"Ongotan" dan Pinsil-pinsil Runcing nan Tajam

Tak habis pikir kenapa  hate speech, caci-maki, hujat-menghujat, fitnah, penistaan, tuduhan dan semua "anak-anaknya" itu masih saja diproduksi oleh orang dengan suka cita. Padahal sudah sangat benderang dampak buruknya bagi kehidupan kita baik secara pribadi maupun dalam cakupan yang lebih luas, dalam berbangsa dan bernegara.

Banyak yang terjerat pasal undang-undang ITE hingga berujung bui yang berdampak pada kehilangan pekerjaan atau sangsi sosial yang pada akhirnya keluarga juga yang ikut menanggungnya.

Jikalah hingga hari ini kita masih aman-aman saja, jangan lupa berpikir apakah esok masih akan tetap sama. Lupakan saja dan jangan terpengaruh saat mendapati orang lain yang bahkan lebih keras dan kotor dari pada apa yang kita telah perbuat, namun masih aman-aman saja sampai hari ini. Ya anggap saja mereka masih beruntung, bukankah nasib orang itu berbeda-beda?.

Tapi sebenarnya tentu bukan saja karena faktor melanggar perundangan dan ancaman sebagai konsekuensinya itu yang menahan kita untuk tidak berbuat yang demikian, melainkan pertimbangan etika dan moral (dan tentu juga tuntunan agama) yang semestinya lebih kita dahulukan.

Dalam skala yang lebih luas, kita bisa lihat saat ini bagaimana dampak dari semua hal-hal buruk yang telah terproduksi itu, hoax yang sangat gampang tersebar viral ke segenap sudut kota bahkan hingga pelosok desa dan kampung itu senyatanya sudah sanggup mengumpulkan orang dalam jumlah yang cukup besar. Massa begitu cepat dan mudah terkonsentrasi menjadi kerumunan besar lantaran adanya kemudahan dalam penggalangannya.

Masih segar dalam ingatan adanya aksi-aksi penolakan atas kedatangan beberapa tokoh baik agama maupun politik ketika melakukan kunjungannya. Terlebih ketika para penghadang itu menyertakan persenjataan tajam dalam aksinya. 

Yang lebih dan sangat mengkhawatirkan itu adalah jika ada dua kelompok besar yang melakukan aksinya itu berdasar pada info dan pemahaman yang mereka dapatkan dari media sosial, melakukannya pada waktu bersamaan (tentu kalau ini terjadi bisa dipastikan salah satu tak berijin atau bisa jadi malah dua-duanya). Rasanya pintu gerbang untuk darah-darah tertumpah dan gelimpangan tubuh-tubuh membujur kaku dari saudara sebangsa dan setanah air itu sudah terkuak sangat lebar. Tinggal menunggu waktu saja, sekali ada yang menerobosnya maka kisah-kisah pilu menyayat itu akan terulang lagi. (Foto dan video banyak tersedia di lini massa dan media online)

Mengingat saja jejak peninggalan semua konflik yang pernah terjadi di negeri ini bagi saya sudah sangat memiriskan hati. "Ya karena kamu ngga punya nyali!". 
Okelah katakanlah begitu, tapi saya sungguh tertarik dengan kisah Lebanon, yang dengan penuh kesadarannya berhasil mengakhiri segala konflik kepentingan yang berujung pada perang saudara sekian puluh tahun itu. Kesadaran bahwa perang-perang itu sungguh sesuatu yang tidak ada gunanya bagi kebaikan hidup mereka lalu berhenti dan hidup damai berdampingan menjadi pilihan mereka.

Mengambil pelajaran dari orang lain -bangsa lain- yang sudah mempunyai pengalaman semisal, rasanya jauh lebih baik dan bijak dari pada harus menjalaninya sendiri dengan segala resiko yang mungkin saja bisa tak terbayangkan saat ini.

Mudah-mudahan, saya hanya berdoa, hati hati yang barangkali terbuat dari "baja" itu bisa sedikit melembut dan konflik horizontal yang potensi terjadinya sangat tinggi di negeri kita ini bisa terhindarkan. 

Yang saat ini menjadi hal yang urgensinya tinggi agar terhindar dari segala mara bahaya, akhirnya adalah berlaku adil dan bertanggung jawab dalam menggunakan media sosial. Menyaring ketika menerima informasi dan mempertimbangkan dengan lebih cermat ketika ingin membagikannya sudah menjadi keharusan bagi kita.

Saya jadi teringat ketika masa-masa awal bersekolah di SD dulu, dimana hampir semua teman sukanya pada runcing-runcingan pinsil. Dan Ongotan, begitu biasa kami menyebutnya untuk peraut pinsil, seperti tak ada hentinya digunakan. Kami tidak mau tulisan kami terlihat gede-gede yang terkesan mblobor seperti tinta ke-enceran sehingga tidak rapi dan sulit dibaca. Mbundel alias tumpul sedikit saja...lalu serut. Begitu terus. Padahal runcing yang kelewat itu ketajamannya bisa melukai halaman buku yang kami pakai tapi...ya begitulah anak-anak.

Nah, meskipun apakah analoginya bisa pas atau tidak, saya melihatnya saat ini media sosial dan konten-nya sudah menjadi semacam jelmaan dari ongotan dan pinsil-pinsil runcing nan tajam. Setiap saat di setiap kesempatan pinsil-pinsil itu terus diraut seruncing-runcingnya. Tak peduli lagi apakah kertas halaman-halaman buku berupa hidup damai berdampingan penuh dengan kasih sayang sebagai bangsa dan umat beragama itu akan terkoyakkan. Pun seolah lupa kalau kita bukan lagi siswa-siswa awal di tingkat sekolah dasar yang masih minim pengetahuan dan belum cukup nalar, melainkan sudah menjadi pribadi-pribadi dewasa dengan sepenuh nalar yang ada pada kita.

Lalu pilihan kembali kepada kita, apakah kita masih ingin berada pada kondisi yang tak mau peduli atau sebaliknya, benar-benar sepenuhnya ada pada diri kita sendiri. 

Mari bersama kita menuju yang lebih baik. 
Salam sejahtera buat kita semua.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolo Dupak...Apakah Sebutan ini Untuk Kita Juga?

Immigrant Song

Ini Dadaku Mana Dadamu?!