Perang Shiffin, What Friends Are For (SecangkirKopiPahit~14)

Barangkali memang sudah kehendak zaman bahwa masa kekhalifahan rasyidah, khulafa-al-rasyidin, harus mengakhiri kiprahnya dalam mengatur urusan ummat dan percaturan politik Islam pada masa itu.

Kekhalifahan yang dibentuk oleh para sahabat utama Nabi  dengan ijtihad-nya itu harus berganti dengan bentuk kekhalifahan baru hasil ijtihad dari sahabat Nabi yang lainnya pula. Sistim baru itu berupa dinasti kekerabatan dan pewarisan posisi khalifah kepada keluarga atau kaum kerabatnya.

Awal mula dari keruntuhan khulafa-al-rasyidin itu adalah konflik yang berkepanjangan antara khalifah Ali bin Abi Thalib, kalifah terakhir dari rangkaian khulafa-al-rasyidin, dengan sahabat Muawwiyah bin Abu Sufyan yang saat itu menjabat sebagai gubernur Syam, yang kemudiannya dikenal sebagai pendiri dan khalifah pertama dinasti Bani Umayyah.

Perselisihan panjang sekaitan dengan terbunuhnya khalifah ketiga dari rangkaian khulafa-al-rasyidin itu selain telah menghadirkan Perang Jamal yang telah berhasil dipadamkan, pada akhirnya menghadirkan pula perang susulan yang dinamai dengan Perang Shiffin karena terjadinya di sebuah daerah bernama Shiffin yang berada di tepi sungai Furat (Eufrat). Kedua perang ini masih memiliki latar belakangnya yang sama.

Sebenarnya upaya untuk berdamai dengan melakukan beberapa kali perundingan agar terhindar dari bentrokan fisik telah pula dilakukan, namun karena berkerasnya pihak Syam yang tidak akan berbai'at bahkan memaklumkan perang jika tuntutan tidak dipenuhi, akhirnya memaksa pihak Kufah bergerak menuju medan laga. Dan apa yang dikhawatirkan dan tentu tidak diinginkan itu akhirnya-pun terjadi.

Sebagaimana lazimnya sebuah peperangan, maka darah tertumpah dan deraian air mata sudah barang tentu menjadi tebusan dan ongkos yang harus dibayarkan, tunai. Dari catatan sejarawan disebutkan (dengan angka-angka yang beragam) berpuluh-puluh ribu jiwa kaum muslimin dari kedua belah pihak harus melayang menemui ajalnya, kembali kepada Rabb sang Penciptanya.

Ada beberapa fragmen yang menurut saya sangat menarik terjadi pada seputaran perang itu,  yang tercatat dalam kitab-kitab tarikh meski dengan beragam versinya.

Pada suatu kesempatan, khalifah Ali bin Abi Thalib akhirnya berhadap-hadapan langsung dengan salah satu panglima dari kubu Syam, sahabat Amru bin Ash, sebagai pihak yang menyambut tawaran perang tanding mewakili atau sebagai pengganti sahabat Muawwiyah yang menolak tawaran itu.

Meskipun sahabat Amru bin Ash ini sangat masyhur sebagai ahli strategi, namun dalam hal perang tanding satu lawan satu dia masih belum tandingan yang sepadan dengan khalifah Ali.

Setelah beberapa saat duel itu berlangsung, pada suatu kesempatan jatuhlah pedang Amru bin Ash dan tinggal satu kali tebasan pedang saja habislah riwayatnya. Tetapi agaknya memang, keahlian strategi dan kecerdasannya sajalah yang akhirnya menyelamatkan dari kematiannya.

Di saat yang paling kritis dalam hidupnya itu, dengan serta merta Amru melolosi pakaiannya hingga telanjang di hadapan khalifah Ali. Menyadari lawannya dalam keadaan telanjang itulah maka khalifah Ali memalingkan wajah dan pandangannya serta mengurungkan niatnya untuk menyudahi perlawan Amru, lalu beliau pergi meninggalkan lawannya begitu saja.

Fragmen lain yang juga menarik adalah tentang rencana dan kesepakatan antara panglima Amru bin Ash dan Gubernur Syam, Muawiyyah bin Abu Sufyan yang lagi masygul.

