Poligami Itu (Hanya) Wadah

Ah...bahasan poligami ini akan sangat sensitif buat emak-emak, tapi tentu tidak buat babeh-babeh sebagai pihak yang "beruntung" apalagi bagi yang punya karep untuk melakukannya. Heheheh.

Selang beberapa waktu lalu sempat heboh dengan adanya video pemberitahuan oleh seorang ustadz yang baru saja menikah lagi dengan isteri ketiganya. Video itu viral dan beroleh tanggapan pro dan kontra seperti biasanya...kita khan suka dengan kehebohan yang dipanjang-panjangkan. Ups!.

Klarifikasi atau maklumat pemberitahuan dalam video itu biasa saja sebenarnya dan tidak ada yang aneh kecuali satu hal, yaitu tentang kalimat ustadz yang menyitir sebuah ayat dan mengaitkan bahwa ayat itu ditujukan kepada Nabi.
"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara isteri-isterimu..." (QS An-nisa, 4:129).

Tentang ungkapannya itu banyak pihak yang tidak bisa menerimanya. Bagaimana bisa seorang yang menjadi Uswatun Hasanah dan terbimbing yang apa yang beliau katakan dan lakukan adalah illa wahyu yuha tidak bisa bersikap adil.
Saya juga berpikiran yang sama jika ada yang mengatakan kali ini ustadz terlalu gegabah dan berani. Karena tidak semua ayat dalam Al-qur'an itu maksud dari kandungannya harus tertuju kepada sang penerima wahyuNya. Ini sudah jelas sekali.

Tentang sikap adilnya Nabi ini, ada sebuah kisah menarik, pernah salah seorang sahabat memprotes kebijakan Nabi ketika beliau sedang membagi-bagikan ghanimah dengan ungkapan katanya yang tidak pantas, teriaknya:
"Ya Muhammad berlaku adillah!" 

Yang lalu segera dijawab oleh Nabi:
"Celakalah kau wahai fulan...siapakah lagi yang bisa berlaku adil jika saya tidak berlaku adil?!" 

Nah semoga saja yang karena adanya kekeliruan interpretasi atau oleh karena hal yang kita tidak tahu, ustadz ini bukan termasuk yang terkena sabda celaka ini. Selintasan saya malah terpikir, kalau-kalau dengan sitiran ayat itu ustadz sedang menyiapkan laiknya sebuah disclaimer, yang jika kelak ada ketidak adilan olehnya terhadap isteri-isterinya maka permakluman harus diberikan kepadanya. Mungkin saja jika saat itu datang, dengan suara serak khasnya ustadz akan bilang "Wahai isterikuuu...jangankan ana...sementara...." ah sudahlah biarin aja toh bukan urusan kita ini!.

Ada satu lagi postingan yang saya kira masih terkait dengan silang pendapat yang tengah terjadi itu, pada hari-hari berikutnya salah satu member grup mailing list yang saya ikuti, men-sharing-kan tulisan tentang keadaan yang begitu indah dari dua orang isteri poligami.
Dialog yang terjadi diantara mereka berdua itu diceritakan sebagai gambaran ketinggian level pemahaman dalam keberagamaan mereka. Dialog yang semula diawali secercah api cemburu dari isteri pertama kemudian bisa berubah menjadi pelukan hangat penuh kasih sayang dan saling support diantara keduanya lantaran kata-kata isteri kedua yang sangat luar biasa dan penuh sanjung puji kepada isteri pertama. Pada saat yang sama, isteri pertama memiliki sifat yang juga luar biasa indah yang mampu dengan cepat memadamkan api cemburu lalu legowo tingkat tinggi menerima semuanya. Saya tidak tahu apakah memang cerita itu ditulis berdasarkan kisah nyata atau hanya rekaan dan gagasan penulisnya saja, karena menurut saya terlalu sinematik ceritanya, sinetronsentris yang sulit ditemui di dunia nyata. Tentu masih ingat Teh Ninih khan?!

