudah cukup menjelaskan pendapat khilafah tidak diajarkan dalam Islam karena Nabi sebagai pembawa risalah dan yang paling mengetahuinya serta paling berhak dalam penetapan syariatnya tidak melakukannya.

Kembali pada asumsi bahwa khilafah adalah bagian dari ajaran Islam sebagaimana tafsir dan klaim para pengusungnya, dengan alasan kata khilafah atau kata yang semakna dengannya disebut di dalam Al-qur'an dan Hadits -meski agak bertentangan dengan proses terbentuknya khilafah yang disebut sebelumnya- maka hal ini memunculkan konsekuensi yang berat dan berbahaya. Artinya, siapapun bahkan negara sekalipun yang menghalangi dan
melarang sebuah kelompok atau organisasi yang mengusung dan atau mendukung pendirian khilafah sama halnya dengan melarang pelaksanaan dari ajaran Islam itu sendiri.
Perhatikan saja bagaimana mereka berikut para lawyer pembelanya meng-amplitude itu dengan begitu kuat. Mereka menjadikan cara pandangnya itu untuk melawan penerapan PERPPU (UU) Ormas. Saya kira ini bisa jadi sebuah "permainan" yang sangat berbahaya bagi keutuhan NKRI.

Kita bisa bayangkan jika hal ini berhasil mempengaruhi secara luas pada masyarakat muslim kita, jargon keras dan provokatif bahwa pemerintah anti Islam yang terus digemakan dimana-mana itu akan memperoleh pembenarannya. Betul-betul sangat berbahaya. Apalagi ditambah dengan doktrin bahwa nasionalisme tidak ada dasar rujukannya dalam agama.

Nah mencermati permasalahan ini, demi menjaga keutuhan negara kesatuan kita, langkah yang diambil negara tidak bisa ditolak dan dipersalahkan. Menjaga negara dari keambrukannya juga menjadi tugas sangat penting bagi para pengembannya. Karena negara berdasar pancasila yang dibentuk itu sudah merupakan komitmen bersama para pendahulu dan bapak bangsa kita dengan mempertimbangkan keragaman yang ada di seantero nusantara.

Jika kita mau berpikir dan merenungkannya barang sebentar saja, dengan merujuk pada proses bagaimana kekhalifahan Islam pertama kali terbentuk itu, maka cukup beralasan mengatakan bahwa terbentuknya negara kesatuan kita ini adalah hasil ijtihad dari bapak bangsa kita untuk menjawab kebutuhan pada saat itu.


 Proklamasi RI, pict taken from Google image

Nah akhirnya, tugas penting dan berat yang ada pada pundak-pundak kita sebagai generasi penerus adalah merawatnya dengan sebaik-baiknya warisan ini yang sudah dengan susah payah dan berdarah-darah diperjuangkan oleh para leluhur kita. Bukan malah berkasak-kusuk untuk merong-rongnya terus menerus.

Salam Damai Untuk NKRI Jaya!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!