Zakir Naik, Sang Fenomena Dan Nabok Nyilih Tangan

Kalau melihat dari -anggap saja semacam portofolio-nya, pak Naik yang berkebangsaan India ini berlatar pendidikan formal pada bidang ilmu kedokteran, beliau seorang dokter. Seorang dokter yang juga seorang pendakwah yang aktif. Di samping itu beliau juga belajar ilmu sain di institusi KCCollege ini.

Concern
-nya yang tinggi pada keislaman ditunjukkan dengan aktifnya beliau pada organisasi-organisasi yang bernafaskan Islam yang dibentuknya dan lalu giat berdakwah hingga jauh ke luar negeri kelahirannya untuk membangun pemikiran Islam yang berafiliasi pada pandangan atau pemikiran salah satu madzab yang secara luas dianut di Arab Saudi, Hambali, yang jika dikerucutkan lagi bermuara pada pemikiran Syeikhul Islam Ibnu Taymiyyah dan Muhammad ibn Abdul Wahhab.

Beliau punya peminatan yang tinggi pula pada studi-studi perbandingan agama, yang konon beliau menguasai kitab agama lain sebagai salah satunya adalah kitab umat kristiani, Bible.
Dan tidak dipungkiri lagi bahwa beliau sudah menjadi fenomena dunia saat ini. Pamornya cukup mengkilap dan mendunia meski tidak sedikit yang kontra terhadap pemikiran-pemikiran beliau.

Masih dari sumber yang sama, bisa kita lihat bahwa pendalaman tentang ilmu keagamaannya diperoleh tidak melalui jalur studi formal pada institusi agama yang berkompeten secara akademik semisal universitas. Melainkan belajar dari interaksi yang mungkin memang intensif dengan tokoh-tokoh dan tentu saja self improvement dengan terus belajar dan belajar. Hingga hari ini tidak sedikit yang menyebutnya atau menahbiskannya sebagai ulama.

Apakah dengan metoda belajar dan pendalaman keagamaan seperti ini tidak cukup memadai? Bisa saja sih, tetapi bukankah kita sering meneriakkan bahwa bukti pengakuan kemampuan berupa secarik kertas dari institusi berwenang itu penting? Bukankah sudah sejak lama dipercaya bahwa representasi yang tepat untuk ranah keilmuan berada di kampus-kampus atau institusi pendidikan dan juga bukti keilmiahan itu harus merujuk pada sumber-sumber berupa karya tulis?
Jadi teringat sekelompok orang yang meragukan ke-valid-an Walisongo di tanah air hanya karena beliau-beliau tidak pernah memproduksi sebuah karya tulis.

Apapun itu sebenarnya tidak terlalu masalah juga karena kemampuan dan kompetensi itu bisa dilihat dari karya nyata berupa sepak terjang secara praktis yang sudah dibuktikan selama ini. Ada beberapa contoh yang bergelar syekh dari ketekunan otodidak semisal Syekh Al Albani yang menjadi ahli hadits meski beliau berangkat dari seorang ahli servis jam. Dari workshopnya yang disulap juga sebagai perpustakaan pribadi dimana beliau meneliti dan menekuri kitab-kitab yang tebal.

"Nabok nyilih tangan"

Dalam tour atau safarinya di Indonesia beberapa minggu yang telah lewat, seperti biasa majlis yang beliau buat dihadiri banyak sekali para "penikmat" ceramah-ceramahnya. Ribuan orang bisa terkumpul. Dan ini luar biasa, lalu tidak mengherankan jika orang menyebutnya sebagai sang fenomena.

Ada sedikit yang agak mengganjal bagi saya pribadi, saya tidak tahu apa pendapat orang lain, bahwa pada majlis-majlis yang beliau buat itu ada mengangkat permasalahan khilafiah. Permasalahan yang sangat sensitif di negeri ini terkait praktek keagamaan atau fikih.

Sudah semestinya sekaliber pak Zakir yang sudah mendunia menghindari hal-hal yang demikian itu walaupun dalam menanggapi pertanyaan audien misalnya. Pak Zakir harus mencari tahu permasalahan itu terlebih dahulu atau pihak yang berkompeten yang memfasilitasi kehadirannya memberikan semacam guidance agar tidak masuk pada hal-hal yang membuat suasana tidak kondusif. Sehingga semisal ada pertanyaan yang berpotensi membuat kita semakin meruncing pertentangannya ya tidak perlu ditanggapi. Skip saja.

Nah jika tidak ada upaya-upaya pencegahan seperti itu maka apabila muncul anggapan, duga-menduga bahwa pak Zakir seperti dimanfaatkan untuk menghantam kelompok yang berbeda dalam pemahaman dan praktek keagamaan menjadi cukup beralasan. Memanfaatkan popularitasnya yang telah mendunia itu untuk memberikan semacam penekanan kepada para audien "ini lho ulama yang diakui dunia internasional pun pendapatnya begitu, apalah kita ini dan juga ulama-ulama kita yang masih levelan lokal saja"

Anggapan menjadikan pak Zakir sebagai senjata ampuh buat sebuah penyerangan menjadi semacam menemukan pembenaran saja. Yang dalam terminologi Jawa dikenal dengan istilah nabok nyilih tangan memukul atau menyerang "lawan" tidak secara kesatria karena memakai orang lain.

Semoga saja yang kemarin-kemarin itu hanyalah kesalahan dan bukanlah sebuah strategi seperti yang saya kawatirkan.

Damailah negeriku.







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!