Kerancuan Fatwa Itu Musibah (SecangkirKopiPahit~10)

Ketika ulama atau yang diulamakan atau yang mempunyai otoritas membuat fatwa atau bahkan figur-figur yang lebih tinggi lagi sudah tergiur dengan duniawi, apapun itu bentuknya, yang lalu membuatnya sanggup berselingkuh dengan para penguasa lalim, maka apa lagi yang bisa kita harapkan dari mereka?

Ketika keberpihakan itu sudah sedemikian berkelindannya, bagaimana kita bisa berharap sifat netralitas dan keadilan dari mereka akan mewujud dalam pendapat dan fatwa yang akan mereka buat? Kiranya hanyalah pembenaran pada apa yang penguasa lakukan dan keadaan seperti apa yang penguasa inginkan akan mereka lakukan, bahkan jika perlu harus memelintir teks-teks suci-pun akan sanggup mereka lakukan.

Kalau sudah demikian halnya maka kerancuan dalam pendapat dan fatwa, bercampurnya antara fatwa yang benar dengan yang  menyelisihi, seiring berjalannya waktu yang panjang bersama dengan kekuasaan itu, akhirnya menjadi begitu sulit untuk membedakannya bagi yang hidup jauh dari masa-masa itu. Dan ini jelas merupakan musibah yang sangat besar buat ummat penerus hingga ke ujung waktu nantinya.

Membaca sejarah masa lalu ketika konflik sesama saudara yang berdarah-darah itu, bermula dari terbunuhnya sahabat Utsman bin Affan, khalifah ketiga dari khulafa-al-rasyidin yang memicu perang Jamal hingga akhirnya berujung ke pembentukan dinasti Umayyah, memberikan sinyal yang sangat jelas. Selalu dalam konflik-konflik itu, dari kedua belah pihak ada figur-figur panutan yang didengar nasihat, pendapat dan perintahnya. Dan karena itu pula akhirnya apa yang telah terjadi itu adalah musibah buat kita yang hadir belakangan. Kenapa, karena hingga kini pun kita menjadi sulit dan tidak bisa serta tidak berani untuk menetapkan siapa yang berada dalam pihak yang salah karena adanya fatwa yang melarang untuk melakukan hal itu yang dilandaskan pada teks-teks suci yang ada.

Menurut pendapat yang sangat populer bahwa apa yang para pendahulu lakukan adalah hasil dari sebuah ijtihad, yang jikapun salah masih mendapatkan satu pahala dari Allah, meskipun, sekali lagi, meskipun berakibat pada tertumpahnya darah kaum muslimin dalam bilangan yang sangat besar. Katanya fatwa pula, bahwa apa yang telah para pendahulu itu lakukan sudah dimaafkan dan diampuni oleh Allah secara keseluruhannya.

Ketika mengetahui tentang fatwa ini, jujur ada ganjalan yang sulit untuk dibuang, yang lalu memunculkan tanya, Apakah yang demikian itu logika bisa menerimanya? Lalu azaz Keadilan Ilahi itu dimana di tempatkannya?
Apakah mungkin orang yang membunuhi sesamanya itu malah berganjar pahala? Bukankah ada hukum syariat yang harus ditegakkan seadil-adilnya?

Sungguh yang demikian itu sangat menggelitik keingintahuan yang lebih jauh lagi serta membangkitkan hasrat untuk meng-konfrontasikan baik dengan ayat-ayat dalam Al-quran ataupun hadits sahih yang bermakna berlainan yang tidak dijadikan landasan dalam pengambilan fatwa itu. Ini akan menarik sekali, tetapi butuh waktu yang tidak singkat karena harus bisa menemukan orang yang tepat yang mempunyai sikap netralitas, adil dan jujur dalam menilai fakta.

Haruskah kepada kejujuran kopi juga aku harus beroleh jawaban?



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!