Ke-masygul-an itu dipicu oleh kenyataan merosotnya moral bertempur pasukannya, sementara keadaan yang berkebalikan sedang menaungi pasukan Ali bin Abi Thalib.

Kondisi yang bertolak belakang ini bisa terjadi lantaran syahidnya sahabat Ammar bin Yasir yang berada di pihak Ali. Sudah masyhur di kedua belah pihak bahwa Nabi SAW pernah bersabda tentang sahabat Ammar bin Yasir

"Kasihan Ammar, dia akan dibunuh oleh kelompok baaghiyah (pembangkang), Ia mengajak mereka ke surga dan mereka mengajaknya ke neraka". (HR Bukhari)

Menyadari keadaan yang genting ini, meski upaya untuk mempertahankan moral pasukannya telah Ia lakukan, dengan mendatangi kemah-kemah pasukannya dan mengatakan dengan takwilnya atas peristiwa Ammar itu dengan mengatakan bahwa bukan pihak kita yang membunuh Ammar, tetapi sesungguhnya yang telah membawa Ammar ke medan peranglah yang telah membunuhnya.
Namun tak urung gundah hatinya masih bergelayut malam itu. Dan untuk meredamnya maka Muawwiyah menyempatkan diri berunding dengan panglima ahli strateginya, Amru bin Ash untuk menyongsong perang keesokan harinya.
Perundingan itu berbuah kesepakatan, kelak di kemudian hari, keberhasilan atas strateginya itu Amru akan berganjarkan penguasaan wilayah Mesir.

Ketika kedua pasukan itu telah terlibat kembali pada peperangan yang sangat dahsyat yang berlangsung hingga menjelang siang hari, nampak pasukan Syam mulai terdesak oleh serangan lawan. Dan untuk menghindari kekalahan yang lebih parah, Amru bin Ash menyerukan pada pasukannya untuk menancapkan atau mengikatkan mushaf Al-qur'an pada ujung tombak dan pedangnya masing-masing lalu mengangkatnya tinggi-tinggi sebagai isyarat perdamaian dan penyelesaian perselisihan dengan  berhukum pada kitab Allah. Tahkim bi kitabullah.

Dan benarlah apa yang telah diperhitungkan pada malam sebelumnya, perselisihan pendapat yang tajam atas strategi ini telah terjadi pada pasukan Ali r.a. Seruan beliau agar tetap melanjutkan serangan untuk memperoleh kemenangannya yang tinggal selangkah itu menjadi harapan kosong belaka, karena perintah beliau serta merta ditolak oleh bagian yang cukup besar dari pasukannya sendiri.

Oleh karena adanya penentangan dari pasukannya sendiri inilah akhirnya beliau menghentikan serangan dan dipaksa oleh keadaan untuk berdamai dengan lawan meski hal ini bertentangan dengan keyakinan hatinya.

Fragmen menarik lainnya adalah perundingan yang berlangsung pada beberapa waktu berikutnya sebagai kelanjutan dari Tahkim bi Kitabullah. Untuk detil kisahnya seperti apa dan bagaimana perundingan itu berlangsung, yang berujung pada de-legitimasi khalifah Ali bin Abi Thalib sebagai khulafa-al-rasyidin terakhir bisa ditelusuri lebih lanjut pada kitab sejarah atau googling pada kisah terkait.

That's what friends are for!

Itulah gunanya persahabatan! Itulah guna adanya sahabat-sahabat yang selalu mendukung pada setiap perjuangan. Ketika masa-masa sulit itu datang mereka pulalah yang ikut membantu memecahkan permasalahannya. Tak terkecuali bagi kedua kubu yang berselisih dari kalangan sahabat Nabi itu, kedua belah pihak mempunyai sahabat setia dengan prinsip yang diyakininya masing-masing.
Ada Ammar bin Yasir di kubu Ali, ada Amru bin Ash di kubu Muawwiyah, yang keduanya sama-sama memiliki keutamaannya masing-masing.

Seperti apa yang dikatakan ulama, atas konflik yang terjadi di Shiffin dan konflik-konflik lainnya itu tidak perlu bagi kita untuk menjustifikasi siapa salah siapa benar, hanya jadikan saja sebuah pelajaran berharga agar peristiwa pertumpahan darah sesama muslim dan sesama ummat beragama pada umumnya tidak perlu diulangi lagi apapun alasannya!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!