Antropologi Dan Sekelumit Tentang Keadilan Ilahi

Punya kesempatan berbincang secara intens dengan sahabat lama yang saat ini aktif di dunia pendidikan, yang pengalamannya sudah waw itu adalah sebuah keberuntungan. Apalagi Ia juga punya pengalaman dalam berinteraksi dengan kolega internasionalnya dari beberapa negara kawasan asia pasifik. Banyak sharing hal yang menarik? sudah barang tentu. 

Dan yang lebih asyik lagi, studi yang dipilihnya untuk jenjang master dan doktoralnya adalah antropologi, sebuah keilmuan dengan cakupan yang sangat luas yang mempelajari tentang manusia dengan segala seluk-beluk  aktifitas sosial dan budayanya bahkan asal-usulnya. Saya bilang asyik dan menarik karena studi tentang manusia itu akan terus berkembang seiring dengan perkembangan manusianya. 

Keilmuan tentang manusia ini punya peranan penting sebagai sumbang-sih dan penyokong dalam kerangka hidup berdampingan antar sesama umat manusia. Karena, seperti yang Ia tuturkan, bahwa puncak dari studi antropologi itu adalah bisa menerima berbagai keragaman yang memang ada dan fakta, keragaman yang sudah menjadi keniscayaan. Atau kalau memakai istilah popular dalam ranah ke-Islam-an adalah Sunnatullah, suatu hukum kausalitas yang sudah digelar di seluruh penjuru semesta raya ketika penciptaannya.

Antropologi, sebagai bidang keilmuan sudah barang tentu pembahasannya bersifat logis akademis yang mengutamakan pada dasar teori dan penelitian dengan bukti-bukti empiris yang bisa dijelaskan dengan argumen ilmiah dan rasional. Dan tentu saja tidak memasukkan hal-hal yang bersifat doktrinal agama, atau hal-hal yang sifatnya transcendental. Yang karenanya pula maka studi antropologi ketika menyangkut agama yang dipraktekkan oleh sebuah komunitas masyarakat, maka lingkup studinya  (yang berikut adalah kutipan dari wiki, link ada di bawah tulisan)

Adalah agama sebagai fenomena budaya, tidak agama yang diajarkan oleh Tuhan. Maka yang menjadi perhatian adalah beragamanya manusia dan masyarakat. Sebagai ilmu sosial, antropologi tidak membahas salah benarnya agama dan segenap perangkatnya, seperti kepercayaan, ritual dan kepercayaan kepada yang sakral.[5] Harsojo mengungkapkan bahwa kajian antropologi terhadap agama dari dulu sampai sekarang meliputi empat masalah pokok, yaitu:[5]
  •  Dasar-dasar fundamental dari agama dan tempatnya dalam kehidupan manusia.[5]
  • Bagaimana manusia yang hidup bermasyarakat memenuhi kebutuhan religius mereka.[5]
  • Dari mana asal usul agama.[5]
  • Bagaimana manifestasi perasaan dan kebutuhan religius manusia.[5]

Dengan sifatnya yang sedemikian itu maka problem terberat bagi seorang antropolog (juga ilmuwan dari bidang dan disiplin ilmu lainnya) yang sudah begitu lekat dan ekstrim terinternalisasinya dengan bidang keilmuannya, ketika menyangkut agama yang lebih bersifat doktrin itu akan sulit untuk menerimanya sebagai wahyu. Pada tataran tertentu, ke-ekstrimannya itu bahkan bisa berujung pada pilihan sebagai Agnostic, Atheis. Sebuah pilihan tersebab kebuntuan rasionalitas ketika menyangkut hal-hal yang tidak (belum) bisa dibuktikan secara empiris.

Kawan bincang saya –sebut saja Mbakyu Nur- yang antropolog itu juga pernah mengalami sebuah kondisi yang sedemikian itu, namun dia berbalik segera untuk tetap mengimani adanya Tuhan, entitas yang tak terjangkau oleh akal dan pikiran manusia. 
Sebagai kawan baiknya tentu saya ikut bersyukur karena dia tidak mau terjebak dan larut dalam pesona rasionalitas. Karena sebenarnya, jangankan tentang Tuhan, masih sangat banyak misteri di alam semesta raya ini yang belum terungkap dengan baik, masih menjadi tanda tanya besar yang sekaligus menjadi tantangan bagi para ilmuwan itu untuk menemukan jawaban dan penjelasan logisnya. Patut untuk ditunggu pengungkapan dan karya-karya besar dari para ilmuwan itu sebagai bahan pencerahan buat kita semua. Semoga waktu tunggunya tidak terlalu lama.

Seperti di awal tulisan ini yang menyinggung tentang sunnatullah, yang saya pahami sebagai hukum kausalitas yang telah sedemikian rupa dan apik digelar di segala penjuru jagad raya, yang menjamin keberlangsungan alam dan seluruh isi di dalamnya dari masa ke masa. Bahwa segala aturan main telah disematkan padanya sebagai instrument dari konser besar bernama jagad raya ini, dengan segala ukuran dan takaran yang mesti dipenuhi.  

