How Fragile We Are...

...
On and on the rain will fall
Like tears from a star
Like tears from a star
On and on the rain will say
How fragile we are how fragile we are how fragile we are..."
...

Bait-bait akhir dari Fragile-nya Sting ini seakan menyindir ketika aku mem-banyak-i pikiran dengan berbagai bayangan. Bayangan yang bisa membuat rapuh dan nglokro.
"Betapa rapuhnya kita...how fragile we are..."

Sebenarnya harus malu memang ketika kita merapuh tersebab datangnya problema dalam kehidupan kita. 
Malu lantaran banyak para sahabat lain mengalami cobaan hidup yang begitu dahsyat namun tetap sabar dan sanggup keluar daripadanya dengan keadaan yang lebih baik.
Berapa banyak diantara mereka yang telah kehilangan pekerjaan, kehilangan orang-orang yang dicintainya...kehilangan isteri, suami, anak-anak...dan mereka bisa terlihat fine-fine aja.

Lebih malu lagi lantaran ketika kita mengaku telah beriman maka semestinya tidak ada yang harus dicemaskan, apapun itu. Karena wujud iman itu kepasrahan dengan sepenuhnya. Kita tidak seharusnya lantas menjadi fragile. Semua problema harus dihadapi dengan dada-dada yang tetap membusung. Dada-dada lapang penuh optimis berbekal tawakal. Yakinlah bahwa semuanya bisa dihadapi dan diatasi dengan ihtiar sekuat tenaga lalu sandarkan dengan doa agar beroleh pertolongan dari Yang Maha Penolong. 

"Ah itu tidak semudah yang dicakapkan!" 

Memang tidak mudah, dan itu telah beberapa kali terjadi dan akupun telah berulang pula serasa terpuruk. Terkadang seperti terlupakan bahwa tuntunan dan tuntutannya seperti itu, kepasrahan sepenuhnya.

Selama kita bernafas sebenarnya permasalahan itu sudah ada dan selalu bersama-sama dengan kita, terlepas apakah kita menganggap hal itu sebagai masalah atau bukan, atau apakah kita sedang menyadarinya ataupun tidak. 

Kalau kita rujukkan ke Alqur'an maka jelas bahwa setiap yang mengaku beriman pasti akan 
mendapatkan sebuah ujian,

"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi" (Alankabut :2 )

Kalau kita cermati benar, sering kali permasalahan menjadi lebih membebani lantaran akumulasi kecemasan dan kreasi imajinasi kita tentang hal-hal yang mungkin bisa terkait atau menjadi rentetan dari sebuah kasus atau problem yang ada. Bayangan-bayangan kesulitan lanjutan yang akan menyertainya begitu mendominasi pikiran.
"Ah nanti apa kata tetangga ya?" 
"Ah nanti bagaimana dengan anak-anak?" "Ah nanti kalau begini..kalau begitu.."
Dan seterusnya.

Saya sudah tidak ingin lagi menjadi rapuh sebenarnya...tapi lagi-lagi ketergelinciran itu selalu saja hadir bersamaan. Lalu teringat kata-kata sohib saya tentang pembuktian ucapan dan segala bentuk ikrar-ikrar itu bahwa kita dituntut harus bisa merefleksikan semua itu dalam wujud nyata di kehidupan sehari-hari, bukan hanya bualan kosong yang merdu untuk diucap dan indah untuk ditulis saja.
Tabik tuan!





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!