Membuang Demokrasi?
Setelah beberapa waktu berjalan, kartu-kartu "sakti" yang diluncurkan oleh gubernur baru DKI Jakarta saat itu menuai banyak kritikan dan juga tidak sedikit cemoohan. Bahwa kartu-kartu itu, katanya, berpotensi disalah gunakan. Bahwa kartu-kartu itu pen-distribusian-nya belum menjangkau pada orang-orang yang benar-benar membutuhkan. Bahkan muncul juga pertanyaan tentang kartunya itu sendiri, bagaimana lelang pengadaan kartu itu dilakukan. Dan lain sebagainya.
Dengan berbagai alasan itulah banyak pihak yang meminta gubernur untuk membatalkan programnya dengan semua kartu-kartunya itu.
Tanggapan sang gubernur yang dikenal koppig atas desakan yang ada saat itu sungguh menarik. Beliau dengan entengnya mengatakan -kurang lebihnya- :
"Ya kalau ada kekurangannya dari penerapan program ini, ya dibenahi lagi sistimnya, bukan lantas dicabut. Karena program seperti ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat".
Saya kira yang paling tepat memang harus begitu sih. Sebuah sistim yang sudah dibangun dan diterapkan jika ada hal-hal yang kurang padanya sudah semestinya dibenahi agar lebih baik bukan lantas secara tergesa-gesa membatalkan dan menggantinya dengan alternatif lain. Kalau demikian halnya akan terlihat seperti tidak bersungguh-sungguh ketika membentuk sistimnya itu sendiri.
Lalu tentang Demokrasi?
Ada sementara pihak yang sangat alergi dengan yang namanya demokrasi hingga menyebutnya sebagai sistim kufur yang harus ditinggalkan karena hanya menyisakan masalah saja. Apakah betul demikian?
Saya
sangat yakin bahwa para pendiri republik ini ketika awal mula bersepakat hendak
membentuk negeri yang merdeka, mereka tidak main-main dan telah memikirkan
dengan pertimbangan yang sangat matang atas bentuk negara dan sistim yang akan
diadopsinya. Sudah barang tentu tidak akan luput pula dari pertimbangan itu
adalah tentang keragaman yang ada pada tanah nusantara ini baik dari sisi suku,
budaya, adat istiadat, bahasa dan agama. Tingkat keragaman yang begitu banyak
yang sulit dicari padanannya di lain negeri.
Dan ada yang harus tetap melekat dalam ingatan kita bahwa negeri ini dalam perjalanan waktunya pun telah berkali-kali mengalami cobaan dan ujian baik dari golongan kiri maupun kanan yang hendak merobohkan pilar-pilar dan bangunan negara kita. Saya kira cukup sudah masa lalu nan suram itu menjadi pelajaran berharga buat kita sebagai anak bangsa pewaris sah negeri.
Nah ketika muncul adanya keburukan-keburukan karena penerapan sebuah sistim yang lalu memunculkan pula keinginan untuk menggantinya, apakah hal itu sudah dipastikan dari mana akar masalahnya? Apakah benar berasal dari sistim tersebut, ataukah sebenarnya oleh sesuatu sebab yang lain, semisal akibat ulah para oknumnya saja?
Lalu
apakah dengan adanya semua persoalan itu kita lantas terburu-buru menggantinya?
Lalu dengan sistim apa dan bagaimana caranya? Jika kita sudah menemukan sistim
penggantinya pun misalnya, sudahkah kita secara matang mempelajarinya dengan
sedetil-detilnya dengan segala pertimbangan apa yang ada di negeri kita ini?
Mungkin sebagian orang akan mengatakan:
"Khilafah
solusinya!"
Okelah, katakan saja sistim terbaik itu adalah khilafah, pertanyaannya adalah siapa yang akan menduduki posisi itu dan dengan cara apa dia dipilih? Jika merujuk pada sejarah kekhalifahan, mana yang akan dipilih: Khulafaur rasyidin dengan 4 cara pemilihan yang berbeda itu? yang mana juga yang akan dipilih...cara terpilihnya khalifah pertama? kedua?ketiga? atau keempat?