Anyway, apapun itu, apakah seseorang yang berpoligami akan selalu menampilkan suasana harmonis dan rukunnya rumah tangga mereka di depan khalayak ataupun membuat cerita-cerita indah tentang poligami demi "membela" syariat, tidaklah menjadi soal dan tentu bagus-bagus saja. Hanya problemnya adalah jika ada seorang wanita atau isteri yang belum bisa menerima untuk dipoligami, janganlah dengan semena-mena menuduhnya sebagai penolakan terhadap syariat. Tentu tidak boleh dan tidak bisa segampang itu, karena banyak faktor -terutama psikologis- yang bisa melatar belakangi keengganannya. Yang juga sangat penting adalah lelakinya harus bisa menahan diri juga, bukan lantas hanya mengedepankan egonya saja lalu berlindung di balik kata-kata syariat.

Tentang syariat atau hukum kebolehan berpoligami ini, kalau saya melihatnya adalah syariat sebagai wadah atau sarana. Syariat yang bukan sebagai perintah atau larangan. Ianya bersifat mewadahi atau mengakomodasi adanya kehendak sebagian kaum pria yang ingin memiliki lebih dari satu isteri.

Jika menelusuri dari sejarah masa lalu, Islam hadir dengan solusi poligami yang membatasi jumlah isteri. Itupun ditekankan dengan berbagai persyaratan yang tidak ringan, yang jika sekiranya tidak mampu maka pilihannya hanya dengan satu isteri.

Solusi ini menjawab fenomena budaya pada masa itu yang mana seorang lelaki bisa beristeri lebih dari bilangan jari-jari tangan. Pria betul-betul superior dan begitu berkuasanya atas wanita sementara sebaliknya para wanitanya betul-betul pada posisi yang tidak mendapatkan penghargaan sebagaimana mestinya. Mereka hanya menjadi semacam hiasan atau harta dan simbol dari keperkasaan pria.

Dengan jumlah yang dibatasi dan persyaratan yang berat itulah maka reformasi budaya telah dilakukan. Para pria direm sedemikian rupa sementara para wanitanya diangkat martabatnya dengan sedemikian rupa pula. Tentu masa itu akan sangat sulit jika reformasinya ekstrim, saklek dan ketat dengan mengharuskan para lelakinya hanya boleh memperisteri satu wanita saja. Dalam mengatasi segala problema manusia, Islam selalu mengedepankan cara-cara yang halus dan indah.

Ada satu-dua catatan penting saya kira untuk para babeh yang sering untuk menguatkan maksudnya itu dengan menggunakan kata-kata "ini sunnah Nabi dan wanita yang ihlas menerimanya akan mendapatkan surga sebagai balasannya"

Nah jika memang kita hendak meneladani Nabi dalam hal poligami ini, maka lakukanlah teladan Nabi itu dengan tidak tanggung-tanggung.
Contohlah beliau ketika beliau mengambil untuknya seorang isteri baru. Beliau tidak mengambil untuknya seorang yang muda dan perawan melainkan janda berumur yang memerlukan santunan yang dengannya nampak apa objektif dari pernikahannya itu.
Atau, ini juga penting, bahwa ketika Nabi mengambil baginya isteri-isteri lainnya itu beliau lakukan setelah ibunda Sitti Khadijah sudah berpulang.

Dari dua catatan itu saya kira kita bisa mengevaluasi diri apakah kita sedang bersungguh-sungguh menjalankan sunnah Nabi dalam makna yang sebenar-benarnya ataukah kita sedang mewujudkan sunahnabi -bukan sunnah Nabi- dalam arti yang lain?
(Ah kita sama-sama tahulah apa yang orang akhirnya sering pelesetkan sunahnabi menjadi sebuah singkatan? Tersebab banyaknya fakta riil di lapangan yang belum menepati makna aslinya!)

Oleh karena sifatnya sebagai wadah itulah maka pemanfaatan dengan mengambil pertimbangan matang serta memperhatikan kemaslahatannya akan jauh lebih indah. Saya kira begitulah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!