Ber-rotasi-nya bumi pada sumbunya yang menghasilkan siang-malam, ber-revolusi-nya bumi terhadap matahari yang menghasilkan bilangan bulan dan tahun beserta musim-musimnya serta beredarnya bulan terhadap bumi yang kesemuanya itu sebagai petunjuk dan perhitungan. 

Beredarnya benda-benda langit dengan teratur melalui orbitnya masing-masing, kumpulan bintang-gemintang yang membentuk rasi yang denganya umat di bumi beroleh petunjuk dan arah. 

"Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. ■
Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran (Kami) kepada orang-orang yang mengetahui".
(QS Al-'An`ām; 6:96-97)

Air laut yang teruapkan karena panas matahari yang lalu membentuk awan dan akan kembali menjadi air dengan bentuk butir-butir kecil berupa hujan tersebab adanya perubahan tekanan dan suhu udara di sekitarnya. Lalu dengan hujan itu tumbuhlah tetanaman di bumi yang mencukupi kebutuhan mahluk yang hidup di atasnya. Serta segala mekanisme proses yang terjadi di alam raya yang tidak mungkin bisa kita sebutkan semuanya dengan detil. 

Pun tak terkecuali tentang baik-buruk, salah-benar, taat-ingkar dan segala hal yang selalu berpasangan yang dibutuhkan oleh para makhluk ciptaanNya.

Walhasil, hukum kausalitas tata aturan yang telah digelar di segenap penjuru itu tidak lain adalah ejawantah dari sifat-sifat Allah SWT serta bentuk KeadilanNya. 

Barangkali yang berikut ini bisa menjelaskan pertanyaan keterkaitan gelaran pranata alam yang telah disebut panjang lebar sebelumnya dengan Keadilan Ilahi.  

Coba kita kerucutkan pada fenomena baik-buruk, benar-salah, taat-ingkar yang menjadi atribut manusia.

Tidaklah sekalipun manusia itu dilahir-hadirkan di bumi ini dengan ketentuan sebagai individu-individu yang sebagiannya baik, benar, taat dan sebagian yang lainnya sebagai kontranya. 

Kita terlahir sama, yang sering diibaratkan orang sebagai selembar kertas putih, berbekal ego, akal dan pikiran, hawa nafsu, kehendak bebas...lalu karena berinteraksi dengan parameter-parameter yang sudah digelar itulah maka dengan pilihannya masing-masinglah akan menjadi seperti apa pada ujungnya. Sehingga dengan demikian menjadi pantas jika di kemudian hari ada masa untuk pertanggung-jawabannya. 

Tentu keadilan itu tidak akan menuntut pada apa saja yang tidak kuasa untuk ditolak lantaran sudah ditetapkan. Keadilan akan menuntut pada apa yang diperbuat atas dasar pilihan dan kehendak bebasnya dalam pilihannya itu.

Akan tidak adil jika kita dituntut dan dihukum oleh karena kejahatan, kesalahan serta kesesatan kita yang berasal sudah dari sononya berupa ketetapan atau yang disebut takdir.

Pun begitu, agar para hamba ciptaanNya ini ketika menjalani laku hidupnya tidak mengalami ketersesatan, agar tetap pada jalan-jalan yang lurus, Allah SWT memberikan guidance dengan menghadirkan para utusanNya untuk mengarahkan dan membimbing ummatnya. Dan ini pula adalah wujud dari keadilan Ilahi.

"Lalu bagaimana dengan apa yang sudah tertulis di Kitab Yang Terjaga, lauh-al-mahfudz?"

Tertulisnya apa saja yang ada dalam kitab yang yang terjaga itu adalah berdasarkan pada pengetahuan Allah yang meliputi dan mengetahui segala sesuatu dari yang mula-mula hingga yang terkemudian. PengetahuanNya meliputi segala sesuatu dan kejadian dari yang awal hingga yang akhir. Oleh karena yang demikian itulah maka penulisan itu bukanlah bentuk ketetapan dariNya melainkan apa saja yang diketahui akan terjadi dengan segala ciptaanNya itu. 

Nah lalu apa keterkaitan antara antropologi dan sekelumit tentang keadilan Ilahi ini, barangkali adalah hanyalah sebuah pesan bahwa kedigdayaan keilmuan serta kemampuan olah pikir para ilmuwan dan antropolog itu senyatanya sampai saat ini masih belum mampu menyingkap semua misteri yang diperlihatkan oleh alam semesta.  Sehingga -sebenarnya- tidak atau belum mempunyai alasan yang kuat untuk menolak hal-hal yang bersifat ilahiah -transendental- jika hanya berbekal logika akal dan pikirannya saja. Barangkali akan lebih mengasyikkan jika ada interaksi dengan para pelaku esoterisme. Barangkali.

Bahan bacaan: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Antropologi_agama 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!