Atau sistim dinasti-dinasti itu? Atau bentuk gabungan dari pilihan yang ada?
Saya sih ngga optimis bahwa pemilihan akan berlangsung mudah mengingat dalam beberapa kasus yang ada kita tidak atau masih sulit untuk berdamai dan bersepakat. Lihat saja ketika penentuan awal dan akhir bulan ramadhan misalnya, bagaimana tokoh-tokoh kita masih belum bisa selalu sama dalam keputusan meski yang dilihatnya bulan yang sama dan jumlahnya pun hanya satu.
Nah
apalagi dalam memilih pemimpin yang masing-masing punya kriteria dan preferensi
sendiri-sendiri. Adalah masih sebuah kesulitan tersendiri untuk mendamaikan
sebuah perbedaan yang ada dalam ummat Islam dengan segala dinamika yang ada di dalamnya.
Atas penolakan sistim demokrasi itu saya akhirnya kutipkan disini batasan atau definisi dari demokrasi yang saya ambil dari kamus bahasa Indonesia, KBBI online, secara ringkas disebutkan:
demokrasi/de·mo·kra·si/ /dĂ©mokrasi/ n Pol 1(bentuk atau sistem) pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya; pemerintahan rakyat; 2 gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara;
-- Pancasila demokrasi yang berdasarkan
sila Pancasila yang dilihat sebagai suatu keseluruhan yang utuh;
Kalau kita baca dari definisi di atas maka kita
akan bersepakat bahwa sistim itu sangat bagus.
Pemerintahan negara yang melibatkan partisipasi
seluruh rakyat melalui wakil-wakilnya. Sehingga dengan demikian bisa
meminimalkan penguasaan negara dengan segala sumber daya alamnya oleh
segelintir keluarga atau kelompok saja. Saya kira ini sebagai bentuk jawaban
atas adanya praktek penguasaan negara/wilayah oleh keluarga yang lalu
diwaris-turunkan ke anak cucu para penguasanya saja.
Lalu di dalamnya pula ada gagasan tentang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama pada semua elemen bangsa. Negara dan pemerintahan berkewajiban untuk mengakomodir kepentingan masyarakat luas, mensejahterakan rakyat dan memberikan kesempatan yang sama dalam hal akses pada ekonomi, politik dan lain sebagainya. Apalagi untuk negara kita ini ditambahkan dengan dasar negara Pancasila, Demokrasi Pancasila, yang dijalankannya atas dasar sila-sila hasil ekstraksi dari keberagaman dan kearifan yang ada di negara kita.
Jika dalam prakteknya kemudian terjadi banyak penyimpangan hingga tidak atau belum sesuai dengan cita-cita awal yang begitu luhur itu, saya kira bukan lantas sistimnya yang harus diganti melainkan pembenahan dan perbaikan terus menerus pada sistimnya itu sendiri. Kita harus bisa menemukan apa sebenarnya problemnya hingga ke akarnya. Jika karena ulah para oknum yang tidak bertanggung jawab, tentu orang-orangnya itulah yang harus digusur agar pelaksanaan dari sistim itu bisa berjalan dengan benar. Terlepas dari sulit dan beratnya perubahan dan perbaikan yang harus dilakukan. Karena seberat-beratnya perbaikan saya kira masih tidak akan terlalu berat dibandingkan dengan penggantian sistim dengan yang baru. Ongkos dan pertaruhannya akan terlalu besar jika alternatif penggantian itu yang dipilih.
Kiranya perlu buat kita untuk berkali-kali lagi
berfikir dengan jernih dan penuh pertimbangan agar tidak terjebak pada tindakan
yang kontra produktif dan menyimpang dari cita-cita luhur para pendiri bangsa
dan negara kita.
Komentar
Posting Komentar